Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemilihan Tanpa Syarat

16 Februari 2018   05:49 Diperbarui: 20 Agustus 2018   17:49 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun demikian, kita tidak boleh mengabaikan ajaran Alkitab bahwa Allah bukan hanya menetapkan hasil pemilihan, tetapi proses dalam pemilihan tersebut. Pertobatan dan pelayanan Paulus tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi sudah direncanakan Allah jauh sebelumnya (Gal. 1:15). Roma 8:29-30 menunjukkan bahwa pemilihan tanpa syarat sejak kekekalan pasti akan diikuti dengan penentuan, pemanggilan, pembenaran dan pemuliaan. Semua proses di atas hanya akan terjadi kalau ada yang diutus, pergi dan memberitakan Injil (Rm. 10:14-17). Orang-orang pilihan Allah di Kisah Rasul 13:48 akhirnya benar-benar menerima keselamatan melalui kotbah Paulus dan Barnabas.

Di samping itu, kita juga perlu memahami bahwa kita tidak tahu siapa yang dipilih dan siapa yang dibiarkan Allah dalam kebinasaan. Ketidaktahuan ini seharusnya memotivasi kita untuk lebih semangat memberitakan Injil kepada siapapun juga, karena siapa tahu di antara mereka ada yang dipilih Allah untuk diselamatkan. Ingat, pedoman hidup kita bukanlah ketetapan Allah sejak kekekalan (karena tidak ada orang yang mengetahui hal itu), tetapi ketetapan-Nya dalam Alkitab. Kalau Alkitab mengajarkan kita untuk memberitakan Injil (Mat. 28:19-20), maka kita harus melakukan hal tersebut.

Sejarah gereja juga mencatat bahwa mereka yang memegang doktrin predestinasi adalah mereka yang justru sangat giat dalam pekabaran injil, misalnya Charles Spurgeon, George Whitefield, William Carey, David Livingstone. Kesuaman misi di kalangan gereja-gereja yang memegang doktrin predestinasi bukan bersumber dari teologi yang salah, tetapi sikap yang salah terhadap teologi tersebut. Akar masalah terletak pada ekses, bukan esensi dari konsep tersebut.

Keberatan lain terhadap pemilihan tanpa syarat didasarkan pada studi kata sifat “pilihan” (eklektos). Mereka yang menolak doktrin predestinasi berpendapat bahwa dari 22 kali pemunculan kata sifat ini, arti yang dimaksud bisa merujuk pada “orang-orang yang terpilih” atau “superior [dibandingkan yang lain]”. Mereka juga memberikan data dari Septuaginta (LXX) yang mendukung makna yang terakhir. Jika pendapat ini benar, maka pemilihan Allah hanyalah bermakna pengkhususan orang-orang tertentu, tetapi tidak menyiratkan seleksi, apalagi penolakan terhadap orang lain.

Walaupun keberatan di atas sekilas tampak meyakinkan, namun tidak didukung oleh penyelidikan kata Yunani yang memadai. Ide tentang predestinasi tidak hanya didapat dari bentuk kata sifat “eklektos”, tetapi juga dari kata benda “eklogh” (“pemilihan”) maupun kata kerja “eklegw” (“memilih”). Dari pemunculan kata “eklogh” sebanyak 7 kali dalam PB, 4 di antaranya secara eksplisit merujuk pada “pemilihan” (Rm. 9:11; 11:5, 28; 1Tes. 1:4), sedangkan 3 yang lain artinya kurang begitu jelas (Kis. 9:15; Rm. 11:7; 2Pet. 1:10). Kata kerja “eklegw” muncul 20 kali dalam PB dan 19 di antaranya secara eksplisit merujuk pada tindakan “memilih” (Mrk. 13:20; Luk. 6:13; 10:42; 14:7; Yoh. 6:70; 13:18; 15:16,19; Kis. 1:2,24; 6:5: 13:17; 15:7,22,25; 1Kor. 1:27,28; Ef. 1:4; Yak. 2:5).

