MILITANSI GEREJA DALAM MENJAGA EKSISTENSI KEBANGSAAN
(Sebuah Refleksi Atas Spirit Konsili Vatikan II Dalam Konteks Indonesia)
Â
Pengantar
Konsili Vatikan II telah membuka "gerbang" Gereja untuk "keluar" dan menjumpai dunia nyata. Gereja tidak lagi berkutat dalam tembok-tembok besar dogmatiknya yang kaku, melainkan membuka pintunya agar dapat secara langsung melihat dan mengalami situasi kongkrit manusia.Â
Yohanes XXIII sebagai Paus pengagas telah memulainya dengan tindakan simbolik membuka jendela-jendela Vatikan agar udara kotor di dalam dapat keluar dan udara segar dapat masuk.
"Aggiornamento", demikian spirit utamanya. Konsili Vatikan II dalam semangat Ekumenisnya telah melahirkan gagasan-gagasan brilian berkat kontribusi luarbiasa para bapa Konsili.
Konsili Vatikan II berhasil merumuskan empat konstitusi, sembilan dekrit dan tiga pernyataan. Para bapa konsili meyakini bahwa semuanya berkat karunia Roh Allah yang hendak menuntun Gereja Allah kepada perubahan yang relevan dalam sejarahnya.
Enam belas dokumen yang dihasilkan pada intinya memuat dasar-dasar iman umat Kristiani dan juga bagaimana Gereja bertindak dalam sejarah umat manusia.
Bagi sebagian besar orang, Konsili Vatikan II merupakan salah satu jalan terjal Gereja karena harus menanggalkan dirinya dan bersedia membarui diri. Gereja pada akhirya memasuki era barunya dengan sebuah spirit kolaborasi dan keterlibatan dalam dunia.Â
Dengan jalan ini Gereja tidak lagi memandang dirinya berada di luar dunia melainkan berada dalam dunia dan turut serta dalam kehidupan dunia dan pada saat yang sama menjadi garam dan terang di dalamnya.Â
Dari ke-16 dokumen yang dihasilkan dapat ditinjau bagaimana sikap Gereja yang telah begitu terbuka untuk sebuah jalan pembaruan.
Konsili Vatikan II telah berusia 60 tahun sejak dimulainya pada tahun 1962. Rentang waktu yang panjang ini tidak menjadi alasan melihat paham Vatikan II sebagai paham usang. Spirit Vatikan II masih bergema dalam dunia zaman ini.
Gereja secara perlahan telah berlangkah memasuki dunia "sekular" dan memainkan peranannya sebagai garam dan terang. Apa yang dikehendaki Vatikan II sedang diusahakan dalam Gereja konteks zaman ini.Â
Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk memberikan sebuah gambaran akan apa yang telah digagas dalam Konsili vatikan II dan sedang diperjuangkan.
Tulisan ini dibatasi hanya dalam peran serta Gereja dalam dunia konteks Indonesia. Hal ini bertujuan untuk melihat sejauh mana Gereja berada dan turut serta terlibat dalam karya pembangunan bangsa.Â
Gereja bukan institusi politik karena Gereja menganut prinsip Kristokrasi. Sekalipun demikian, tetaplah dalam prakteknya Gereja tetap berada dalam sebuah kolaborasi keterlibatan dengan batasan-batannya.
Dalam kaitan dengan itu, tulisan ini hendak memberikan sebuah konfirmasi militansi kepahlawanan Gereja.
Hubungan Gereja dan Negara
Konsili Trente menyebut Gereja selain sebagai sebuah institusi Ilahi yang dibangun oleh Yesus sendiri, juga merupakan sebuah lembaga sosial.
Eklesiologi Trente ini didasari oleh faktasitas kehadiran gereja sebagai lembaga yang menaungi sejumlah manusia dengan misi, tujuan serta hukum dan tata pemerintahan tersendiri.Â
Dasar bangunan Gereja adalah iman yang sama akan Kristus Yesus. Penerimaan ini menghantar seseorang untuk dibaptis dan dimasukan dalam keanggotaan gereja.Â
Perpaduan keanggotaan inilah yang kemudian menjadikan gereja dalam konsep comunio juga dapat berarti sebagai sebuah institusi sosial.Â
Jauh sebelum konsili Trente, Gereja telah memaknai dirinya dalam peranan-nya di dalam dunia sebagai sebuah isntitusi Ilahi yang didirikan Yesus sendiri. Warisan sejarah ini dihidupi setiap generasi dalam korelasi kontekstualnya.
Gereja sebagai institusi yang sekalipun ilahi, tetap juga tidak terlepas dari dunia. Iman yang menjadi perekat utama comunio Gereja dijalankan dalam konteks dunia ini.
Ini dasarnya, bahwa dunia manusia adalah wadah Gereja menjalankan praktek imannya lewat hidup dan karya anggotanya. Pemikiran ini menuntun pada sebuah cara pandang holistik terhadap hubungan Gereja dan dunia.Â
Semangat Vatikan II dengan Moto; "Aggiornamento" menjadi sintesis pemikiran akan korelasi gereja dan dunia. Gereja harus turun dari "tahtanya" dan menyadari dirinya sebagai sebuah persekutuan yang harusnya menyadarai sungguh hubungannya dengan manusia dan sejarahnya (bdk. GS.1).
Gereja dan Negara sejak awal selalu berkaitan erat. Hubungan keduanya sebagai sebuah institusi sosial, selalu berdekatan.Â
Sebagaimana ditegaskan tentang Gereja sebagai sebuah lembaga, Negera pun demikian, sebagai sebuah institusi formal yang mempunyai eksistensinya. Negara mengatur dirinya sendiri lewat hukum dan juga sistem pemerintahnnya sebagaimana gereja.
Relasi Gereja dan negara ditegaskan Yesus dalam kisah penginjil Matius ketika Ia menjawab pertanyaan para ahli Taurat; "Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah, apa yang menjadi hak Allah".Â
Jawaban Yesus ini akan menjadi dasar pijakan keterlibatan Gereja dalam hubungannya dengan Negara. Gereja tidak melihat negara di luar dirinya melainkan sejalan dengannya. Keanggotaan dalam gereja dan negara selalu berjalan beriringan.
Konsili Vatikan II lewat konstitusi pastoral Gaudium et Spes menyatakan keterbukaan dan keterlibatannya. Dokumen ini dibuka dengan sebuah pernyataan demikian:Â
"Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupkan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga." (GS. 1).Â
Dengan mebuka diri Gereja dapat menjumpai situasi nyata umatnya. Gereja dapat melihat langsung realitas umatnya dan menentukan sikap untuk bertindak. Â
Konsep ini sejalan dengan misi Vatikan II yang berkehendak untuk membuka dirinya melihat realitas sosial zaman ini. Keterbukaan ini sekaligus sebagai jalan gereja turut serta hadir dalam persoalan-persoalan politik.Â
Umat Allah selain sebagai warga Gereja juga merupakan warga sebuah negara. Dengan demikian gereja merasa perlu untuk turut serta dalam mebangun sebuah relasi horizontal dengan institusi negara.
Lebih jauh, Gereja melihat negara sebagai jalan untuk mewujudkan bonum comune. Kebijakan politik setiap negara menentukan nasib masyarakatnya, oleh karena itu selain sebgai sebuah institusi, negara dilihat Gereja sebagai perwujutan diri manusia sebagai makhluk Sosial.Â
Dengan konsep keterlibatan dalam spirit Gereja Umat Allah; para bapa Gereja dalam Konsili Vatikan II mendorong Gereja untuk bersama negara turut serta prihatin dengan persoalan masyarakat sekarang ini dan merasa terdorong untuk mengusahakan keadilan sosial bagi setiap orang.
 Komitmen gereja dalam mengusahakan kesejahteraan bersama menjadi sebuah langka kolektif yang dijalankan dalam kolaborasi bersama lembaga politik atau negara.
Gereja dan negara membangun sebuah relasi resiprokal yang tak dapat disangkal. Meskipun terdapat berbagai perbedaan fundamental tetapi terdapat sebuah tujuan yang pada hakekatnya sama.Â
Negera menginginkan keamaian dan kesejahteraan masyarakatnya dan gereja juga mengusahkan suatu kehidupan yang baik yang terarah kepada Allah.Â
Gereja menuntun umatnya untuk mengabdi Allah lewat cara-cara manusiawi dan itu terjadi dalam bangsa masing-masing. Kolaborasi ini sejak semula telah dibagun dan bersinergi dalam usaha membangun kesejahteraan bersama yang pada akhirnya mengarahkan manusia pada Allah.
Misi Kebangsaan dalam Gereja
 Setelah melihat hubungan gereja dan negara baiklah diuraikan pula beberapa misi gereja yang memuat pula misi kebangsaan. Uraian ini menjadi sebuah penegasan akan kehadiran gereja yang sama sekali tidak memisahkan diri dari negara.
Pengamalan nilai Konsili Vatikan II menjadi fondasi. Dengan emikian uraian ini bertujuan memberikan sebuah konfirmasi keterlibatan gereja dalam menjaga eksistensi bangsa dan juga menjaga asa perjuangan dalam mengusahkan kemerdekaan yang utuh bagi bangsa Indonesia pada khususnya.
Gereja mengemban misi yang besar yang didasarkan pada Kristus dan dilaksanakan dalam dunia di mana Gereja itu hadir.
1. Misi Politik
Misi politik ini secara singkat sudah digambarkan padan ulasan sebelumnya. Gereja pertama-tama mengakui diri sebagai institusi ilahi karena berasal dari Allah melalui Yesus Putra-Nya dan mengarahkan manusia pada kehidupan yang akan datang (eskatologis).Â
Sekalipun demikian gereja tetap merupakan bagian dari dunia karena ia sendiri telah hadir dan berjalan bersama manusia dalam sejarahnya.Â
Keterlibatan gereja dalam politik merupakan salah satu bentuk kongkrit gereja peziarah yang bersama dengan orang lain menaglami nasib yang sama (bdk.GS. 40).
Keterlibatan dalam politik perlu diartikan secara khas. Pertama, bila dilihat dari segi politik umum, maka Gereja terlibat sepenuhnya dalam dunia politik.Â
Contoh, kebijakan-kebijakan politik yang bertujuan baik tidak pernah dilarang gereja untuk dipraktekan oleh anggotanya. Gereja terus mendorong anggotanya terlibat secara aktif dalam pelaksanaan kebijakan politik yang bertujuan untuk kebaikan bersama.
Sedangkan dalam praksis politik praktis, gereja memberikan batasan-batasa faktual. Hukum Kanon tidak memperkenankan kaum tertahbis dan kaun religius manapun untuk terlibat di dalamnya (kan. 287, 2). Ini hanya berlaku untuk kaum tertahbis dan hidup bakti, sedangkan awan tidak.
Politisi-politisi Katolik dalam konteks Indonesia terus didorong gereja untuk tetap menggunakan semangat Injil dalam tata laksana politik nasional. Politik katolik dituntut menjadi garam dan ragi kebaikan.Â
Gereja Indonesia mengharapkan kiprah politisi Katolik dapat kembali mengangkat martabat luhur politik Indonesia yang telah tercoreng dengan berbagai persoalan.
Lewat peran serta para politisi Katolik Gereja terus mendorong agar kebijakan-kebijakan politik harus berpihak pada mereka yang lemah.Â
Dengan demikian harapan gereja adalah bagaimana semangat Injili juga memasuki dunia politik. Politik sebagai perwujutan aspek sosialita manusia diharapkan mampu menjadi wadah menabur kebaikan.
Gereja mendorong agar praktek politik dijalankan atas dasar cinta kasih. Yesus Kristus sekalipun bukan tokoh pilitik tetapi memberikan arti kepada pilitik.Â
Atas pengaruh publik-Nya, Yesus sama sekali tidak melihat itu sebagai kesempatan. Ia senantiasa berpihak pada yang lemah. Demikian Gereja terus mendorong agar kebijakan-kebijakan politik senantiasa dijiwai semangat cinta kasih.
2. Misi Ekonomi
Masalah Ekonomi turut serta dalam bingkai pandangan Konsili Vatikan II. Konstitusi Pastoral tentan Gereja dan dunia dewasa ini Gaudium et Spes (GS) dalam bagian kedua bab yang ketiga secara khsusus membicarakan kehidupan sosial ekonomi.Â
Gereja melihat situasi ekonomi sama seperti aspek kehidupan masyarakat lainnya turut berubah mengikuti perubahan zaman. Kemajuan ini serentak membawa dampak positif dan negatif.Â
Berbarengan dengan itu, gereja mengakui bahwa kesejahteraan hidup manusia di dunia ditentukan oleh taraf ekonominya.Â
Terhadap hal itu, fakta saat ini adalah telah terjadi sebuah usaha eksploitasi kemasyarakatan baik dalam aspek ketenagakerjaan maupun dan konteks alam untuk mencari keuntungan yang berkelimpahan.
Gereja pertama-tama hendak mengembalikan manusia sebagai subjek ekonomi (bdk.GS. 63). Argumen ini sebagai pembuka tinjauan gereja terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.Â
Manusia sekalipun sebagai pelaku Ekonomi tetap harus menempatkan diri sebagai subjeknya. Kenyataan kongkrit zaman ini seolah menempatkan laba, uang, money, sebagai subejeknya.Â
Sehingga segala sesuatu harus diperjuangkan untuk mencapainya. Ini kesesatan berpikir yang telah melatari eksploitasi besar-besarn yang telah kita saksikan sepanjang sejarah umat manusia.Â
Oleh karena itu dalam artikel ke-64 GS menegaskan bahwa esensi ekonomi adalah untuk melayani manusia. Dengan demikian gereja hendak mengajak segenap anggotanya untuk mengusahakan suatu iklim ekonomi yang humanis. Gereja mendorong kemajuan ekonomi yang berkemanusian.
Dalam konteks Indonesia, gereja terus mendorong terciptanya iklim ekonomi yang kondusif dan terbebas dari hegomoni manusiawi.Â
Lewat berbagai kesempatan, Gereja terus menutut keterlibatan serta semua umat dalam usaha pembangunan ekonomi yang solider. Lewat proses katekese dan juga musyawarah pastoral (MUSAPAS) di wilayah-wilayah gerejawi, gereja mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat yang meski kecil namun produktif.Â
Gereja berusaha mengajak umatnya menghindari pola hidup konsumtif yang pada giliranya menjadi pemicu eksploitasi ekonomi.Â
Munculnya manusia Kristiani sebagai pelaku ekonomi diharapkan mencerminkan pola kerja seorang rasul yang tidak mencari keuntungan diri melainkan mengedepankan kepentingan sesama manusia.
3. Misi Pendidikan
Gereja melalui dokumen Gravissimum Educationis (GE), menegaskan kedudukan pendidikan dalam konteks manusia adalah hak yang tak dapat diganggu gugat (GE. 1), pendidikan menjadi wadah menjawapi panggilan dasar manusia yang berbudi.Â
Pembentukan manusia dalam penididikan dilihat Gereja sebagai hal paling urgen memajukan manusia menuju keutuhan diri dan juga membawa kemajuan pada dunia.Â
Untuk mencapai sebuah taraf keutuhan hidup manusia diperlukan sebuah bentuk pendidikan yang mengarahkan pada pemahaman yang utuh akan nilai-nilai Kristiani dan menjalankannya dalam konteks kehidupan dunia.Â
Dengan demikian, Gereja melihat pula pendidikan sebagai paggilan kemanusiaan.
Gereja melihat pendidikan dalam keutuhan. GE memberikan gambaran yang cukup signifikan bagaimana pendidikan itu dilaksanakan. Gereja mendorong pertama-tama bahwa pendidikan itu harus ditujukan pada manusia karena hanya dengan pengetahuan yang memadai seseorang dapat tertuju kepada kehidupan yang baik.Â
Setelah menempatkan manusia pada subjek utama pendidikan, Gereja mendorong peran serta keluarga sebagai sekolah pertama sebelum seseorang memasuki dunia yang lebih luas (bdk. GE. 2). Sekolah menjadi lembaga kemasyarakatan yang memiliki kedudukan penting untuk pembekalan berkelanjutan yang sifatnya formal (bdk. GE. 5).Â
Sekolah berperan memberikan bekal ilmu sekuler yang pada dasarnya penting untuk karya seseorang. Gereja mendorong pula sebuah bentuk pendidikan moral yang ketika dipadankan dengan kemampuan akal budi dapat menjadikan seseorang pribadi yang utuh dan bertanggungjawab dalam tindakannya (GE. 6).
Itulah beberapa sari yang sedikit memberikan sebuah gambaran akan peran serta Gereja dalam dunia pendidikan. Dalam praksisnya dalam konteks Indonesia, gereja telah hadir melalui upaya pemberdayaan manusia (generasi muda) yang telah dimulai dari dalam keluarga.Â
Pembinaan para pasangan nikah disetiap wilayah paroki, selalu menekankan pentingnya pendidikan bagi seorang anak. Kegiatan-kegiatan kategorial dalam berbagai bentuknya telah menjadi wadah karya Gereja dalam usaha pemberdayaan manusia dalam dunia pendidikan.Â
Kehadiran palig kongkrit aalah melalui lembaga pendidikan Katolik yang telah ada dan tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia. Gereja melalui lembaga-lembaga pendidikan Katolik, telah berusaha terlibat dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.Â
Semangat UUD 1945 yang menginginkan sebuah usaha mencerdaskan anak-anak bangsa, dipraktekan Gereja dalam dunia pendidikan lewat berbagai yayasan pendidikan Katolik.Â
Dengan tetap berpegang pada semangat Injili, Gereja berusaha menjadi cahaya yang mengobarkan api pengetahuan pada setiap generasi.
Harmonisasi Gereja dan Negara Manuju Tujuan yang Sama
Panggilan dasar semua murid Kristus agar menjadi pewarta kabar baik agar semua manusia dapat diselamatkan. Sementara panggilan luhur politik adalah mengusahakan kebaikan bersama (Bonum Commune). Ini semacam sebuah harmoni kolaborasi yang tampak saling mengisi.Â
Politik (negara) mengusahakan kebaikan bersama dalam konteks kehidupan di dunia, sedangkan agama menghantarnya lebih jauh. Bahwa apa yang baik, yang relefan dan yang mulia dilaksanakan di dunia dan tertuju kepada kehidupan kekal manusia.Â
Elemen eskatologis dalam gereja menjadi penambal sempurna misi bonum commune yang diusahakan negara. Gereja pada akhirnya memberi arah pada sebuah misi bangsa dari yang sekedar menyentuh taraf kehidupan duniawi menuju kepada kehidupan akhirat.Â
Apa yang dilakukan di dunia sebenarnya berefek pula pada kehidupan akhirat.
Dalam tata laksana kebangsaan Indonesia menjabarkan misinya dengan berbasis pada ideologi bangsa yakni Pancasila. Nilai dari kelima silanya telah menjadi roh bangsa ini.Â
Sebagai Dasar Negara, Pancasila telah meletakan inti terdalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Paham, spirit, dan arah bangsa Indoesia telah terkristal dalam pancasila sebagai asas bangsa. Kebijakana pemerintahan dalam koteks Indonesia selalu diselarasakan dengan nilai luhur pancasila sebagai pedomannya.
Gereja dalam berbagai misinya yang telah diuraikan di atas merupakan sebuah perwujutanjati diri bangsa. Gereja bersama bangsa mengusahakan kehidupan politik yang baik, kehidupan ekonomi yang layak dan pendidikan yang berdaya ubah.Â
Nilai-nilai pacasila diterjamahkan secara sempurna dalam setiap misi Gereja.
Dengan demikian, gereja dan negara sekali lagi berada dalam sebuah kolaborasi harmonis yang pada akhirnya mengarahkan kepada kebaikan bersama dan juga kepenuhan hidup bersama Allah
Penutup
Spirit utama Konsili Vatikan II adalah keterlibatan. Masuknya gereja ke dalam dunia bukan sebuah jalan profan. Gereja bahkan melihat dirinya yang sebelumnya menutup diri sebagai sebuah bentuk keterasingan.
Dengan apakah Gereja diuji, dengan apakah gereja menyatakan diri? Hal yang paling menonjol adalah bahwa gereja melihat dirinya sebagai sumber kebenaran. Dalam praktek malah terjadilah sebuah keterasingan seolah gereja berada di luar dunia.
 Pembaharuan dalam Konsili vatikan II merupakan sebuah usaha "membasuh" diri dalam dunia. Artinya bahwa gereja yang sebelumnya kaku itu dituntut untuk mengamalkan ajaranya dalam konteks dunia paling nyata.Â
Gereja harus terus menyelarasakan dirinya dengan mausia dan sejarhnya yang terus berkembang. Pada titik itu, gereja benar-benar harus menempatkan diri di manakah ia harus mewarta dalam situasi dunia saat ini.
Kolaborasi gereja dan negara merupakan bentuk nyata bagaimana gereja telah membaharui dirinya. Sekalipun tetap berada dalam eksistensi masing-masing, gereja dna negara berada dalam sebuah kolaborasi misioner.Â
Gereja tidak melihat negara di luar dirinya dan sebaliknya negarapun demikian. Relasi resiprokal ini telah banyak membawa warna dalam konteks kebangsaan.Â
Negara memberi kebebasan beragama, gereja memberi kebebasan mengabdi negara. Militansi keduanya telah terbukti menjaga eksistensi bangsa hingga usinya yang ke-76.Â
Kepahlawanan gereja memang tidak berdarah-darah melainkan bak ragi, gereja telah "meleburkan diri" dan turut serta mebangun bangsa ini.
SUMBER BACAAN
Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993
Jegalus, Norbert dan Siprianus Senda dkk, Gereja Selaras Zaman: Butir-butir pengajaran Konsili Vatikan II bagi umat, Jakarta: Obor, 2021
Kewuel. K, Hipolitus, 12 Pintu Evangelisasi: Menebar Garam di Atas Pelangi, Jakarta: Wina Pres, 2015
Suparno, Pauk (dkk), Lembaga Pendidikan Katolik: Dalam Konteks Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2017
Mali, Mateus (ed), Perjumpaan Pancasila dan Kristianitas, Yogyakarta: Lamalera, 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H