Seluruh konsep teologi natural telah bertahan dari serangan yang agresif sepanjang abad yang telah lalu. Sebagian kritikus, seperti Karl Barth, berargumen bahwa terlibat dalam usaha merumuskan teologi natural adalah berbahaya. Karena apabila kita berusaha untuk mempelajari Allah yang hidup dengan cara menarik deduksi dari alam, semakin besarlah kemungkinan bagi kita untuk tiba pada suatu "allah" yang dibuat berdasarkan gambar kita.
Penting untuk diingat bahwa Barth bereaksi melawan kaum liberal di abad XIX dan memang hanya itulah yang ia lakukan. Barth berargumentasi bahwa Allah tidak bisa dimanipulasi oleh inferensi kita sendiri yang terbatas dari dunia yang diciptakan. Keprihatinan Barth adalah sah.
Tetapi teologi Barth memiliki konsekuensi yang tidak menguntungkan, yang memengaruhi kemampuan kita untuk mengatakan apapun yang positif tentang Allah Tritunggal. Kita tidak boleh mengikuti pandangan sejauh Barth.
Kritikus lain bersikeras bahwa teologi natural bisa dilakukan, namun hal itu tidak dapat dilakukan dengan benar. Artinya, teologi natural sama sekali tidak relevan, karena manusia tidak akan mendapatkan apapun apabila mencari pengetahuan tentang Allah dari natur. Manusia telah jatuh dalam dosa dan tidak mampu memahami hal yang seperti itu. Dengan kata lain, wahyu Allah dalam ciptaan tidak bisa dipahami dengan benar oleh orang berdosa. Pandangan ini memahami kerusakan manusia terlalu jauh.
Pada waktu teologi natural digunakan, kata itu langsung diasosiasikan dengan Thomas Aquinas, yang disalahmengerti sebagai pengusul awal dari konsep itu. Namun saya puas karena Aquinas berdiri di atas bahu Augustine dari Hippo yang berusaha untuk mengerti dan mengaplikasikan pengajaran dari Rasul Paulus sendiri.
Teologi natural merupakan penjelasan tentang Allah yang diinformasikan melalui pengetahuan kita akan natur. Ini merupakan pengetahuan tentang Allah yang didapatkan melalui pemahaman tentang dunia eksternal, sebagai tambahan dan berbeda dari pengetahuan Allah yang tersedia bagi kita di dalam Kitab Suci.
Teologi natural secara tradisional telah didasarkan pada apa yang disebut para teolog sebagai wahyu umum. Wahyu umum adalah penyataan Allah dalam alam semesta yang diciptakan-Nya. Wahyu ini merupakan tindakan objektif dari Allah yang tidak bersandar pada pancaindra kita untuk menjadikannya benar (empirisme).
Teologi natural merupakan respons manusia pada wahyu umum. Teologi natural merupakan suatu tindakan manusia, suatu cara bagi kita untuk memahami wahyu Allah tentang diri-Nya dalam ciptaan. Wahyu umum adalah apa yang dilakukan Allah; teologi natural adalah apa yang kita lakukan dengan wahyu itu.
Wahyu umum harus dibedakan lebih jauh dari wahyu khusus dalam dua cara: (1) wahyu umum telah diberikan pada semua orang, yaitu bagi semua pembaca yang terdiri dari semua umat manusia; (2) isi dari wahyu ini berbicara tentang Allah secara umum, tidak spesifik. Contohnya, kita dapat melihat bukti-bukti yang menyatakan ada sebuah keberadaan yang telah menyebabkan alam semesta ini ada, tetapi kita tidak melihat bahwa keberadaan itu ialah keberadaan Trinitas, juga kita tidak melihat suatu rencana keselamatan di manapun dalam tatanan penciptaan.
Untuk mengetahui hal-hal itu, kita membutuhkan lebih dari wahyu umum. Kita perlu informasi yang ditemukan pada wahyu khusus. Tidak semua orang berkesempatan untuk menerima wahyu khusus yang ditemukan dalam firman Allah. Banyak suku-suku di pedalaman tidak pernah mendengar cerita-cerita di Alkitab dan keselamatan yang dinyatakannya. Wahyu umum meliputi seluruh bumi, sedangkan wahyu khusus tidak demikian.
Wahyu umum dapat dibedakan ke dalam dua jenis yang berbeda: langsung dan tidak langsung. Wahyu umum yang tidak langsung merujuk pada wahyu Allah tentang diri-Nya melalui semacam perantara. Perantara-Nya itu adalah alam itu sendiri (Mzm. 19:1-2). Pemazmur menceritakan kemuliaan Allah yang dinyatakan di langit. Langit memproklamasikan pekerjaan tangan Allah; hari lepas hari, malam lepas malam, dalam tatanan yang indah dari waktu, kemuliaan dari Allah Pencipta tercermin di langit. Bintang-bintang, bulan, semuanya menyatakan kemuliaan Penciptanya.
Wahyu umum yang langsung merujuk pada wahyu Allah yang datang kepada kita secara langsung, tanpa perantara seperti dunia eksternal yang diciptakan. Bukan tidak langsung dalam arti terjadi dengan cepat atau secara tiba-tiba, melainkan langsung dalam arti bahwa wahyu umum ini ditulis dalam pikiran dan hati setiap orang. Hukum Allah ditulis dalam hati kita (Rm. 2:15).
Setiap orang membawa kesadaran tentang Allah yang ditempatkan oleh Allah sendiri. Manusia diciptakan berdasarkan gambar-Nya. Oleh karena itu, kita membawa suatu kesadaran intuitif bahwa Allah ada, suatu deduksi yang tidak ditarik dari alam tetapi dari diri kita sendiri. John Calvin menyebut ini sebagai divinitatis sensum, atau "kesadaran tentang yang Ilahi" yang ada pada diri setiap orang.
Setelah kejatuhan manusia dalam dosa, gambar Allah yang rusak ini tidak lantas menghilangkan divinitatis sensum. Dalam Roma 1, Paulus meniadakan ruang untuk berdalih. Semua orang bisa memahami paling sedikit konsep yang paling dasar dari Pencipta mereka, yaitu bahwa Ia ada dan karena itu menuntut ucapan syukur mereka.
Surat Paulus kepada jemaat Roma memberikan gereja pengajaran yang paling jelas tentang wahyu umum (1:18a). Bagian ini - demikian pula bagian yang selanjutnya - agak mengejutkan bukan hanya karena kedalamannya tetapi karena penempatannya di surat itu. Paulus baru saja menulis tentang bagaimana iman memimpin orang percaya pada kehidupan yang benar, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan (ay. 16-17). Pembaca bisa mengharapkan Paulus akan melanjutkan tema besar ini.
Jauh panggang dari api, kenyataannya ia mulai menulis tentang wahyu yang lain, bukan wahyu tentang berita yang mulia yaitu Mesias bagi mereka yang percaya, tetapi suatu wahyu bagi yang dimurkai. Ada satu alasan yang jelas mengapa Paulus melakukan hal ini: untuk memperlihatkan pada pembacanya bahwa sejak awal Injil memang dibutuhkan. Keharusan kedatangan Kristus bagi keselamatan kita mendahului kesalahan universal dari semua umat manusia. Paulus mundur beberapa langkah untuk memperlihatkan mengapa setiap orang menghadapi murka Allah.
Di Roma 3, ia terus melanjutkan poin bahwa "semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah" (ay. 23). Oleh karena itu, setiap orang yang pernah hidup sebenarnya memerlukan Injil. Bukan hanya karena mereka menolak Kristus yang telah didengar oleh banyak orang, tetapi karena apa yang telah dilakukan oleh semua orang terhadap pengetahuan yang telah mereka miliki tentang Allah.
Kita membutuhkan Juruselamat karena kita telah menindas kebenaran itu. Ini merupakan dosa definitif dari semua orang di segala zaman. Penekanannya bukan pada kebenaran secara umum melainkan pada kebenaran secara khusus (ay. 19). Kebenaran pengetahuan tentang Pencipta yang ditindas oleh semua orang berdosa yang mendatangkan murka Allah.
Apakah masih ada ruang gerak yang tertinggal bagi orang yang menindas kebenaran ini? Paulus menulis dalam ayat 20, bahwa sejak penciptaan dunia ini, Allah telah jelas mewahyukan diri-Nya dalam ciptaan-Nya. Setiap orang yang pernah hidup bisa melihatnya, dan karena itu kita semua tidak bisa berdalih.
Paulus secara antisipatif bermaksud mendiamkan orang yang mungkin akan menggerutu di pengadilan Allah kelak dan berseru bahwa hal itu tidak adil, "Allah, kalau saja kita telah mengetahui bahwa Engkau ada, maka kami akan menyembah dan memuliakan Engkau." Tetapi Allah, melalui Paulus, menyatakan bahwa Ia tidak akan menanggapi dalih semacam itu, karena semua orang telah mengetahui bahwa Ia ada.
Pada waktu mereka tidak mengikuti Dia, hal itu bukan karena mereka tidak bisa melihat-Nya melalui wahyu umum, tetapi karena mereka membenci Dia dan menolak berpikir tentang Dia sama sekali. Dakwaan ini jatuh atas seluruh dunia, dari permulaan sampai pada akhirnya.
Sebagian orang memahami dosa yang satu ini sebagai berikut. Allah memang menyatakan diri-Nya dengan jelas melalui ciptaan, tetapi natur kita yang berdosa membuat wahyu ini tidak lagi bisa dipahami. Manifestasi objektif dari tangan Pencipta tidak bisa dilihat oleh manusia karena dosa.
Namun, bukan itu yang diajarkan oleh Paulus pada waktu ia menulis Surat Roma. Manusia tidak menolak untuk mengizinkan wahyu tentang Allah yang sudah sangat jelas itu untuk masuk ke dalam pikiran mereka. Sebaliknya, wahyu itu telah masuk ke dalam pikiran mereka. Dasar dari dakwaan adalah bahwa sementara mereka mengenal Allah, mereka tetap tidak "memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya" (Rm. 1:21a).
Manifestasi dari keberadaan Pencipta dalam ciptaan-Nya dapat dipahami oleh pikiran semua orang. Problemanya adalah bahwa pengetahuan ini terus-menerus ditindas dan didistorsi, sampai akhirnya kebenaran itu digantikan dengan suatu kebohongan (ay. 21-32). Allah bukan hanya bertindak secara objektif melalui ciptaan-Nya yang menghasilkan suatu wahyu umum tentang diri-Nya, namun wahyu ini menghasilkan teologi natural dan memberikan rasa bersalah yang universal bagi semua orang. Sejujurnya, semua orang yang beragama pasti mengakui bahwa dirinya tidak sedang hidup sesuai dengan kehendak keberadaan yang ultimat itu.
Satu sanggahan yang paling umum pada teologi semacam itu datang dari pertanyaan, "Apa yang terjadi dengan orang tak bersalah yang patut dikasihani di hutan belantara yang tidak pernah mendengarkan Injil?" Tanggapan yang tepat untuk jenis pertanyaan seperti ini haruslah, "Tidak ada. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada orang tak bersalah yang patut dikasihani, karena mereka tidak perlu mendengarkan Injil itu. Orang yang tidak bersalah akan langsung pergi ke surga pada waktu mereka mati. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang mereka. Bahkan, pekerjaan misi bagi orang yang tak bersalah harus segera dihapuskan. Sebab orang yang tak bersalah tidak perlu Injil (Luk. 5:32)."
Yang sebenarnya perlu dipertanyakan terlebih dahulu pada waktu berinteraksi dengan teologi natural adalah "Berapa banyak orang yang tidak bersalah yang berada di hutan belantara?" Apabila kita memahami Paulus dengan benar sebagai rasul bagi orang non-Yahudi, maka kita akan tahu bahwa ia berkhotbah untuk orang-orang yang sama sekali tidak tahu dengan Injil Yesus Kristus. Dengan demikian, pertanyaan itu perlu dikaji ulang. Tidak pernah ada orang yang tidak bersalah di sepanjang sejarah dunia ini, karena semua orang telah menerima wahyu yang jelas tentang Penciptanya.
Pengetahuan tentang kebenaran itu telah ditindas sampai akhirnya mereka menolak untuk mengucap syukur dan memilih untuk menyembah apa saja kecuali Allah yang hidup. Untuk dunia yang seperti inilah Allah Bapa mengutus Putra-Nya menjadi penebusan bagi orang-orang berdosa.
Dengan demikian, teologi natural dalam pemahaman dasarnya adalah pengetahuan tentang Allah yang didapatkan melalui natur. Hal ini merupakan dasar dari kebersalahan yang universal. Tidak ada seorang pun yang bisa mengatakan bahwa ia tidak tahu sebagai dalih untuk tidak menaati Allah.
Semua manusia tanpa kecuali telah berada di bawah murka Allah karena kefasikan dan kelalimannya merupakan penindasan terhadap kebenaran. Persoalan utama manusia bukanlah tidak tahu kebenaran, melainkan tidak mau tahu terhadap kebenaran. Mereka menindas kebenaran dengan kelaliman.
Referensi untuk bacaan lebih lanjut :
- John Calvin, Institutes of Christian Religion, ed. John T McNeill, trans. Ford Lewis Battles, vol. 20 of The Library of Christian Classics (Philadelphia: Westminster, 1960), I.3.1 (43-44).
- Thomas Aquinas, Nature and Grace: Selection from the Summa Theologica of Thomas Aquinas, trans. and ed. A. M. Fairweather, vol. 11 of The Library of Christian Classics (Philadelphia: Westminster, 1954), 137.
- Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, ed. Paul Carus (Chicago: OpenCourt, 1949), 7.
- Norman Geisler, Baker Encyclopedia of Christian Apologetics (Grand Rapids, Mich: Baker, 1999), 402.
- Aristotle, Metaphysics, IV.3.8
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H