Keberatan lain terhadap pemilihan tanpa syarat didasarkan pada pemikiran logis sebagai berikut: seandainya orang-orang yang binasa memang sudah ditetapkan Allah untuk itu, maka mereka tidak perlu bertanggung-jawab terhadap dosa mereka; faktanya, Alkitab menuntut pertanggungjawaban dari orang-orang berdosa, karena itu kebinasaan mereka pasti bukan karena ketetapan Allah, melainkan pilihan orang-orang itu sendiri.

Keberatan di atas didasarkan pada pemahaman yang keliru tentang predestinasi (terutama reprobasi). Reprobasi bukanlah penyebab keberdosaan manusia. Reprobasi hanyalah membiarkan manusia berada dalam keadaan mereka yang berdosa. Manusia berdosa menyukai keberdosaan mereka, karena itu mereka patut menerima hukuman atas tindakan tersebut.

Keberatan lain yang sangat sering diajukan untuk menolak doktrin pemilihan tanpa syarat didasarkan pada ajaran Alkitab yang tampaknya mengajarkan bahwa Allah menghendaki semua manusia diselamatkan (Yeh. 18:23, 32; 33:11; 1Tim. 2:4; 2Pet. 3:9). Dalam bagian Alkitab yang lain Allah menyatakan keinginan-Nya terhadap pertobatan manusia, yang akhirnya bisa terjadi atau tidak (Yes. 30:18; 45:22; 65:2; Rat. 3:31-36; Hos. 11:7-8; Mat. 23:37//Luk. 13:34). Teks-teks yang eksplisit seperti ini dianggap sangat bertentangan dengan doktrin pemilihan tanpa syarat. Lebih jauh, mereka berargumentasi bahwa kita harus lebih memprioritaskan teks-teks yang lebih jelas daripada teks-teks lain yang masih kabur.

Harus diakui, keberatan ini merupakan salah satu yang paling sulit dijawab dengan tuntas. Dalam hal ini kita perlu membedakan antara kehendak Allah yang pasti akan terjadi (decritive will) dan kehendak Allah yang dinyatakan (prescriptive will), walaupun dua istilah teknis tersebut sebenarnya tidak terlalu tepat (Frame, Doctrine of God, 531). Alkitab memberikan banyak contoh bahwa tidak setiap kehendak Allah yang diekspresikan ternyata menjadi kenyataan. Allah menyesal ketika melihat semua manusia berdosa (Kej. 6:6). Yesus sangat menginginkan keselamatan Yerusalem, tetapi hal itu tidak terjadi (Mat. 23:37//Luk. 13:34). Sebaliknya, Alkitab mengajarkan bahwa semua rencana Allah tidak ada yang gagal (Ay. 42:2). Fenomena di atas sangat banyak ditemukan dalam Alkitab dan bukan hanya berkaitan dengan keselamatan manusia saja.

Dua kehendak di atas tidak boleh dianggap sebagai sebuah kontradiksi. Dalam kehidupan kita sehari-hari pun dua macam kehendak tersebut sering muncul bersama-sama. Seorang yang menderita infeksi parah di tangannya memutuskan untuk menjalani amputasi (pemotongan anggota tubuh) supaya infeksi itu tidak menular ke seluruh tubuh. Orang ini memang memutuskan untuk mengamputasi tangannya, namun hal ini jelas bukanlah apa yang dia kehendaki dari semula. Seorang yang sedang membela diri dari serangan perampok terpaksa melawan dan membunuh perampok tersebut, walaupun dia tidak pernah berkeinginan untuk membunuh orang.

Jawaban kedua terhadap keberatan di atas terletak pada analisa konteks dari setiap teks yang didiskusikan. Dalam 1 Timotius 2:4 jelas terlihat bahwa yang dimaksud “semua orang” bukanlah “setiap manusia”, tetapi “semua orang tanpa perbedaan status”, terutama mereka yang berada dalam posisi pemerintahan (1Tim. 2:1-2). Dalam 2 Petrus 3:9 kata “kamu” di ayat tersebut sangat mungkin merujuk pada orang-orang percaya yang menerima surat itu. Hal ini akan tampak lebih jelas jika kita memperhatikan bahwa dalam pasal ini Petrus menggunakan kata ganti orang “kamu” untuk penerima surat (ayat 1-3) dan “mereka” untuk para pengejek kekristenan (ayat 4-7).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun