Dalam Tontemboansche Wordenboek, karya besar Schwarz, yang sudah disalin dalam bahasa Indonesia juga oleh Yayasan yg dipimpin Dr. Benny Mamoto, kosa kata ini: rampen, rumampen, tarumeimpen hanya ditulis, tapi tak dijelaskan sebagaimana entri yg lain, tanda tak bisa dilacak karena tidak mampu mengerti akar budaya lagi.
11. Pada jaman itu belum ada pembakuan kata, lanjut Benni, maka diyakini sebenarnya kata tarumampen atau tepatnya 'tarumeimpen' lebih dekat dengan nama Opo yang bersemayam di ujung dahan untuk menggambarkan orang ini sangat seimbang, adil dan tegas.
Singkat kata tarumeimpen ini berasal dari kisah tentang bagaimana orang Minahasa bersatu secara egaliter. Maka Benni setuju dengan Remy yang mengatakan ciri egaliter di Minahasa dan terungkap dalam istilah yang dipakai. Misalnya Remy menyebut sampai hubungan seksual yang begitu intim pria wanita dewasa itu disebut bakucuki atau mawe'an, saling memberi dengan bebas dan mandiri. Bila dibandingkan beberapa bahasa budaya lain yang mengesankan hubungan intim justru menjadi sangat sepihak partiarkal, misalnya dalam istilah menggagahi, membuahi, dll.
(Pada akhirnya, karena waktu terbatas, maka pembicara langsung mengambil kesimpulan dan rekomendasi.)
12. Adalah panggilan kesejarahan kita bersama orang Minahasa untuk mewujudkan rumampen, dengan selalu melihat kenyataan itu sendiri.
Misalnya orang saleh tidak boleh jadi pemimpin.
Apa maksudnya? Bisa jadi, lepas dari konteks perpecahan organisasi orang Minahasa yang salah satunya melibatkan para pemimpin rohani, baik tertahbis maupun tidak, Benni hanya mengajak kita melihat dan belajar dari kenyataan yang sudah terjadi.
Ambil dari sejarah perang Tondano, misalnya. Pada saat orang Tondano sudah sudah sangat membenci orang Belanda sejak 1699 dan memuncak lalu pecah perang tahun 1800 dengan penguasa Belanda. Hanya karena mereka mengeluarkan ordinansi pelarangan hukum toktoken yang dianggap tidak etis di beberapa walak Minahasa.
Hukum 'toktoken' ini yakni mencincang para pengkhianat oleh orang Belanda dinilai tidak manusiawi, (dari perspektif nilai Eropa, katakanlah secara rohaniah Kristen). Orang Tondano dan para kepala walak waktu itu marah, karena pelarangan itu dianggap mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Jadi, sebenarnya perang besar itu tidak akan terjadi kalau tidak dibenturkan, katakan saja antara urusan rohaniah dan duniawiah itu!
Juga dari fakta sejarah ini hendak digarisbawahi adalah mengapa sifat pengkhianat itu merupakan kebencian eksistensial bagi orang Minahasa. Soal caranya hukuman diberlakukan itu adalah bungkusnya saja, yang sekarang tentu sudah ditinggalkan, menunjukkan nilai yang diyakini, dirayakan secara ritual, dan berusaha dihidupi dalam kehidupan bermasyarakat.
14. Itulah pengertiannya, bahwa apapun juga ke arah itulah orang Minahasa mesti berperistiwa dan berproses bila ingin mengembalikan jatidirinya.Â