Salah satu aspek dari gereja yang paling sering dihindari oleh banyak orang adalah disiplin gereja. Hal ini mulai dikesampingkan, bahkan diabaikan sama sekali. Gereja-gereja mulai memberi ruang yang lebih luas bagi dosa dan sekularisasi. Teguran-teguran yang sensitif mulai dihindari. Ketegasan mulai dihilangkan.
Hal ini diperparah dengan adanya lembaran-lembaran suram tentang disiplin gereja dalam sejarah gereja. Pemaksaan terhadap doktrin dan gaya baptisan tertentu membuat banyak gereja berani melakukan hal-hal yang tak terkatakan di masa lalu (membakar orang hidup-hidup, memenggal kepala seseorang, dan lain-lain). Stereotip yang melekat dengan disiplin gereja beralih dari kasih kepada kebencian.
Praktik yang pada awalnya baik ini semakin sulit untuk diterapkan. Tuntutan gereja terhadap integritas hidup anggotanya semakin merosot. Sebagian gereja mungkin khawatir kehilangan jemaat. Lagipula, sekarang ini perpindahan gereja bisa dilakukan kapan saja, sehingga kekuatan sebuah disiplin gereja tidak sebesar pada zaman dahulu. Beberapa orang yang sedang dikenai disiplin oleh gereja asal bahkan langsung direkrut dalam pelayanan oleh gereja lain. Di tengah semua kesulitan ini, apakah kita hanya mengikuti arus ataukah tetap berdiri di atas kebenaran firman Tuhan?
Bagaimanapun, pada dirinya sendiri disiplin gereja bukanlah sesuatu yang negatif. Praktik ini bersumber dari Alkitab sendiri. Dalam tradisi Reformed, disiplin gereja merupakan salah satu tanda sejati dari gereja yang benar. Persoalan muncul tatkala orang Kristen tidak memahami prosedur disiplin gereja.
Sejarah kekristenan menunjukkan bahwa praktik disiplin gereja bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan secara tepat. Sebagian gereja kurang berani melakukannya padahal situasi menuntut demikian. Sebaliknya, sebagian yang lain justru terlalu gegabah padahal nasihat dan teguran keras saja seharusnya masih cukup. Bagaimana menentukan batasan yang benar? Saat bagaimana disiplin gereja dapat diterapkan?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini bersumber dari konsep yang benar tentang prosedur disiplin gereja. Artikel ini akan membahas salah satu teks dalam Alkitab yang berkaitan dengan hal tersebut, yakni Matius 18:15-17. Teks ini sebenarnya tidak membicarakan tentang disiplin gereja secara formal. Kata "kamu" yang muncul di ayat ini berbentuk tunggal (Yun., sou), yang menunjukkan bahwa ayat 15-17 lebih membicarakan tentang tanggung-jawab pribadi seorang anak Tuhan terhadap saudara seimannya. Ini bukan tentang tindakan pemimpin gereja kepada anggotanya.
Walaupun demikian, bentuk jamak "kalian" (Yun., umin) di ayat 18-20 dan rujukan eksplisit tentang otoritas gereja di sana mengarahkan kita untuk melihat unsur disiplin gereja di ayat 15-17. Disiplin gereja harus dimulai dari sesuatu yang bersifat individual: tanggung jawab masing-masing jemaat. Apa yang dimulai pada tingkat personal (pribadi) bisa menjadi persoalan komunal (bersama) apabila langkah-langkah pelayanan yang personal tidak dihiraukan. Disiplin gereja adalah sikap komunal. Sikap komunal harus dimulai dari sikap individual. Jika persoalan tidak dapat terselesaikan di tingkat individual, disiplin gereja bisa diberlakukan terhadap sesuatu yang sudah menjadi persoalan bagi seluruh gereja. Berdasarkan pertimbangan inilah kita akan mencoba menarik beberapa prinsip penting tentang disiplin gereja dari Matius 18:15-17.
Sebelum prosedur: kasih
Tatkala kita mendengar istilah "disiplin gereja", kata apa yang pertama kali terbersit di pikiran kita? Bagi banyak orang, disiplin gereja diidentikkan dengan hukuman dan ketegasan. Hal ini tentu saja tidak salah. Ada aspek hukuman dan ketegasan dalam disiplin gereja.
Walaupun demikian, disiplin gereja sebenarnya lebih berhubungan, bahkan sangat berkaitan dengan kasih daripada dengan hukuman atau ketegasan. Hukuman dan ketegasan hanyalah wujud dari sebuah kasih yang besar. Poin inilah yang hendak disampaikan dalam Matius 18:15-20.
Orang yang berbuat dosa di sini tetap disebut sebagai "saudara" (18:15). Panggilan "saudara" bukan sapaan biasa. Ini adalah sapaan rohani antar orang percaya. Tidak peduli berapa usia kita atau apa etnis kita, semua orang percaya adalah saudara di dalam Kristus. Tidak peduli betapa besar kesalahan yang dia perbuat, status orang itu tidak berubah menjadi musuh kita. Dia tetap menjadi saudara seiman dalam Kristus, sekalipun disiplin gereja tetap harus dilakukan.