Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Teologi Natural dan Ilmu Pengetahuan

2 September 2018   01:48 Diperbarui: 2 September 2018   01:49 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun, bukan itu yang diajarkan oleh Paulus pada waktu ia menulis Surat Roma. Manusia tidak menolak untuk mengizinkan wahyu tentang Allah yang sudah sangat jelas itu untuk masuk ke dalam pikiran mereka. Sebaliknya, wahyu itu telah masuk ke dalam pikiran mereka. Dasar dari dakwaan adalah bahwa sementara mereka mengenal Allah, mereka tetap tidak "memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya" (Rm. 1:21a).

Manifestasi dari keberadaan Pencipta dalam ciptaan-Nya dapat dipahami oleh pikiran semua orang. Problemanya adalah bahwa pengetahuan ini terus-menerus ditindas dan didistorsi, sampai akhirnya kebenaran itu digantikan dengan suatu kebohongan (ay. 21-32). Allah bukan hanya bertindak secara objektif melalui ciptaan-Nya yang menghasilkan suatu wahyu umum tentang diri-Nya, namun wahyu ini menghasilkan teologi natural dan memberikan rasa bersalah yang universal bagi semua orang. Sejujurnya, semua orang yang beragama pasti mengakui bahwa dirinya tidak sedang hidup sesuai dengan kehendak keberadaan yang ultimat itu.

Satu sanggahan yang paling umum pada teologi semacam itu datang dari pertanyaan, "Apa yang terjadi dengan orang tak bersalah yang patut dikasihani di hutan belantara yang tidak pernah mendengarkan Injil?" Tanggapan yang tepat untuk jenis pertanyaan seperti ini haruslah, "Tidak ada. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada orang tak bersalah yang patut dikasihani, karena mereka tidak perlu mendengarkan Injil itu. Orang yang tidak bersalah akan langsung pergi ke surga pada waktu mereka mati. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang mereka. Bahkan, pekerjaan misi bagi orang yang tak bersalah harus segera dihapuskan. Sebab orang yang tak bersalah tidak perlu Injil (Luk. 5:32)."

Yang sebenarnya perlu dipertanyakan terlebih dahulu pada waktu berinteraksi dengan teologi natural adalah "Berapa banyak orang yang tidak bersalah yang berada di hutan belantara?" Apabila kita memahami Paulus dengan benar sebagai rasul bagi orang non-Yahudi, maka kita akan tahu bahwa ia berkhotbah untuk orang-orang yang sama sekali tidak tahu dengan Injil Yesus Kristus. Dengan demikian, pertanyaan itu perlu dikaji ulang. Tidak pernah ada orang yang tidak bersalah di sepanjang sejarah dunia ini, karena semua orang telah menerima wahyu yang jelas tentang Penciptanya.

Pengetahuan tentang kebenaran itu telah ditindas sampai akhirnya mereka menolak untuk mengucap syukur dan memilih untuk menyembah apa saja kecuali Allah yang hidup. Untuk dunia yang seperti inilah Allah Bapa mengutus Putra-Nya menjadi penebusan bagi orang-orang berdosa.

Dengan demikian, teologi natural dalam pemahaman dasarnya adalah pengetahuan tentang Allah yang didapatkan melalui natur. Hal ini merupakan dasar dari kebersalahan yang universal. Tidak ada seorang pun yang bisa mengatakan bahwa ia tidak tahu sebagai dalih untuk tidak menaati Allah.

Semua manusia tanpa kecuali telah berada di bawah murka Allah karena kefasikan dan kelalimannya merupakan penindasan terhadap kebenaran. Persoalan utama manusia bukanlah tidak tahu kebenaran, melainkan tidak mau tahu terhadap kebenaran. Mereka menindas kebenaran dengan kelaliman.

Referensi untuk bacaan lebih lanjut :

  • John Calvin, Institutes of Christian Religion, ed. John T McNeill, trans. Ford Lewis Battles, vol. 20 of The Library of Christian Classics (Philadelphia: Westminster, 1960), I.3.1 (43-44).
  • Thomas Aquinas, Nature and Grace: Selection from the Summa Theologica of Thomas Aquinas, trans. and ed. A. M. Fairweather, vol. 11 of The Library of Christian Classics (Philadelphia: Westminster, 1954), 137.
  • Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, ed. Paul Carus (Chicago: OpenCourt, 1949), 7.
  • Norman Geisler, Baker Encyclopedia of Christian Apologetics (Grand Rapids, Mich: Baker, 1999), 402.
  • Aristotle, Metaphysics, IV.3.8

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun