Mohon tunggu...
Stefi Rengkuan
Stefi Rengkuan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Misteri kehidupan itu karena kekayaannya yang beragam tak berkesudahan

Lahir di Tataaran, desa di dekat Danau Tondano, Minahasa. Pernah jadi guru bantu di SD, lalu lanjut studi di STFSP, lalu bekerja di "Belakang Tanah" PP Aru, lalu di Palu, dan terakhir di Jakarta dan Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Profisiat, Prof. Perry Rumengan atas Musik Liturgi dengan Pendekatan Multidisiplin, Satu-satunya?

31 Desember 2023   01:20 Diperbarui: 1 Januari 2024   12:37 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto sampul buku sendiri

Judul artikel ini diakhiri dengan tanda tanya dan mestinya berakhir dengan tanda seru atau tanda titik saja. Masing-masing pembaca bebas berpendapat, dan tentu dengan pemahaman dan penghayatannya masing-masing, setelah membaca uraian di sini dan terlebih membaca isi buku setebal 463 tersebut.

Pernahkah anda mengalami suatu peristiwa yang berentetan dengan peristiwa lainnya, atau suatu pengalaman pribadi yang bila diingat-ingat dan makin ditelusuri ternyata wow, terkait dengan fungsi peran atau kehadiran nyata pihak lain yang tak terduga? Orang merumuskan fenomena semacam ini sebagai suatu rentetan kebetulan belaka. Akan tetapi mesti ada penjelasan toh, sulit ataupun gampang diterima akal budi dan akal iman.


Inilah respons spontan yang muncul dalam diri saya di awal terkait terbitnya buku fenomenal karya terbaru Prof. Perry Rumengan, Musik Liturgi Gereja (MLG), terbitan Pohon Cahaya, Yogyakarta, Desember 2023, dari sekian banyak buku yang telah dihasilkannya sepanjang karier profesionalnya sebagai ahli musik dan etnomusikolog. 

Dan karana itu, uraian berikut akan coba memperlihatkan faktor-faktor "kebetulan" yang sebenarnya bisa dijelaskan dengan pendekatan kuantum (vibrasi gelombang dan partikel bersamaan), yang kiranya akan menjadi batang utama yang menghubungkan semua hal yang mungkin dan adanya pohon buku luar biasa ini. 

Teori relativitas sudah menemukan bahwa bunyi dapat melewati ruang dan waktu. Bukan hanya gelombang bunyi itu dapat memengaruhi medium udara, air, dan benda padat, namun pada gilirannya dapat mempengaruhi ruang dan waktu itu. (Hlm. 18-19) Kita tidak dapat mengetahui posisi dan momentum suatu partikel secara simultan dengan presisi yang sama (prinsip Heisenberg), walau partikel dapat berada dalam dua atau lebih keadaan secara simultan (superposition). Dua partikel yang saling terkait akan tetap terkait meskipun jarak antara keduanya sangat jauh (Entanglement). (Hlm. 21)

Begini, awalnya naskah buku ini pernah ditawarkan untuk diproses di tempat kami, tapi kemudian tak berlanjut lagi. Lalu cukup lama berselang, sekitar 3 bulan, tiba-tiba sang penulis mengontak: "Luar biasa, saya sudah coba tawarkan naskah ke sana sini, dan dalam sebuah grup WA ada yang menyanggupi untuk membantu memprosesnya. Baru kemudian saya tahu ternyata beliau terafiliasi langsung dengan penerbit bung sendiri di Yogya itu." Suatu kejadian tak terduga, tak diharapkan lagi, tapi ternyata sungguh terjadi.

Saya sendiri baru menjadi lebih sadar akan kebesaran buku ini, di penghujung buku siap terbit, sekitar awal Desember, terutama dengan memperhatikan komentar-komentar yang akan dimasukkan dalam naskah buku tersebut oleh para tokoh terkenal di bidangnya.

Rasa kagum dan segan makin memasuki interior hati dan pikiran saya, kepada dia yang pernah memberi kuliah kontekstualisasi musik lokal gerejani. Kala itu ca 30 tahun lalu di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Minahasa. Satu hal secara formal yang terpatri adalah apa bagaimana mengapa calon pelayan mesti bisa menangkap nada-nada musik yang ada dan berkembang di tengah masyarakat budaya.

Sela satu kebesaran dan kekuatan buku ini adalah pendekatannya yang kaya atas musik itu sendiri, bahkan bisa menjadi satu-satunya pada saat ini, sejauh dikenal para komentator sendiri. Nada komen tersebut diungkapkan pertama oleh pembina dan dosen saya juga, Pastor Johanis Ohoitimur, MSC. 

"Buku ini benar-benar menawarkan pandangan yang komprehensif terhadap musik liturgi Gereja. Pembahasannya bercorak lintas batas, melampaui perspektif teologi umumnya dan khususnya teologi liturgi. Pendekatan yang digunakan bersifat multidisipliner dan sekaligus kontekstual. Multidisipliner karena memandang musik liturgi Gereja dari perspektif disiplin ilmu yang beraneka ragam...."

Rektor Unika de La Salle Manado, yang ahli filsafat metafisika ini, rupanya sungguh tertarik hati dengan naskah buku ini kendati awalnya sudah dinyatakan tak disanggupi untuk sekedar memberi sebuah komentar singkat. "Beliau akhirnya mengirimkan komentar di tengah kesibukannya pun dalam kondisi masa pemulihan operasi medis, dan itu mengejutkan saya, terlebih lagi isinya membuat saya menyadari dengan penuh takjub nan rendah hati betapa saya sudah mencurahkan segala kemampuan saya dan bahkan rasanya apa yang saya tulis itu melampaui pikiran dan kehendak terbatas saya." Ungkap penulis dalam sambungan telepon 3 hari lalu, saat paket buku tersebut saya terima.

Ini bisa jadi mengungkapkan dan menegaskan sebuah inti energi yang kuat dari sebuah buku dan tentu dengan penulisnya yang bisa mempengaruhi seorang rohaniawan yang menurut kalkulasi ruang dan waktu fisika tidak memungkinkan. 

Dari sisi Pastor Yong, nama panggilan sang profesor, tentu saja sebagai subyek bebas menanggapi vibrasi dan getaran buku dan dengan penulis tersebut, dan mungkin salah satu faktor penentu adalah latar belakang spiritualitas hati sebagai anggota ordo hati kudus Yesus (MSC) yang sangat terlatih untuk peka dan tanggap. Dia juga terkenal dengan penelitian yang mengungkap paham ketuhanan dua filsuf besar, Thomas Aquinas dan Arnold N. Whitehead, dan bagaimana dua filsuf berbeda zaman bisa memiliki kunci lagu yang khas tentang entitas keilahian yang mesti ada, suka atau tidak suka, walau bisa sama dan berbeda dalam hal nada dan irama pembahasan. 

Dan bukanlah kebetulan buku yang diolah kembali dari disertasinya itu dicetak dan diterbitkan oleh kami dengan judul God and the World. A Study in the Dialogue between Whiteheadianism and Contemporary Thomism, penerbit Cahaya Pineleng, Jakarta, 2014.


Ester Gunawan Nasrani, seorang ahli dan praktisi musik gerejani yang menjadi konsultan dari sebuah denominasi yang punya tradisi kuat dalam hal musik gerejani, pastilah punya resonansi terhadap buku dan penulis ini. Komentar beliau menegaskan kembali sifat komprehensif buku baru ini dan pentingnya semua pihak untuk memperhatikan informasi dan kajian serta saran penting dan bermanfaat dalam memahami dan memaknai setiap tindakan liturgis, khususnya terkait musik liturgi gerejani.

Menarik juga beliau mengawali uraiannya dengan mengutip Martin Luther. "Next to theology, I give the first and highest honor to music." 

Bapa gerakan reformasi utama gereja yang memunculkan harapan baru dan protestantisme awal ini adalah tokoh besar yang oleh kehendak sejarah terlahir dari rahim biara ordo yang berpedoman pada ajaran dan spiritualitas St. Agustinus dari Hippo, yang pernah merumuskan ungkapan klasik: Qui bene cantat bis orat, "Dia yang menyanyi dengan baik sama dengan berdoa dua kali."

Kata-kata doa saja sesungguhnya sudah merupakan ungkapan jiwa manusia, dan terinspirasi dari Alkitab, ada penulis buku psiko spiritual terkenal menulis bahwa doa yang tak terucapkan bila itu ada dalam jiwa rohani manusia maka itulah doa yang paling kuat menghubungkan bumi dan surga. Apalagi bila kata-kata doa itu bisa bersenandung dan disenandungkan dengan penghayatan sepenuh jiwa dan kemampuan, bisa berlipat lagi efeknya terutama bagi si pendoa sendiri tentunya.

Ungkapan dari Luther (1483 - 1546) yang digelari Bulbul dari Wittenberg, kiranya terinspirasi dari bapa gereja, St. Agustinus (354 - 430) mengingatkan kita akan beberapa tokoh reformasi awal hampir sejaman dengan gerakan Luther, Calvin, Zwingli, dll. Antara lain St. Theresia dari Avilla (1515 - 1582), dengan caranya sendiri ikut membaharui gereja dari dalam, yang melahirkan begitu banyak gelombang perubahan yang bukan saja membaharui melainkan pertama memurnikan gereja itu sendiri dari zaman ke zaman. Santa ini disebut sebagai wanita pertama yang memberi ulasan tentang Song of Songs atau Kitab Kidung Agung yang sering disalahpahami. Dalam diri doktor atau pujangga gereja wanita pertama ini menjadi jelas inti kitab yang menggambarkan relasi sepasang kekasih yang juga mengungkap relasi Tuhan dengan manusia.

Dari tradisi karmelitas yang direformasi oleh St. Theresa ini misalnya siapa yang bisa menyangka kemudian terlahir seorang perawan kudus dalam gereja di tengah semarak bahkan kejayaan ateisme dan anti gereja pada abad ke-19. Dialah Santa Theresa dari Liseux atau dari Kanak Kanak Yesus dan Wajah Yesus (1873 - 1897). Sang anak zaman yang penuh kepercayaan diri total hanya kepada sang pasangan dan kekasih jiwa, seperti yang ditulis seniornya di jaman pembaharuan dan pemurnian gereja tersebut. Tokoh paling muda ini, yang digelari doktor gereja oleh Paus Yohanes Paulus II (1920 - 2005), menulis beberapa buku terkenal dan ternyata sebagian besar karya puisinya bahkan ditulis untuk dinyanyikan.

Dalam komentar tentang Apostolic Exhortation, C'est la Confiance dari Paus Fransiskus, dalam rangka peringatan 150 tahun kematian santa yang meninggal di usia 24 tahun ini, Prof. Simon Nolen, O.Carm mengutip St. Theresa Liseux ini yang memberi pendapat atas Mazmur 137 yang sering dia nyanyikan itu, yang berkisah tentang pembuangan di Babilonia. Secara paradoksal dan kompleks, dia memaknai instrumen harpa yang menjadi simbol dari sebuah kerinduan jiwa, sampai dia mengistilahkan harp of Jesus. 

Dan bukan kebetulan juga, Theresa akahirnya mengagumi dan berdevosi kepada St. Caecilia (180 - 230), seorang martir di zaman penganiayaan hebat terjadi. Teresa berkata,  "menyanyi bukanlah membiarkan diri menyanyi mazmur surgawi kepada para makhluk, melainkan seperti St. Caecilia mari kita menyanyikan melodi mazmur di dalam hati kita demi sang Kekasih jiwa kita. Nyanyian kita adalah mazmur jiwa yang ditujukan dan terarah ke rumah surgawi tanah air kita."

Jadi, menurut Teresa, bukan karena St. Caecilia adalah seorang musikus besar, melainkan karena jiwanya yang tercengkam oleh kasih akan Tuhan yang diimani dan disetiainya itulah walaupun dalam kondisi ditinggalkan dan  tak berdaya di hadapan para algojo yang siap menghabisi tubuh fisiknya. Dia tidak heran akan kekuatan jiwa St. Cacilia karena tidurnya saja senantiasa mendekap Injil, yang bukan sekedar teks tapi adalah Sang Firman itu sendiri. Dan ada teks yang berbunyi firmanku tidak akan kembali sebelum berhasil melaksanakan tugasnya.

Benni E. Matindas, seorang budayawan yang juga banyak menulis risalah bahkan buku dengan dasar-dasar filosofis dari perspektif pelbagai filsuf dunia yang didalami dan dikritisinya, juga ternyata terkoneksi dengan karya dari penulis yang disebutnya sebagai "maestro musik" Minahasa yang pernah ada, khususnya terkait penampilannya dalam usia relatif muda memimpin sebuah konser musik etnik kolosal sekitar 30 tahun silam di bukit inspirasi Universitas Kristen Indonesia, Tomohon.

Estetikus ini menggarisbawahi hakikat musik dari filsuf besar yang turut mempengaruhi pemikiran dan teori-teori terkait sebuah nilai kebenaran yang sejati dalam dan melalui musik ini. Menurut Benni, "Schopenhauer tidak saja menjadikan musik sebagai landasan objektif teori estetika atau filsafat seninya, tapi bahkan sebagai penghuni di sumber inti antero filsafatnya. Tepatnya, baginya, musik datang dari pusat kemurnian, yang kehadirannya  dibutuhkan untuk membereskan begitu banyak problema di dunia ini."

Dan pujian Benni kepada sang musikus berpuluh tahun lalu itu bukan puja puji hambar atau bombastia formalitas kampus yang membonsai adohai, juga bukan sekedar kebetulan atau keberuntungan acak sebuah permainan. Perasaan "takjub dan gentar" kepada sang maestro dari sang pencinta kebijaksanaan dan kebenaran hidup ini saling beresonansi makin kuat dan memuncak dalam karya buku monumental ini.

 "Tetapi Heidegger, Schopenhauer, juga banyak yang kemudian selaras mereka, di antaranya Langer, boleh dibilang baru membentangkan kerangka umum bersifat formal tentang fungsi musik dalam konfigurasi struktur semesta nilai, dan Musik Liturgi Gereja karya Prof. Rumengan inilah selasatu pengisi materialnya."

Kendati diberi judul yang lebih akrab di kalangan komunitas beriman tertentu, akan tetapi uraiannya justru banyak tentang hal-hal umum tentang musik dan ritual itu sendiri, seperti nampak dalam sub judulnya, Fungsi dan Peranan: Tuntunan dalam Pengekspresian, Penciptaan, Penataan, dan Penelitian melalui Pendekatan Multidisiplin.

Dari sekitar 400 halaman lebih isi buku, 60-70% berisi hal-hal umum tentang pendekatan dan metode lintas disiplin ilmu (bab I), lalu konsep dan pemahaman musik dalam berbagai genre (bab II), kajian komprehensif pengaruh musik (bab III), baru kemudian masuk ke pembahasan tentang mengapa ibadat menggunakan musik, yang uraiannya juga masih lebih banyak menggunakan lintas ilmu profan (bab IV).

Kemudian lebih mengerucut pada uraian seputar inkulturasi dan kontekstualisasi teologi liturgi musik, (bab V) yang tak lepas dari ilmu umum juga. Dan pada bagian akhir diulas khusus pedoman pencipta - penggarap musik gereja (bab VI) dan beberapa hal saran prinsipil dalam pengekspresian musik gereja tersebut (bab VII).

Jelas buku ini sangat membantu siapa saja dari latar belakang agama dan denominasi mana saja, bukan saja kalangan beragama kristiani. Di sana dibahas pelbagai teori dan bahkan hukum yang berlaku universal sepanjang yang diketahui penulis dan bahkan ditegaskan oleh para komentator buku tersebut, yang mumpuni di bidang ilmu dan praksis profesinya masing2.

***

Dari begitu banyak pemaparan dan pendekatan disiplin ilmu dan aplikasinya, ada satu benang merah yang kuat dan sangat mewarnai buku ini, yakni temuan tentang dalil-dalil hukum dan teori terkait kuantum. Walau ilmu quantum tersebut sudah cukup jamak di kalangan ilmuwan dalam pelbagai bidang ilmu dan terapannya, dengan beragam aktivitas ilmu yang menambahkan istilah kuantum. Tapi itu rupanya menjadi salah satu yang masih tersembunyi dalam dunia musik bahkan bagi banyak ahli dan praktisi apalagi bagi umat dan masyarakat awam.

Prof. M. Dwi Marianto kiranya memaksudkan  teori dan hukum terkait fakta dan fenomena kuantum itu juga sebagai sesuatu yang nyata tetapi tidak gampang dilihat dan dipahami itu. "Potensi dan manifestasi Musik Liturgi Gereja ia ulik. Yang tersembunyi ia hadirkan. Yang tidak jelas ia paparkan melalui berbagai pendekatan dan disiplin ilmu."

Dengan penilaian ini, dia menggarisbawahi dan mengekspose daya transformasi musik liturgi gereja dalam magnum opus Perry Rumengan ini. "Musik liturgis yang pas dan indah memiliki daya ubah yang luar-biasa bagi individu yang membuka dirinya pada panggilan Allah, efeknya berdampak secara jangka pendek dan/atau panjang... memampukan mereka menghayati kehadiran Allah -- yang sejatinya senantiasa hadir." Tentunya ahli kuantum musik ini bukan kebetulan punya penilaian dan kedekatan tersendiri dengan sang penulis, paling tidak dalam hal minat dan kompetensi keilmuan.

Walau saya belum mengenal sang komentator ini, namun saya teringat buku kecil kami yang tak jadi diterbitkan yang sesungguhhnya berbicara sesuatu yang membawa lompatan besar dan jauh, yakni perihal law attraction atau hukum ketertarikan yang bisa dijelaskan dari teori quantum ini. Dalam perspektif ini, fakta kerkaitan penulis dan penerbit itu bukanlah kejadian seketika yang acak dan tak pasti. Pastilah ada penjelasannya, mengapa dua tiga peristiwa tersebut terjadi dan saling berkaitan tanpa direncanakan.

Barangkali fenomena dan fakta semacam ini telah diungkap oleh teori kuantum ini. Tampaknya kemungkinan ini yang lebih masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, daripada mau mengatakan bahwa ada cocokologi semata saat menilai post factum. Atau ada anomali lain, katakanlah ada "sosok" tertentu yang turut campurtangan mengelabui atau memanipulasi seseorang ketika ia berusaha membuat penilaian dengan mencocok-cocokan atau mengait-ngaitkan beberapa peristiwa tersebut. Fenomena inj bisa dijelaskan dalam istilah melayu Manado bamawi, yakni suatu upaya meramal atau menentukan suatu kecocokan kebenaran berdasarkan kekuatan supernatural yang sesungguhnya menjauh dari fakta obyektif sebagaimana yang menjadi kaidah oleh para saintis bahkan spiritualis sejati.

Kalau saya coba menjelaskan pengalaman pribadi terkait buku yang baru terbit karya Prof Rumengan, memang ada beberapa yang bisa disebut sebagai penyebab atau prakondisi yang melingkupi peristiwa penerbitan buku tersebut.

Pertama, Prof. Perry sebagai penulis dan saya sebagai penerbit buku MLG ini sudah pernah terlibat intensif dalam suatu terbitan buku lain, berjudul Penguasa Dinasti Han Leluhur Minahasa disingkat PDHLM, yang mana penulis adalah pemberi pengantar, bahkan dimaknai sebagai pembela dan promotor penulis dan isi karya tersebut. Kedua, penulis awalnya menolak isi temuan buku baru tersebut, lalu perlahan kemudian mendapatkan kata kunci untuk mulai terbuka dan akhirnya menerima bahkan mendorong untuk segera menerbitkan buku tersebut. Dan proses itu juga dialami oleh penerbit, yang awalnya menolak lalu bisa mendapatkan setitik pencerahan dan seterusnya terbuka hati dan pikiran sampai mendorong untuk publikasi buku tersebut. Ketiga, menurut penulis sendiri yang hanya dihitung dengan jari di Indonesia sebagai guru besar etnomusikologi, buku PDHLM itu telah membawa paradigma baru tentang banyak hal, terutama terkait bidang keahlian dan kepakarannya dalam ilmu musik dan etnomusikologi dunia, secara khusus di nusantara dan Minahasa sendiri. Bahkan penulis mau mengubah kembali sebagian besar tulisan dalam belasan karya bukunya karena temuan terbaru tersebut yang menurutnya original dan menggemparkan. Dan penerbit sangat kagum dengan penulis yang mengakui buku tersebut dengan terbuka dan rendah hati.

