Jangan patah semangat jika kita tidak mendapati satupun karunia rohani yang disebutkan Paulus. Masing-masing orang yang sudah lahir baru pasti memiliki karunia rohani. Keragaman karunia rohani adalah sinyal positif bagi suatu gereja lokal. Semakin beragam karunia di suatu tempat, semakin merata pertumbuhan rohani jemaat di sana, sebab masing-masing karunia memiliki keunikan dan tujuan tersendiri. Jika setiap jemaat tidak iri dengan karunia orang lain, dan menggunakan karunia masing-masing dengan cara yang benar, maka sebuah gereja lokal akan menjadi semakin kuat.
Dalam ibadah bersama, masing-masing memikirkan pertumbuhan rohani orang lain (ayat 26b). Menggunakan karunia rohani dalam ibadah bersama adalah satu hal. Membangun orang lain melalui karunia tersebut adalah hal yang berbeda. Jemaat Korintus sangat antusias dalam menggunakan karunia mereka, namun motivasinya bukan untuk kebaikan orang lain, melainkan kesombongan diri sendiri, dan kepentingan-kepentingan lainnya. Karunia rohani telah dijadikan sebagai tanda kerohanian yang tinggi.
Pemunculan kata “semuanya itu” di ayat 26b menyiratkan bahwa tidak ada satu karunia pun yang diperkecualikan. Bahkan karunia berbahasa roh yang lebih diarahkan untuk pertumbuhan diri sendiri (14:2) juga wajib digunakan untuk membangun orang lain (14:5). Pendeknya, karunia rohani diberikan kepada kita, namun untuk kepentingan orang lain juga.
Gereja tidak membutuhkan orang-orang hebat yang mencari pengakuan dari orang lain dan menggunakan pelayanan sebagai sarana aktualisasi diri. Gereja tidak membutuhkan orang-orang bertalenta yang berambisi menjadikan diri mereka sendiri sebagai aktor utama. Gereja tidak membutuhkan orang-orang yang menjadikan pelayanan sebagai pelarian dari masalah-masalah rumah tangga. Gereja tidak membutuhkan orang-orang yang hanya menganggap pelayanan sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan materiil. Fokus dalam ibadah bersama adalah Allah. Yang kedua orang lain. Yang terakhir kita. Jika tiga hal ini diterapkan secara serius dalam setiap ibadah, niscaya semua pihak akan mendapatkan sukacita. Allah bersukacita atas pujian kita. Orang lain dikuatkan oleh kehadiran Allah dan karunia rohani kita. Kita sendiri juga dibangun oleh kehadiran Allah dan karunia rohani orang lain.
Bagaimana dengan mereka yang tidak bertalenta dalam ibadah? Beberapa orang Kristen merasa bahwa ia tidak memiliki sesuatu yang berguna untuk ibadah bersama. Ia tidak pandai bernyanyi atau memainkan musik. Mengajar orang lain bukanlah salah satu kelebihannya. Memimpin pun mereka tidak mampu. Mereka merasa tidak perlu berkontribusi dan merasa tidak diperlukan.
Pemikiran seperti ini dalam taraf tertentu dipengaruhi oleh suasana ibadah gerejawi yang cenderung terlalu formal. Ibadah cenderung diidentikkan dengan rangkaian liturgi. Ibadah hanya dibatasi pada pembangunan relasi vertikal dengan Allah. Tidak heran, talenta yang berkaitan dengan “ibadah” hanya tertentu saja (misalnya menyanyi, bermain musik, dsb).
Kekristenan mula-mula ditandai dengan corak ibadah yang non-formal. Mereka beribadah di rumah-rumah dan bahkan seolah tidak ada jarak antara yang dipimpin dengan yang memimpin. Dengan demikian, karunia menasihati, karunia membagi-bagikan sesuatu, dan lain-lain menjadi lebih tampak dalam suasana ibadah yang non-formal.
Liturgi memang penting. Allah memang fokus dalam ibadah. Walaupun demikian, ibadah bersama juga menyentuh relasi horizontal dengan sesama. Ibadah juga mencakup apa yang kita lakukan kepada orang lain sebelum, selama, dan sesudah liturgi berlangsung. Ibadah bersama lebih luas daripada sekadar liturgi. Mendoakan atau menasihati orang lain adalah beberapa contoh sederhana bagaimana kita melayani orang lain dalam ibadah (dalam arti yang luas).
Pedoman khusus (ayat 27-28)
Penggunaan frasa “jika ada” di awal ayat 27 menunjukkan bahwa tidak semua orang diberikan karunia berbahasa roh. Pembacaan sekilas sudah cukup untuk menunjukkan bahwa apa yang dituliskan Paulus di sini sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam ibadah di gereja-gereja tertentu. Semua orang didorong untuk berbahasa roh tanpa mempedulikan manfaatnya bagi orang lain. Momen “penyembahan” menjadi ajang pelepasan emosi melalui “bahasa roh” tanpa mempedulikan apakah yang diucapkan benar-benar dari Roh Kudus atau sekadar fenomena psikologis belaka. Kemungkinan besar pendeta dari gereja-gereja tersebut tidak pernah membaca ayat ini.
Karunia berbahasa roh tidak boleh digunakan secara sembarangan. Ada prinsip umum yang harus diperhatikan. Ada pedoman khusus yang harus diikuti. Pedoman khusus ini dapat diringkas dalam dua kata: keteraturan (ayat 27) dan pengendalian diri (ayat 28).