Ini bisa jadi mengungkapkan dan menegaskan sebuah inti energi yang kuat dari sebuah buku dan tentu dengan penulisnya yang bisa mempengaruhi seorang rohaniawan yang menurut kalkulasi ruang dan waktu fisika tidak memungkinkan.Â
Dari sisi Pastor Yong, nama panggilan sang profesor, tentu saja sebagai subyek bebas menanggapi vibrasi dan getaran buku dan dengan penulis tersebut, dan mungkin salah satu faktor penentu adalah latar belakang spiritualitas hati sebagai anggota ordo hati kudus Yesus (MSC) yang sangat terlatih untuk peka dan tanggap. Dia juga terkenal dengan penelitian yang mengungkap paham ketuhanan dua filsuf besar, Thomas Aquinas dan Arnold N. Whitehead, dan bagaimana dua filsuf berbeda zaman bisa memiliki kunci lagu yang khas tentang entitas keilahian yang mesti ada, suka atau tidak suka, walau bisa sama dan berbeda dalam hal nada dan irama pembahasan.Â
Dan bukanlah kebetulan buku yang diolah kembali dari disertasinya itu dicetak dan diterbitkan oleh kami dengan judul God and the World. A Study in the Dialogue between Whiteheadianism and Contemporary Thomism, penerbit Cahaya Pineleng, Jakarta, 2014.
Ester Gunawan Nasrani, seorang ahli dan praktisi musik gerejani yang menjadi konsultan dari sebuah denominasi yang punya tradisi kuat dalam hal musik gerejani, pastilah punya resonansi terhadap buku dan penulis ini. Komentar beliau menegaskan kembali sifat komprehensif buku baru ini dan pentingnya semua pihak untuk memperhatikan informasi dan kajian serta saran penting dan bermanfaat dalam memahami dan memaknai setiap tindakan liturgis, khususnya terkait musik liturgi gerejani.
Menarik juga beliau mengawali uraiannya dengan mengutip Martin Luther. "Next to theology, I give the first and highest honor to music."Â
Bapa gerakan reformasi utama gereja yang memunculkan harapan baru dan protestantisme awal ini adalah tokoh besar yang oleh kehendak sejarah terlahir dari rahim biara ordo yang berpedoman pada ajaran dan spiritualitas St. Agustinus dari Hippo, yang pernah merumuskan ungkapan klasik: Qui bene cantat bis orat, "Dia yang menyanyi dengan baik sama dengan berdoa dua kali."
Kata-kata doa saja sesungguhnya sudah merupakan ungkapan jiwa manusia, dan terinspirasi dari Alkitab, ada penulis buku psiko spiritual terkenal menulis bahwa doa yang tak terucapkan bila itu ada dalam jiwa rohani manusia maka itulah doa yang paling kuat menghubungkan bumi dan surga. Apalagi bila kata-kata doa itu bisa bersenandung dan disenandungkan dengan penghayatan sepenuh jiwa dan kemampuan, bisa berlipat lagi efeknya terutama bagi si pendoa sendiri tentunya.
Ungkapan dari Luther (1483 - 1546) yang digelari Bulbul dari Wittenberg, kiranya terinspirasi dari bapa gereja, St. Agustinus (354 - 430) mengingatkan kita akan beberapa tokoh reformasi awal hampir sejaman dengan gerakan Luther, Calvin, Zwingli, dll. Antara lain St. Theresia dari Avilla (1515 - 1582), dengan caranya sendiri ikut membaharui gereja dari dalam, yang melahirkan begitu banyak gelombang perubahan yang bukan saja membaharui melainkan pertama memurnikan gereja itu sendiri dari zaman ke zaman. Santa ini disebut sebagai wanita pertama yang memberi ulasan tentang Song of Songs atau Kitab Kidung Agung yang sering disalahpahami. Dalam diri doktor atau pujangga gereja wanita pertama ini menjadi jelas inti kitab yang menggambarkan relasi sepasang kekasih yang juga mengungkap relasi Tuhan dengan manusia.
Dari tradisi karmelitas yang direformasi oleh St. Theresa ini misalnya siapa yang bisa menyangka kemudian terlahir seorang perawan kudus dalam gereja di tengah semarak bahkan kejayaan ateisme dan anti gereja pada abad ke-19. Dialah Santa Theresa dari Liseux atau dari Kanak Kanak Yesus dan Wajah Yesus (1873 - 1897). Sang anak zaman yang penuh kepercayaan diri total hanya kepada sang pasangan dan kekasih jiwa, seperti yang ditulis seniornya di jaman pembaharuan dan pemurnian gereja tersebut. Tokoh paling muda ini, yang digelari doktor gereja oleh Paus Yohanes Paulus II (1920 - 2005), menulis beberapa buku terkenal dan ternyata sebagian besar karya puisinya bahkan ditulis untuk dinyanyikan.
Dalam komentar tentang Apostolic Exhortation, C'est la Confiance dari Paus Fransiskus, dalam rangka peringatan 150 tahun kematian santa yang meninggal di usia 24 tahun ini, Prof. Simon Nolen, O.Carm mengutip St. Theresa Liseux ini yang memberi pendapat atas Mazmur 137 yang sering dia nyanyikan itu, yang berkisah tentang pembuangan di Babilonia. Secara paradoksal dan kompleks, dia memaknai instrumen harpa yang menjadi simbol dari sebuah kerinduan jiwa, sampai dia mengistilahkan harp of Jesus.Â
Dan bukan kebetulan juga, Theresa akahirnya mengagumi dan berdevosi kepada St. Caecilia (180 - 230), seorang martir di zaman penganiayaan hebat terjadi. Teresa berkata, Â "menyanyi bukanlah membiarkan diri menyanyi mazmur surgawi kepada para makhluk, melainkan seperti St. Caecilia mari kita menyanyikan melodi mazmur di dalam hati kita demi sang Kekasih jiwa kita. Nyanyian kita adalah mazmur jiwa yang ditujukan dan terarah ke rumah surgawi tanah air kita."