Keempat, Yesus juga pernah menggunakan Kejadian 1-2 sebagai dasar dari argumentasi ketika Ia berdebat dengan orang-orang Farisi seputar perceraian. Yesus melarang perceraian dengan dasar Allah telah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan (Mat. 19:4//Mrk. 10:6//Kej. 1:27) dan mereka harus menjadi satu (Mat. 19:5-6//Mrk. 10:7-8//Kej. 2:24). Seandainya kisah penciptaan di Kejadian 1-2 hanyalah sebuah mitos, maka argumen Yesus tidak akan memiliki nilai sama sekali. Argumen Yesus akan menjadi kuat kalau Yesus sedang membicarakan dua manusia aktual (Hoekema, Manusia, 147).
Kelima, Paulus pernah memakai Kejadian 1-3 sebagai dasar argumentasinya ketika ia membahas tentang perempuan dan pengajaran. Dia melarang perempuan mengajar atau memiliki otoritas atas laki-laki karena “Adam yang pertama dijadikan, bukan Hawa” (1Tim. 2:13//Kej. 2:5-7, 21-22). Alasan lain adalah karena “perempuan itulah yang tergoda” (1Tim. 2:14//Kej. 3:6, 13). Inti dari penggunaan teks Perjanjian Lama di sini adalah kronologi. Jika Kejadian 1-3 bukan peristiwa historis, maka kronologi tidak akan memiliki makna apapun. Justru karena kisah penciptaan dan kejatuhan merupakan suatu peristiwa historis yang terjadi dalam waktu, maka kisah itu memiliki kronologi dan layak dijadikan sebagai argumen (Hoekema, Manusia, 147).
Keenam, Adam beberapa kali disejajarkan dengan Kristus dalam Perjanjian Baru. Secara khusus, perbandingan ini melibatkan keberdosaan Adam (Rm. 5:12-21; 1Korm 15:21-22). Terlepas dari perdebatan seputar akibat kejatuhan Adam (lihat bagian selanjutnya), perbandingan tersebut tetap mengarah pada historisitas kisah itu. Jika Adam hanyalah tokoh mitos, maka Kristus juga dipahami sebagai tokoh mitos (Hoekema, Manusia, 148; Young, In the Beginning, 86). Karena Paulus sebelumnya memahami Kristus sebagai tokoh historis (Rm. 5:5-8; 1Kor. 15:1-11), maka perbandingan-Nya dengan Adam juga mengindikasikan bahwa Adam adalah tokoh historis, termasuk peristiwa kejatuhan yang dia alami.
Doktrin perjanjian kerja adalah konsep yang tidak Alkitabiah
Sanggahan lain terhadap kerusakan total didasarkan pada penolakan terhadap ide perjanjian. Sebagaimana kita ketahui, doktrin perjanjian (covenantal theology) – baik perjanjian kerja di dalam Adam maupun perjanjian anugerah di dalam Kristus – merupakan salah satu ciri khas Teologi Reformed. Sejumlah besar teolog Reformed mengajarkan doktrin ini. Bagaimanapun, beberapa teolog Reformed ternyata menolak ide tentang perjanjian, misalnya G. C. Berkouwer, Herman Hoeksema, John Murray, Anthony Hoekema.
Mereka yang menolak istilah perjanjian kerja biasanya memberikan beberapa alasan (lihat Hoekema, Manusia, 154-157).
- Istilah “perjanjian kerja” dapat mengaburkan konsep tentang anugerah. Jika Kejadian 2:16-17 adalah sebuah perjanjian kerja, maka seandainya Adam berhasil menaati perintah itu ia akan mendapat sesuatu yang baik sebagai upah bagi ketaatannya. Dengan demikian, ketaatan manusia hanya dipahami sebagai instrumen untuk memperoleh sesuatu yang menyenangkan manusia, padahal sebagai ciptaan manusia memang harus menaati Allah.
- Alkitab tidak menyebut Kejadian 2:16-17 sebagai sebuah perjanjian. Hosea 6:7 yang sering dipakai untuk mendukung doktrin perjanjian kerja ternyata dapat ditafsirkan dalam banyak cara. Kata Ibrani “ke adam” dalam ayat ini bisa diterjemahkan “seperti manusia” (KJV/NKJV).
- Kejadian 2:16-17 tidak memenuhi persyaratan sebagai sebuah perjanjian, karena tidak memiliki beberapa elemen penting perjanjian, misalnya pengesahan dengan sumpah (Kej. 26:28; Ul. 29:12, 14, 21; Yeh. 16:59; 17:18); upacara tertentu; benda tertentu sebagai bukti; sanksi dan janji jika isi perjanjian dilanggar atau ditepati.
- Kata “perjanjian” selalu dipakai dalam konteks penebusan, sedangkan Kejadian 2:16-17 diberikan sebelum kejatuhan ke dalam dosa.
Dari semua poin di atas terlihat bahwa argumen untuk menolak konsep maupun istilah “perjanjian kerja” tidak sepenuhnya meyakinkan. Allah memang berhak menerima ketaatan ciptaan dan Dia tidak wajib memberi imbalan atas ketaatan tersebut, namun dalam beberapa kasus Allah sendiri menjanjikan imbalan apabila orang memegang perjanjian-Nya (Kel. 34:10-11; Im. 26:3-13; Ul. 5:2, 10; 8:18; 29:9).
Terjemahan “seperti manusia” di Hosea 6:7 menjadikan ayat ini tampak tidak masuk akal. Hosea 6:7a akan menjadi “tetapi seperti manusia mereka telah melanggar perjanjian”. Bukankah mereka adalah manusia? Lalu apakah artinya “seperti manusia”? Lebih masuk akal jika kata “adam” di sini dipahami sebagai nama orang (Adam), bukan “manusia”.
Ide tentang perjanjian di dalam Alkitab tidak selalu harus mencakup semua elemen dari sebuah perjanjian kuno. Dalam beberapa kasus ide perjanjian muncul secara eksplisit, tetapi tanpa elemen sumpah atau upacara tertentu (Kej. 17:1-14), tanpa syarat yang harus dilakukan maupun sanksi bila melanggar (Kej. 9:9-17; 15:18-21).
Kata “perjanjian” dalam Alkitab tidak selalu dipakai antara Allah dan manusia dalam konteks penebusan. Perjanjian dapat dilakukan antar manusia (Kej. 21:27; 26:28-29; 31:44). Alkitab bahkan mencatat perjanjian antara Allah dan semua makhluk (termasuk binatang), yaitu di Kejadian 9:10, 12, 15. Dari teks ini terlihat bahwa kata “perjanjian” tidak selalu dalam konteks penebusan.
Satu hal yang perlu kita ketahui adalah bahwa sekalipun beberapa teolog Reformed menolak istilah “perjanjian kerja”, namun mereka tetap memegang teguh doktrin tentang universalitas dosa atas semua manusia akibat dari ketidaktaatan Adam (Hoeksema, Reformed, 223-226; Hoekema, Manusia, 157). Mereka tetap mengakui bahwa Adam adalah kepala dan perwakilan dari seluruh umat manusia. Yang dipersoalkan mereka sebenarnya hanyalah relasi antara Adam dan Allah, bukan Adam dan keturunannya. Jadi, terlepas dari isu apakah istilah “perjanjian kerja” tetap perlu dipertahankan atau tidak, hal itu tidak menyangkali fakta penerusan (pemerhitungan) dosa dari Adam kepada seluruh manusia.