Prof. M. Dwi Marianto kiranya memaksudkan  teori dan hukum terkait fakta dan fenomena kuantum itu juga sebagai sesuatu yang nyata tetapi tidak gampang dilihat dan dipahami itu. "Potensi dan manifestasi Musik Liturgi Gereja ia ulik. Yang tersembunyi ia hadirkan. Yang tidak jelas ia paparkan melalui berbagai pendekatan dan disiplin ilmu."
Dengan penilaian ini, dia menggarisbawahi dan mengekspose daya transformasi musik liturgi gereja dalam magnum opus Perry Rumengan ini. "Musik liturgis yang pas dan indah memiliki daya ubah yang luar-biasa bagi individu yang membuka dirinya pada panggilan Allah, efeknya berdampak secara jangka pendek dan/atau panjang... memampukan mereka menghayati kehadiran Allah -- yang sejatinya senantiasa hadir." Tentunya ahli kuantum musik ini bukan kebetulan punya penilaian dan kedekatan tersendiri dengan sang penulis, paling tidak dalam hal minat dan kompetensi keilmuan.
Walau saya belum mengenal sang komentator ini, namun saya teringat buku kecil kami yang tak jadi diterbitkan yang sesungguhhnya berbicara sesuatu yang membawa lompatan besar dan jauh, yakni perihal law attraction atau hukum ketertarikan yang bisa dijelaskan dari teori quantum ini. Dalam perspektif ini, fakta kerkaitan penulis dan penerbit itu bukanlah kejadian seketika yang acak dan tak pasti. Pastilah ada penjelasannya, mengapa dua tiga peristiwa tersebut terjadi dan saling berkaitan tanpa direncanakan.
Barangkali fenomena dan fakta semacam ini telah diungkap oleh teori kuantum ini. Tampaknya kemungkinan ini yang lebih masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, daripada mau mengatakan bahwa ada cocokologi semata saat menilai post factum. Atau ada anomali lain, katakanlah ada "sosok" tertentu yang turut campurtangan mengelabui atau memanipulasi seseorang ketika ia berusaha membuat penilaian dengan mencocok-cocokan atau mengait-ngaitkan beberapa peristiwa tersebut. Fenomena inj bisa dijelaskan dalam istilah melayu Manado bamawi, yakni suatu upaya meramal atau menentukan suatu kecocokan kebenaran berdasarkan kekuatan supernatural yang sesungguhnya menjauh dari fakta obyektif sebagaimana yang menjadi kaidah oleh para saintis bahkan spiritualis sejati.
Kalau saya coba menjelaskan pengalaman pribadi terkait buku yang baru terbit karya Prof Rumengan, memang ada beberapa yang bisa disebut sebagai penyebab atau prakondisi yang melingkupi peristiwa penerbitan buku tersebut.
Pertama, Prof. Perry sebagai penulis dan saya sebagai penerbit buku MLG ini sudah pernah terlibat intensif dalam suatu terbitan buku lain, berjudul Penguasa Dinasti Han Leluhur Minahasa disingkat PDHLM, yang mana penulis adalah pemberi pengantar, bahkan dimaknai sebagai pembela dan promotor penulis dan isi karya tersebut. Kedua, penulis awalnya menolak isi temuan buku baru tersebut, lalu perlahan kemudian mendapatkan kata kunci untuk mulai terbuka dan akhirnya menerima bahkan mendorong untuk segera menerbitkan buku tersebut. Dan proses itu juga dialami oleh penerbit, yang awalnya menolak lalu bisa mendapatkan setitik pencerahan dan seterusnya terbuka hati dan pikiran sampai mendorong untuk publikasi buku tersebut. Ketiga, menurut penulis sendiri yang hanya dihitung dengan jari di Indonesia sebagai guru besar etnomusikologi, buku PDHLM itu telah membawa paradigma baru tentang banyak hal, terutama terkait bidang keahlian dan kepakarannya dalam ilmu musik dan etnomusikologi dunia, secara khusus di nusantara dan Minahasa sendiri. Bahkan penulis mau mengubah kembali sebagian besar tulisan dalam belasan karya bukunya karena temuan terbaru tersebut yang menurutnya original dan menggemparkan. Dan penerbit sangat kagum dengan penulis yang mengakui buku tersebut dengan terbuka dan rendah hati.
Masih bisa disebut lagi beberapa keterkoneksian antara penulis dan penerbit, yang intinya menyingkap bahwa langsung dan tak langsung, sadar tak sadar, buku PDHLM itu telah menjadi titik temu "hati yang berpikir" (istilah dari filsuf Blaise Pascal menjelaskan paradoks ketidakpahaman otak atas apa yang dimiliki pikiran hati) antara penulis dan penerbit tersebut, sampai kemudian saling terkoneksi dengan buku MLG ini.
Dan sedikit tambahan tentang post factum, setelah buku MLG sudah beredar, dan segala urusan pembayaran sudah lunas, baru penerbit tahu bahwa salah satu orang penting penerbit dalam hal penagihan ongkos penerbitan adalah masih keluarga dekat dari sang penulis, dan penulis memang pernah lama tinggal studi di kota di mana usaaha penerbitan berdiri dengan pabrik percetakannya sendiri, bahkan isterinya masih keturunan bangsawan kota tersebut.Â
Kembali ungkapan "dunia ini memang seolah kecil, karena kita saling terkoneksi sedemikian" sehingga buku ini bisa terbit pada waktu dan tempatnya harus terjadi, sesuai hukum alam yang berlaku.
Menarik juga mengungkapkan hubungan Prof. Frits. H. Pangemanan dengan buku karya etnomusikolog terkemuka nusantara ini. Dia memberi komen menarik dan menggelitik saya untuk mencaritahu mengapa ia terkesan tiba-tiba mengakhiri komentarnya dengan menggelari penulis sebagai Geid of Minahasa (Tao of Minahasa's Music)? Beliau kebetulan adalah senior saya, dan pada Oktober tahun lalu juga menerbitkan bukunya dalam bahasa Inggris di penerbitan saya, berjudul Sun-Shattering Mythology of Tanimbar, Indonesia. A Transformative Jorney to Humanity. Buku fenomenal dengan pendekatan antropologi kosmik terapan yang pernah membuat penulis diusulkan oleh Kedubes RI di Manila kepada Kemenristek RI untuk menjadi salah satu penerima penghargaan warga negara Indonesia di luar negeri yang berprestasi.
Apakah kata Minahasa yang dipakainya itu sekedar menunjuk asal etnisitas penulis atau ada hal lebih khusus? Saya yakin selain kualifikasi universal yang menjadikan penulis MLG ini layak digelari sebagai "Jalan Riil Musik", juga memang fakta penelitiannya yang mendalam tentang budaya musik Minahasa itu sendiri, seperti yang tertuang dalam belasan buku pentingnya tentang musik lokal dari sebuah suku negeri indah di ujung Selebes itu.