Masih bisa disebut lagi beberapa keterkoneksian antara penulis dan penerbit, yang intinya menyingkap bahwa langsung dan tak langsung, sadar tak sadar, buku PDHLM itu telah menjadi titik temu "hati yang berpikir" (istilah dari filsuf Blaise Pascal menjelaskan paradoks ketidakpahaman otak atas apa yang dimiliki pikiran hati) antara penulis dan penerbit tersebut, sampai kemudian saling terkoneksi dengan buku MLG ini.

Dan sedikit tambahan tentang post factum, setelah buku MLG sudah beredar, dan segala urusan pembayaran sudah lunas, baru penerbit tahu bahwa salah satu orang penting penerbit dalam hal penagihan ongkos penerbitan adalah masih keluarga dekat dari sang penulis, dan penulis memang pernah lama tinggal studi di kota di mana usaaha penerbitan berdiri dengan pabrik percetakannya sendiri, bahkan isterinya masih keturunan bangsawan kota tersebut. 

Kembali ungkapan "dunia ini memang seolah kecil, karena kita saling terkoneksi sedemikian" sehingga buku ini bisa terbit pada waktu dan tempatnya harus terjadi, sesuai hukum alam yang berlaku.

Menarik juga mengungkapkan hubungan Prof. Frits. H. Pangemanan dengan buku karya etnomusikolog terkemuka nusantara ini. Dia memberi komen menarik dan menggelitik saya untuk mencaritahu mengapa ia terkesan tiba-tiba mengakhiri komentarnya dengan menggelari penulis sebagai Geid of Minahasa (Tao of Minahasa's Music)? Beliau kebetulan adalah senior saya, dan pada Oktober tahun lalu juga menerbitkan bukunya dalam bahasa Inggris di penerbitan saya, berjudul Sun-Shattering Mythology of Tanimbar, Indonesia. A Transformative Jorney to Humanity. Buku fenomenal dengan pendekatan antropologi kosmik terapan yang pernah membuat penulis diusulkan oleh Kedubes RI di Manila kepada Kemenristek RI untuk menjadi salah satu penerima penghargaan warga negara Indonesia di luar negeri yang berprestasi.

Apakah kata Minahasa yang dipakainya itu sekedar menunjuk asal etnisitas penulis atau ada hal lebih khusus? Saya yakin selain kualifikasi universal yang menjadikan penulis MLG ini layak digelari sebagai "Jalan Riil Musik", juga memang fakta penelitiannya yang mendalam tentang budaya musik Minahasa itu sendiri, seperti yang tertuang dalam belasan buku pentingnya tentang musik lokal dari sebuah suku negeri indah di ujung Selebes itu.

Bila menelusuri lagi isi buku sang "Jalan Seni" ini, khususnya terkait pendekatan kuantum, memang contoh awal yang dipakai ternyata juga terkait dengan entnomusikologi Minahasa, yang sangat dikuasai oleh penulis sendiri lewat pelbagai penelitian dan partisipasi aktifnya juga bersama para pegiat budaya seni di tanah kelahirannya itu.

Akhirnya, saya mesti mengakhiri uraian puja puji ini, yang memang saya racik dari bahan-bahan pokok para komentator ahli dan profesional teruji dalam bidangnya masing-masing. Silakan para pembaca budiman dan beriman yang berminat untuk membuktikan nikmat dan kasiatnya. Untuk memesan sajian utama buku MLG ini, silakan menghubungi penulis atau penerbit dan distributor yang akan segera melayani anda di mana saja berada.#strk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun