Kelemahan konsep pilihan yang didasarkan pada pra-pengetahuan Allah
Ada dua sisi kelemahan dari konsep pemilihan yang didasarkan pada pra-pengetahuan Alkitab. Sisi pertama dari Alkitab dan sisi kedua dari logika. Kedua sisi ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan, karena pemahaman Alkitab membutuhkan logika sedangkan kebenaran logika hanya dapat diteguhkan oleh kebenaran firman. Bagaimanapun, pembedaan antara keduanya akan mempermudah pemahaman.
Dari sisi Alkitab, pemilihan berdasarkan pra-pengetahuan Allah tidak memiliki dasar biblikal yang kuat. Kalangan Armenian biasanya memakai Roma 8:29 untuk mendukung pandangan mereka. Inti argumen mereka terletak pada kata “proegnw” (“mengetahui sebelumya”, band. mayoritas versi Inggris). LAI:TB menerjemahkan proegnw di Roma 8:9 dengan “dipilih”.
Penyelidikan yang teliti menunjukkan bahwa pemakaian kata dasar “ginwskw” untuk mendukung pandangan pemilihan berdasarkan pra-pengetahuan adalah tindakan tidak tepat. Kata kerja “ginwskw” (mengetahui/mengetahui) merupakan ungkapan umum di kalangan orang Yahudi untuk merujuk pada pegetahuan yang melibatkan relasi maupun kasih, bukan sekadar pengetahuan intelektual/kognitif. Tidak heran, dalam Alkitab – baik kata Ibrani “yada” (PL) maupun “ginwskw” (PB) – dipakai untuk hubungan seksual (melibatkan relasi yang intim, band. Kej 4:1; Mat. 1:25; Luk. 1:34). Di samping itu, pemakaian ungkapan “mengetahui” dalam beberapa teks secara eksplisit tidak mungkin merujuk pada pengetahuan kognitif saja. Mazmur 1:6 “Tuhan mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan”. Ayat ini jelas tidak mengajarkan bahwa Tuhan secara kognitif hanya mengetahui jalan orang benar, karena Dia mahatahu dan pasti mengetahui jalan orang fasik juga. “Mengetahui” di sini menyiratkan relasi. Amos 3:2 “hanya kamu yang Ku-kenal dari segala kaum di muka bumi”. Apakah Tuhan tidak mengetahui bangsa lain?
Penggunaan kata “proginwskw” (“mengetahui sebelumnya”) maupun “prognwsis” (“pra-pengetahuan”) dalam Perjanjian Baru juga mendukung makna yang lebih dari sekedar pengetahuan kognitif (Douglas J. Moo, The Epistle to the Romans, 532). Jika dua kata itu dipakai untuk Allah, maka maknanya lebih dari sekedar pengetahuan kognitif. Bangsa Israel adalah bangsa diketahui Allah sebelumnya (baca: dipilih, Rm. 11:2). Yesus telah diketahui Allah (baca: dipilih) sebelumnya untuk menjadi kurban penebusan dosa (Kis. 2:23; 1Pet. 1:20). Dalam 1Petrus 1:2 tertulis “orang-orang yang diketahui sebelumnya (baca: dipilih)….supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya”.
Konteks Roma 8:29 juga mendukung makna pengetahuan relasional (Moo, Romans, 532-533). Objek pra-pengetahuan dalam Roma 8:29 bukanlah benda, tetapi manusia (“semua orang yang diketahui sebelumnya”). Selain itu, cakupan pra-pengetahuan ini hanyalah sebagian orang. Jika “mengetahui sebelumnya” hanya dipahami secara kognitif, maka hal itu bertentangan dengan konsep kemahatahuan Allah. Cakupan yang terbatas ini jelas merujuk pada pada pengetahuan relasional.
Dari sisi logika, pemilihan yang didasarkan pada pra-pengetahuan juga tidak dapat dipertahankan, karena berkontradiksi dalam dirinya sendiri (self-contradictive). Berdasarkan kemahatuan Allah, jika Dia mengetahui sesuatu, maka apa yang Dia ketahui tersebut pasti akan terjadi. Jika Allah sejak kekekalan mengetahui bahwa orang-orang tertentu akan percaya kepada-Nya, maka mereka pastiakan percaya. Jika demikian, apakah gunanya Allah memilih mereka untuk diselamatkan? Bukankah kalau Allah tidak berbuat apapun (hanya mengetahui secara kognitif saja), maka mereka tetap akan percaya kepada-Nya? Jika demikian, bagaimana konsep Alkitab tentang keselamatan sebagai anugerah mutlak Allah?
Contoh konkret pertobatan dari orang yang melawan Tuhan
Argumen terakhir yang mendukung pemilihan tanpa syarat adalah pertobatan dari orang-orang yang sangat menentang Tuhan. Contoh yang paling jelas adalah Paulus. Pertobatannya selama perjalanan menuju Damsyik merupakan sebuah “paksaan” dari Tuhan dan diibaratkan seperti bayi yang lahir prematur (1Kor. 15:8). Paulus selanjutnya menyadari bahwa dia telah dipilih Tuhan sebelumnya, bukan hanya untuk pertobatan tetapi juga untuk pelayanan sebagai rasul (Gal. 1:15-16). Robert D. Culver bahkan meyakini bahwa alasan ini pula yang embuat Paulus menjadi rasul yang paling bersemangat mengajarkan predestinasi (Systematic Theology: Biblical & Historical, 125). Pertobatan seperti yang dialami Paulus merupakan salah satu bukti bahwa hal itu terjadi murni dari inisiatif dan intervensi Allah. Paulus bertobat bukan ketika dia sedang mencari kebenaran, tetapi justru ketika dia berusaha membinasakan kebenaran itu. Dia bertobat bukan karena menemukan kebenaran, tetapi ditemui Sang Kebenaran (Yoh. 14:6).
Predestinasi ganda
Isu yang paling sulit sehubungan dengan predestinasi adalah tentang orang-orang yang tidak dipilih. Sebagian sarjana menyebut mereka yang tidak dipilih sebagai orang-orang yang ditolak, namun istilah “orang-orang yang ditolak” tampaknya tidak tepat. Istilah ini memberi kesan manusia berdosa telah mengindikasikan inisiatif untuk datang, tetapi Allah dengan aktif menolak/menghalangi mereka. Predestinasi didasarkan pada natur manusia yang berdosa. Tanpa intervensi Allah dalam bentuk paket keselamatan (dari predestinasi sampai pemuliaan), manusia tidak akan percaya kepada Allah. Karena manusia berdosa tidak mungkin datang kepada Allah, mereka tidak perlu ditolak.