Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Eksposisi 1 Korintus 14:26-28

29 Juli 2018   21:45 Diperbarui: 29 Juli 2018   22:06 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (dok. pribadi)

Disadari atau tidak, kita hidup di dalam sebuah zaman yang sangat individualistis. Egoisme adalah sesuatu yang sangat mudah ditemukan di mana saja. Kita sangat mementingkan diri sendiri. Celakanya, hal ini juga terjadi di dalam gereja. Tak jarang pertanyaan seperti, “Apa yang aku dapat dari gereja?” dimunculkan ke permukaan. Tidak heran beberapa orang mulai meninggalkan gereja karena merasa diri tidak mendapat apa-apa. Melalui lanjutan artikel berseri dari Surat 1 Korintus ini, saya ingin mengubah paradigma kita yang akan didasari pada 1 Korintus 14:26-28. Teks ini mengajarkan kepada kita untuk memperhatikan orang lain dan memakai apa yang kita miliki demi kepentingan orang lain.

Penerjemah LAI:TB membantu kita untuk memahami bagian ini dengan cara memberi judul perikop yang baru. Hal ini sangat bisa dipahami. Ayat 26 memang merupakan pokok pikiran yang baru. Bagaimanapun, perikop ini tidak boleh dilihat terpisah atau tidak berhubungan dengan perikop di atasnya. Pertanyaan “Jadi, bagaimana sekarang, saudara-saudara?” di ayat 26a (ti oun estin, adelphoi;) menandakan bahwa Paulus mengambil ancang-ancang untuk menutup pembahasan tentang karunia-karunia rohani.

Studi komprehensif terhadap etika perjanjian Baru membuat saya menyetujui bahwa Paulus adalah salah satu tokoh yang paling menekankan kaitan antara doktrin dengan etika (teologi dengan tingkah laku sehari-hari). Perhatian lebih perlu diberikan dalam hal ini. Sebagian orang hanya mengajarkan hal-hal yang sifatnya praktis atau etika-etika biasa. Tidak ada doktrin sama sekali. Tidak ada landasan teologis yang solid. Hal ini berpotensi membuat kesalehan kita menjadi kesalahan. Sebagian lainnya hanya memenuhi pengajarannya dengan doktrin dan semua istilah teologi yang kental dengan nuansa akademis. Di dalam gereja-gereja semacam ini, jarang sekali diajarkan praktik hidup yang benar. Apa yang ada di dalam pikiran tidak dilakukan dalam hidup sehari-hari. Teologi tidak menjadi doksologi. Telah terjadi perceraian antara doktrin dan etika (teologi dan aplikasi).

Karena itu pemahaman teologis kita harus dibarengi dengan pelaksanaan praktik yang benar. Itulah yang dilakukan Paulus. Sesudah memberikan konsep-konsep teologis yang penting tentang berbagai karunia rohani (12:1-14:25) dengan susah payah, terutama karunia berbahasa roh dan bernubuat (14:1-25), Paulus kemudian mengakhiri uraiannya dengan sederetan peraturan praktis (aplikasi) tentang penggunaan karunia-karunia rohani dalam ibadah (14:26-40). Peraturan-peraturan praktis ini tentu saja dilandaskan pada poin-poin teologis yang sudah disampaikan sebelumnya.

Hari ini kita hanya akan menyoroti peraturan tentang penggunaan karunia berbahasa roh. Apakah karunia ini boleh dipergunakan dalam ibadah? Apa saja pedoman dan peraturan khusus dalam pengunaannya? Isu ini akan dikupas dalam dua bagian. Yang pertama mengenai prinsip umum (ayat 26) yang berlaku untuk semua karunia rohani tanpa terkecuali. Yang kedua mengenai pedoman khusus dalam penggunaan bahasa roh (ayat 27-28).

Prinsip umum (ayat 26)

Sebagian orang Kristen menganggap bahwa ibadah pribadi sama saja dengan ibadah bersama. Sama-sama berdoa, sama-sama mempelajari firman Tuhan, sama-sama memuji Tuhan. Anggapan ini tentu saja keliru.

Yang satu bukanlah substitusi bagi yang lain. Ibadah bersama di gereja harus dibarengi dengan ibadah pribadi, begitu pula sebaliknya. Sebagaimana ibadah pribadi memiliki dimensi tertentu yang tidak ada di ibadah bersama (keteduhan, intimasi yang lebih personal, dsb), demikian pula ibadah bersama memiliki keunikan tersendiri.

Dari 1 Korintus 14:26 kita dapat melihat dua prinsip yang menerangkan keunikan ibadah bersama (“Bilamana kamu berkumpul”). Paulus sedang berbicara tentang ibadah bersama, bukan ibadah pribadi. Paulus mengajarkan dua prinsip umum yang penting. Dua prinsip ini saling berhubungan. Dua prinsip ini bukan pilihan. Dua-duanya harus diperhatikan dan ditaati.

Dalam ibadah bersama, masing-masing orang memberi sesuai dengan karunianya (ayat 26a). Pemunculan frasa “tiap-tiap orang” yang diikuti oleh keragaman karunia rohani mengingatkan pada uraian Paulus sebelumnya di 12:7-11. Setiap orang pasti memiliki minimal satu karunia rohani (12:7, 11). Masing-masing orang memiliki sesuatu untuk diberikan. Ada begitu banyak macam karunia rohani. Bahkan apa yang disebutkan di 1 Korintus 12-14 (12:7-11, 28-30; 14:6, 26) tidak mewakili semua karunia rohani yang ada (bdk. Rm. 12:4-8; Ef. 4:11-13). Setiap orang yang sudah bertobat dengan sungguh-sungguh pasti menerima karunia Roh Kudus (Kis. 2:38 “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus”).

Untuk diketahui, orang yang memiliki karunia bermazmur sangat mahir dalam melagukan kitab-kitab mazmur, atau ia pandai menggubah ayat-ayat Alkitab atau ajaran para rasul untuk dilagukan. Di dalam zaman John Calvin, tidak ada alat musik yang digunakan di dalam ibadah bersama. John Calvin bahkan melarang jemaatnya menggunakan lagu gubahan sendiri. Ia memanggil orang yang pandai dalam hal musik dan kemudian diperintahkan untuk membuat melodi-melodi yang didasarkan pada teks Alkitab.

Jangan patah semangat jika kita tidak mendapati satupun karunia rohani yang disebutkan Paulus. Masing-masing orang yang sudah lahir baru pasti memiliki karunia rohani. Keragaman karunia rohani adalah sinyal positif bagi suatu gereja lokal. Semakin beragam karunia di suatu tempat, semakin merata pertumbuhan rohani jemaat di sana, sebab masing-masing karunia memiliki keunikan dan tujuan tersendiri. Jika setiap jemaat tidak iri dengan karunia orang lain, dan menggunakan karunia masing-masing dengan cara yang benar, maka sebuah gereja lokal akan menjadi semakin kuat.

Dalam ibadah bersama, masing-masing memikirkan pertumbuhan rohani orang lain (ayat 26b). Menggunakan karunia rohani dalam ibadah bersama adalah satu hal. Membangun orang lain melalui karunia tersebut adalah hal yang berbeda. Jemaat Korintus sangat antusias dalam menggunakan karunia mereka, namun motivasinya bukan untuk kebaikan orang lain, melainkan kesombongan diri sendiri, dan kepentingan-kepentingan lainnya. Karunia rohani telah dijadikan sebagai tanda kerohanian yang tinggi.

Pemunculan kata “semuanya itu” di ayat 26b menyiratkan bahwa tidak ada satu karunia pun yang diperkecualikan. Bahkan karunia berbahasa roh yang lebih diarahkan untuk pertumbuhan diri sendiri (14:2) juga wajib digunakan untuk membangun orang lain (14:5). Pendeknya, karunia rohani diberikan kepada kita, namun untuk kepentingan orang lain juga.

Gereja tidak membutuhkan orang-orang hebat yang mencari pengakuan dari orang lain dan menggunakan pelayanan sebagai sarana aktualisasi diri. Gereja tidak membutuhkan orang-orang bertalenta yang berambisi menjadikan diri mereka sendiri sebagai aktor utama. Gereja tidak membutuhkan orang-orang yang menjadikan pelayanan sebagai pelarian dari masalah-masalah rumah tangga. Gereja tidak membutuhkan orang-orang yang hanya menganggap pelayanan sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan materiil. Fokus dalam ibadah bersama adalah Allah. Yang kedua orang lain. Yang terakhir kita. Jika tiga hal ini diterapkan secara serius dalam setiap ibadah, niscaya semua pihak akan mendapatkan sukacita. Allah bersukacita atas pujian kita. Orang lain dikuatkan oleh kehadiran Allah dan karunia rohani kita. Kita sendiri juga dibangun oleh kehadiran Allah dan karunia rohani orang lain.     

Bagaimana dengan mereka yang tidak bertalenta dalam ibadah? Beberapa orang Kristen merasa bahwa ia tidak memiliki sesuatu yang berguna untuk ibadah bersama. Ia tidak pandai bernyanyi atau memainkan musik. Mengajar orang lain bukanlah salah satu kelebihannya. Memimpin pun mereka tidak mampu. Mereka merasa tidak perlu berkontribusi dan merasa tidak diperlukan.

Pemikiran seperti ini dalam taraf tertentu dipengaruhi oleh suasana ibadah gerejawi yang cenderung terlalu formal. Ibadah cenderung diidentikkan dengan rangkaian liturgi. Ibadah hanya dibatasi pada pembangunan relasi vertikal dengan Allah. Tidak heran, talenta yang berkaitan dengan “ibadah” hanya tertentu saja (misalnya menyanyi, bermain musik, dsb).

Kekristenan mula-mula ditandai dengan corak ibadah yang non-formal. Mereka beribadah di rumah-rumah dan bahkan seolah tidak ada jarak antara yang dipimpin dengan yang memimpin. Dengan demikian, karunia menasihati, karunia membagi-bagikan sesuatu, dan lain-lain menjadi lebih tampak dalam suasana ibadah yang non-formal.

Liturgi memang penting. Allah memang fokus dalam ibadah. Walaupun demikian, ibadah bersama juga menyentuh relasi horizontal dengan sesama. Ibadah juga mencakup apa yang kita lakukan kepada orang lain sebelum, selama, dan sesudah liturgi berlangsung. Ibadah bersama lebih luas daripada sekadar liturgi. Mendoakan atau menasihati orang lain adalah beberapa contoh sederhana bagaimana kita melayani orang lain dalam ibadah (dalam arti yang luas).

Pedoman khusus (ayat 27-28)

Penggunaan frasa “jika ada” di awal ayat 27 menunjukkan bahwa tidak semua orang diberikan karunia berbahasa roh. Pembacaan sekilas sudah cukup untuk menunjukkan bahwa apa yang dituliskan Paulus di sini sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam ibadah di gereja-gereja tertentu. Semua orang didorong untuk berbahasa roh tanpa mempedulikan manfaatnya bagi orang lain. Momen “penyembahan” menjadi ajang pelepasan emosi melalui “bahasa roh” tanpa mempedulikan apakah yang diucapkan benar-benar dari Roh Kudus atau sekadar fenomena psikologis belaka. Kemungkinan besar pendeta dari gereja-gereja tersebut tidak pernah membaca ayat ini.

Karunia berbahasa roh tidak boleh digunakan secara sembarangan. Ada prinsip umum yang harus diperhatikan. Ada pedoman khusus yang harus diikuti. Pedoman khusus ini dapat diringkas dalam dua kata: keteraturan (ayat 27) dan pengendalian diri (ayat 28).

Untuk menjamin keteraturan di dalam ibadah, Paulus memberikan aturan yang jelas tentang penggunaan karunia bahasa roh (ayat 27). Jumlah orang yang berbahasa roh tidak boleh terlalu banyak. Dua atau tiga orang sudah cukup. Tidak boleh semua orang yang memiliki karunia bahasa roh diberi kesempatan untuk berbahasa roh dalam ibadah. Mengapa jumlahnya perlu dibatasi? Masih ada beragam karunia rohani lain yang juga perlu untuk dibagikan di dalam ibadah. Jika semua orang yang memiliki karunia berbahasa roh diberi kesempatan menggunakan karunia itu dengan semau mereka, karunia-karunia rohani yang lain akan dipadamkan. Tidak akan ada waktu bagi mereka.

Selain jumlah orang, waktu penggunaannya pun diatur. Beberapa orang tidak boleh berbahasa roh secara bersamaan, sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan kekacauan. Setiap orang harus menunggu gilirannya, tanpa berdalih bahwa pekerjaan Roh Kudus tidak bisa ditahan. Jika Roh Kudus sudah melawat kita, maka semua peraturan duniawi tidak ada artinya lagi. Ini adalah konsep yang keliru. Budaya antre adalah sesuatu yang rohani!

Keteraturan yang lain dikaitkan dengan makna di balik bahasa roh itu. Dalam ibadah bersama, bahasa roh yang tidak disertai dengan penafsiran tidak akan membawa kebaikan bagi orang lain. Orang lain tidak akan dibangun (bdk. 14:6-12).

Penafsir bahasa roh bisa orang lain (14:26), tetapi bisa juga orang yang berkata-kata dalam bahasa roh (14:5, 13). Yang penting adalah bahasa roh harus dapat dimengerti oleh orang lain yang mendengarkannya dalam ibadah bersama. Tetapi kita jangan buru-buru percaya. Mintalah Tuhan memberikan kepekaan. Salah satu tanda bahwa Allah memang sungguh-sungguh ingin menyampaikan sesuatu kepada umat-Nya melalui bahasa roh adalah keberadaan orang yang diberi karunia untuk menafsirkan bahasa roh itu. Kalau tidak ada yang menafsirkan berarti Allah memang tidak berkehendak menyampaikan sesuatu melalui bahasa roh. Ia mungkin akan menggunakan karunia yang lain sebagai sarana komunikasi. Kalau tidak teratur, maka sudah bisa dipastikan kekeliruannya.

Aturan lain yang berkaitan erat dengan keteraturan adalah pengendalian diri (ayat 28). Jikalau tidak ada orang yang menafsirkan bahasa roh, orang yang berkata-kata dalam bahasa roh harus berdiam diri. Ia tidak perlu memperdengarkan kata-katanya kepada orang lain. Jika Tuhan memang ingin menyatakan sesuatu melalui karunia bahasa roh, pasti Tuhan menyediakan penafsirnya. Kalau Tuhan tidak menyediakan orang yang menafsirkannya, berarti Dia tidak ingin berbicara melalui bahasa roh kepada jemaat. Tuhan bisa saja berbicara melalui mazmur dan pengajaran, pujian dan doa, maupun karunia-karunia yang lain.

Bukan berarti orang tersebut dilarang menggunakannya sama sekali. Ia masih boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Tuhan. Ini masih tergolong berdoa dengan menggunakan roh (14:14-17). Perbedaannya hanya pada suara dan tujuan komunikasi. Dari sisi suara, bahasa roh tersebut tidak perlu diperdengarkan kepada orang lain. Dari sisi tujuan komunikasi, bahasa roh itu tidak ditujukan pada orang lain.

Semua aturan main yang praktis ini menunjukkan bahwa bahasa roh dapat dikendalikan. Pemberian karunia bahasa roh oleh Roh Kudus tidak meniadakan pengendalian diri. Orang yang berbahasa roh masih bisa memikirkan aturan-aturan tertentu (maksimal tiga orang dan bergantian), bahkan mampu menahan diri (berdiam diri apabila tidak ada yang menafsirkannya). Penggunaan bahasa roh yang tidak terkendali di dalam ibadah bersama harus dicurigai, entah perkataan itu bukan dari Roh Kudus atau orang yang menggunakannya tidak mengindahkan kebaikan orang lain. Ibadah yang berkenan kepada Tuhan selalu melibatkan keteraturan dan pengendalian diri.

Apa yang disampaikan Paulus ini jelas berkontradiksi dengan ajaran di gereja-gereja tertentu. Banyak orang meyakini bahwa karunia berbahasa roh tidak dapat dikendalikan. Jika Roh Kudus sedang memberikannya kepada seseorang, maka di manapun, kapanpun, dan bagaimanapun orang itu tidak akan mampu melawan. Ia mungkin akan terus berkata-kata dalam bahasa roh selama berjam-jam.

Gereja-gereja dari kalangan tertentu juga cenderung mengaitkan pekerjaan Roh Kudus dengan kebebasan. Kebebasan ini pun dipahami dengan cara yang aneh. Dalam dunia roh, semua batasan dan aturan yang ada di dunia nyata dipandang tidak lagi relevan. Jika sudah mengatasnamakan Roh Kudus, semua etika manusiawi tidak lagi mengikat. Beberapa bahkan mengklaim mendapat bisikan dari Roh Kudus untuk melakukan tindakan yang aneh dan bertabrakan dengan ajaran Alkitab.

Semua ini jelas merupakan kebodohan dan kekeliruan. Pekerjaan Roh tidak meniadakan keteraturan dan pengendalian diri. Batasan-batasan tetap diperhatikan. Kebaikan orang lain harus mendapat perhatian.

Artikel ini memang banyak bebicara tentang jemaat Korintus dan mungkin kita menyangka kita tidak akan menyalahi prinsip umum dan pedoman khusus di atas karena kita tidak berbahasa roh. Tetapi saya yakin bahwa kita pun sama bersalahnya dengan jemaat Korintus. Kalau kita datang ke ibadah dan cuek dengan orang lain, kita tidak berusaha menggunakan talenta kita untuk kepentingan bersama, maka kita sama bersalahnya dengan jemaat Korintus. Mungkin kita melayani menggunakan talenta kita dengan motivasi bukan untuk kebaikan orang lain, kita tidak beribadah dengan tidak teratur, bahkan kita terlambat datang beribadah, maka kita juga sama bersalahnya dengan jemaat Korintus. Saya sungguh berdoa kiranya ibadah kita menyenangkan Tuhan. Kiranya kita memperhatikan orang lain, bukan hanya memperhatikan diri kita sendiri.

Banyak yang Tuhan beri kepada kita, tetapi hanya sedikit yang kita berikan untuk orang lain. Banyak yang Tuhan percayakan kepada kita, tetapi begitu banyak yang kita “pendam di dalam tanah”. Kita adalah hamba-hamba yang jahat dan tidak setia. Kiranya melalui firman Tuhan ini, kita belajar untuk menjadi berkat bagi semua orang di sekeliling kita. Kiranya nama Tuhan senantiasa dimuliakan dan Injil Yesus Kristus senantiasa menjadi pusat dari pemikiran dan gaya hidup kita!  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun