Yang dimaksud kewajiban di sini adalah kewajiban yang mengandung unsur keterpaksaan. Beberapa orang melibatkan diri dalam pelayanan karena perasaan bersalah atau takut terkena hukuman. Yang lain hanya mengikuti jadwal yang ada.
Pada taraf tertentu, melayani memang merupakan sebuah kewajiban. Alkitab berkali-kali memberikan perintah untuk melayani Tuhan (Rm. 2:11; Gal. 5:13; 1Pet. 4:10). Jika ini merupakan perintah, hal itu berarti kewajiban. Pelayanan bukanlah sebuah pilihan.
Yang perlu dicermati di sini adalah perbedaan antara kewajiban dan keterpaksaan. Tidak semua kewajiban mengandung keterpaksaan. Kewajiban dapat didorong oleh motivasi yang lain, misalnya belas kasihan terhadap orang lain (Mrk. 6:31-34) dan kesukaan terhadap kehendak Allah (1Pet. 5:2a; Ef. 6:6b-7; Yoh. 4:34). Jadi, pelayanan bukanlah sebuah kewajiban, dalam arti tidak lahir dari sebuah keterpaksaan.
- Pelayanan sebagai ritual gerejawi
Di mata sebagian orang Kristen, makna pelayanan hanya dibatasi oleh tembok gereja, hari tertentu, dan jenis aktivitas tertentu. Nilai kehidupan dan kerohanian diukur berdasarkan keterlibatan dalam semua ritual gerejawi ini. Perilaku di gereja seringkali berbanding terbalik dengan gaya hidup di pekerjaan maupun di rumah. Ini adalah sebuah kekeliruan yang fatal.
Alkitab mengajarkan bahwa ketaatan lebih penting daripada korban bakaran (1Sam. 15:22). Ketaatan lebih berbobot daripada kehebatan pelayanan (Mat. 7:21-23). Percuma saja apabila seseorang begitu tekun secara ritual, tetapi rusak secara moral (Yes. 1:10-17; 58:3-7). Persembahan terbaik untuk Tuhan bukanlah pelayanan (dalam arti ritual gerejawi), melainkan kesalehan dalam seluruh kehidupan.
Alkitab memberikan begitu banyak contoh orang saleh yang melayani Tuhan tetapi bukan dalam konteks ritual religius: Yusuf, Daniel dan rekan-rekannya di pembuangan, maupun Mordekhai dan Ester di Kerajaan Persia. Nehemia dipakai Tuhan melalui pekerjaannya sebagai juru minuman raja. Pendeknya, pelayanan sejati melampaui tembok-tembok gerejawi maupun pagar-pagar organisasi.
- Pelayanan sebagai alat manipulasi rohani
Di kalangan tertentu, pelayanan ditampilkan sebagai sebuah strategi untuk mengambil hati Allah supaya memberkati para pelayan. Pelayanan dianggap sebagai sumber keuntungan.
Ini bukan kesalahan yang baru. Memanipulasi hal-hal rohani untuk kepentingan duniawi sudah ada sejak dahulu. Pada zaman para rasul ada orang-orang tertentu yang berusaha mencari keuntungan dalam ibadah (1Tim. 6:5) maupun pelayanan (2Kor. 2:17; Yud. 16). Bahkan salah seorang murid Tuhan Yesus, yaitu Yudas Iskariot, memanfaatkan jabatannya sebagai bendahara untuk mengeruk keuntungan (Yoh. 12:6, bandingkan artikel berikut ini).
Ada tiga kesalahan dalam sikap ini. Pertama, memperoleh upah dari Tuhan adalah konsekuensi, bukan motivasi. Pelayanan seharusnya lebih merupakan ucapan syukur atas segala kebaikan Allah yang sudah lebih dahulu mengasihi, memilih, dan memanggil orang percaya (Ef. 1:4-5; Yoh. 15:15; 1Yoh. 4:10, bandingkan artikel berikut ini). Kedua, Allah memang pasti memberi upah atas segala pelayanan yang dilakukan umat Allah secara benar (1Kor. 15:58). Namun upah tersebut tidak selalu berbentuk materi (bdk. 2Tim. 4:7-8). Ketiga, upah terbesar adalah tidak memperoleh upah. Kita seharusnya bangga apabila bisa berkata seperti Paulus dalam 1 Korintus 9:18.
Apakah pelayanan itu?
Tidak ada definisi yang eksplisit dan tunggal di dalam Alkitab untuk menjawab pertanyaan ini. Dengan mempertimbangkan semua data Alkitab yang ada, istilah "pelayanan" dapat dipahami sebagai berikut: "pemberian seluruh kehidupan kepada Allah di dalam Kristus Yesus oleh Roh Kudus, yang diwujudkan melalui berbagai tidakan konkret yang memuliakan Allah Tritunggal sesuai dengan kebenaran firman Tuhan dan karunia setiap orang." Sekarang waktunya untuk membedah setiap elemen dari definisi ini.