***
Waktu terus berlalu dan jadwal undangan dari anaknya segera lewat, dan dia masih terperangkap oleh ancaman Covak.
Setelah berapa lama mengeringkan pakaian di tubuhnya, mengobati luka di betis yang kena pahanya. Ben mempersiapkan perkakas sederhana untuk menyerang balik, tak sudi menjadi korban perburuan Covak lagi. Dia mendekat terus ke arah rumahnya.
Handy talkie masih berfungsi dan percakapan saling menguji mental terus terjadi antara berdua yang sekarang saling berburu sendiri, bukan lagi bersama berburu rusa.
"Ben, katakan, aku mau kau mengaku dosa sekarang sebelum menjemput Penciptamu...Ungkapkan sepenuhnya apa saja dosamu itu."
Covak terus memburu dan Ben juga sudah siap melawan balik. Covak jelas makin tak sabar dan penasaran mengapa Benjamin tak mau tegas berterus terang saja, toh dia nampak menyesali masa lalunya itu.
"Aku tak bisa menanggung bebanku, Benjamin, sampai kau mengatakan mengapa engkau menembakku dan membiarkan aku menggenaskan di lapangan eksekusi itu?
"Kau percaya Tuhan, Covak?
"Ya tentu saja, Ben. Aku juga percaya Tuhan, ... sampai suatu hari saya pulang kampung dan melihat ada banyak orang berkumpul, dan aku lihat para tentara menyeret saudara perempuanku. Lebih menggenaskan lagi para lelaki, disirami bensin dan dibakar."
Covak mengerang dengan penuh kemarahan yang terkontrol, "Saya bertanya adakah Tuhan? Dimanakah Dia?! Ya, benar, Tuhan ada, dan Dia membiarkan kekejian ini terjadi. Karena manusia tak mungkin bisa membiarkan manusia melakukan hal paling keji ini, Ben!"
Covak mempertanyakan Tuhan macam apa yang tak maha kuasa, Tuhan macam apa yang tak maha kasih, tak bisa berbuat apa-apa. Format logika teknis matematisnya membuat Covak meyakini dan menyimpulkan bahwa Tuhan itu lemah dan sekaligus kejam.
"Nah sekarang Ben, sekarang katakan, apa alasanmu percaya Tuhan ada?"