6. Kalau idealitas nilai orang Minahasa demikian tinggi, mengapa masih ada bahkan marak fenomena "budaya" baku cungkel (saling menjatuhkan)?
Menjawab ini Benni mulai menyebut contoh faktual, a.l. organisasi yang selalu cenderung pecah bahkan beberapa. Benni menyebut sebuah organisasi tua di Manado yang pecah menjadi 7 organisasi. Disinggung juga KKK itu pecah, walau cuma dua, dengan insinuasi bahwa bukan tidak mungkin kedepan pecah sampai 7, sampai orang merasa puas atau bosan sendiri!
7. Akan tetapi semangat persatuan itu demikian tinggi, sudah ada dari dulu, sebagaimana dikisahkan ringkas oleh Max Rorimpandey dalam pemaparan sebelumya. Kisah awal mula terbentuknya KKK membuktikan semangat itu memang ada dalam darah dan naluri alamiah orang Minahasa. Dalam sejarah Indonesia dikisahkan juga bahwa organisasi terbesar kedua sesudah Syarikat Islam adalah Perserikatan Minahasa.
8. Kembali lagi apa penyebab suatu perpecahan dalam organisasi, di antara orang Minahasa sendiri. Salah satu jawaban, mengutip kata sambutan Ketum KKK, Angelica Tengker, bahwa pikiran menyempal, berpisah bahkan mengkhianati organisasi sebelumnya itu terjadi karena ideal-ideal yang belum atau tidak tercapai.Â
Padahal persatuan dan kesatuan adalah *nilai tertinggi* dalam sistem budaya Minahasa. Penilaian (tertinggi) atas Nilai tersebut dilatarbelakangi evolusi natural, kultural, dan historikal. Apa yg selama ini disaksikan sebagai lawan dari nilai persatuan, yakni disintegrasi, baku cungkil, dsb., hanyalah distorsi yang niscaya terjadi ketika bentuk *ideal persatuan manusia (tou)Â Minahasa* tidak dicapai.
9. Benni memperdalam pembahasan dengan membuat kategori persatuan itu dalam 4 jenisnya yang berlaku di dunia.
I. Â Persatuan aksidental atau eventual, suatu persatuan kerumunan, terjadi saat peristiwa tertentu dengan berkumpul. Fenomena dan fakta ini di Minahasa bisa disebut pakasaan (dianterokan, disatukalikan), misalnya saat walak Tondano membuat acara, maka ada orang yang mengusulkan supaya sekalian saja dengan rukun Atep. Akan tetapi, kata pakasaan tidak dikenal sebagai sebuah sistim nilai budaya Minahasa, karena sifatnya yang insidental. (Periksa buku Ben Palar) Persatuan jenis ini paling rendah tingkat kohesinya, dan sifatnya eventual.
II. Persatuan kontraktual atau Gesellschaft, Â istilah dari sosiolog Jerman untuk melukiskan organisasi berdasarkan kehendak rasional dan kesadaran tertentu. Di Minahasa misalnya ada yang disebut pinaesaan, minaesaan, mahesaan, dll.
III. Persatuan komunal atau organikal, hampir mirip di atas, namun lebih dalam lagi. Ibaratnya daun lepas dari rantingnya tidak ada artinya lagi, daun akan kering dan mati. Ketika terlepas dari hal berkomunitas, bahkan dalam hal hukuman berarti lepas dari ikatan batin, dan justru mati. Dalam bahasa Minahasa ada fam rampengan, atau lebih pas kita pakai kata rumempeng atau marempeng (ingat pisang susu sering ada yang marempengan), artinya saling menyatu secara alamiah, dan begitu terlepas tiada arti lagi.
IV. Persatuan eksistensial, bersatu berdasarkan naluri, seperti zoon politicon Aristoteles, tapi diramu dengan keputusan rasional, digabung dengan kebebasan dan hal2 eksistensial, dan di Minahasa itulah yang disebut rumampen.
10. Menurut peneliti yang sudah menjalani ketertarikan dan meneliti budaya Minahasa sejak masih muda ini, persatuan paling ideal rumampen ini sudah diterapkan nenek moyang Minahasa. Sebagai kata kerja 'rumampen' berarti "bersatu secara egaliter", dan menurunkan kata 'rampen' atau lebih tepat ra'ampen, juga tarumampen. Rampen sudah diartikan "rata". Begitu juga rumampen, ada kamus mengartikan "memotong pohon sampai di akar rata tanah". Dalam perkembangan kemudian ketika menjadi fungsi sosial untuk orang2 tertentu misalnya ada petugas ukur dengan kualifiaksi tertentu, nama itu diartikan sebagai fam.