Ia tidak merasa bersalah sehingga membuat ia mau menerima uang suap tersebut. Akan sangat ironis untuk menyebut dirinya kurang sadar hukum, jika ia adalah seorang penegak hukum.
Masih banyak lagi kasus seperti ini yang belum terungkap keberadaannya, atau belum diangkat oleh media. Praktik suap sulit dihilangkan karena bersembunyi dibalik kata-kata “biasanya juga begitu.” Di Indonesia sendiri korupsi sudah menjadi budaya yang sulit dihilangkan. Korupsi seolah-olah dibenci ketika dibicarakan di pertemuan mewah,
rapat kabinet, hingga diskusi di warung kecil. Selepas pembicaraan itu, korupsi dianggap wajar. Korupsi bahkan dijadikan sebagai simbol otoritas, karena hanya orang-orang yang memiliki kekuasaan saja yang dapat melakukan korupsi.
Money politics seperti suap, nepotisme, manipulasi, dilakukan untuk memperoleh kekuasaan. Mereka lupa bahwa rakyatlah yang memilih mereka untuk memimpin, tetapi tindakan korupsi mereka merupakan hal yang merugikan bagi rakyat dengan cara membohongi dan mengambil uang rakyat. Tidak jarang ditemui banyak koruptor yang masih bebas berjalan kesana kemari seperti tidak ada rasa bersalah,
begitupun dengan para penegak hukum yang lain seolah acuh tak acuh terhadap para koruptor. Bahkan sempat ditemui bahwa ada sel penjara koruptor yang dianggap lebih bagus dari kos-kosan.
Hal ini menyebabkan para koruptor tidak jera dan mengundang calon-calon koruptor lainnya di masa depan. Cerminan perilaku para koruptor yang seolah-olah tidak melakukan kesalahan sama sekali ini merupakan bentuk nyata dari budaya malu yang ada di masyarakat Indonesia.
Kita dapat mempelajari budaya salah dengan melihat perilaku mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar. Artidjo yang telah meninggal pada 28 Februari 2021 dikenal sebagai sosok hakim yang tegas dan tidak pandang bulu. Dilihat dari banyaknya kasus korupsi dan suap di Indonesia, tindakan almarhum Artidjo sebagai hakim agung menolak suap merupakan bentuk integritas
yang tidak dimiliki semua penegak hukum. Banyak para penegak hukum yang justru membantu para koruptor dengan menerima suap agar beban hukuman mereka diringankan atau bahkan dibebaskan.
Namun, Artidjo tetap berpegang teguh pada kode etik dalam bidang hukum hingga mendapat julukan "algojo para koruptor". Ia tidak segan memberi masa hukuman yang berat bahkan menambah masa hukuman bila ada yang mengajukan kasasi.
Artidjo konsisten terhadap sikapnya yang tegas dalam peradilan apapun kasusnya dan siapapun pelakunya. Hal ini dibuktikan dengan keberaniannya mengadili kasus-kasus besar seperti suap impor daging dan korupsi Wisma Atlet Hambalang walaupun banyak oknum dengan kekuatan yang besar dari segi politik dan/atau finansial terlibat di dalamnya.
Implementasi guilt culture seperti inilah yang sepatutnya dilaksanakan dan dipegang teguh oleh seluruh para penegak hukum di Indonesia. Menjalankan hukum yang sesuai dan bertindak tegas tanpa tergiur dengan suap. Bagaimanapun, mereka telah dipercaya oleh rakyat untuk membawa negeri ini ke arah yang lebih baik,