Pernahkah Anda melakukan suatu kesalahan, dan Anda merasa sangat bersalah, bahkan jika tidak ada siapapun yang melihat anda? Misalnya anda tidak sengaja mematahkan tanaman tetangga, anda tetap merasa bersalah meskipun tetangga anda tidak melihat. Selanjutnya Anda menemui tetangga Anda untuk meminta maaf.
Pernahkah Anda melakukan suatu kesalahan, tetapi tidak merasa bersalah selama tidak ada orang yang melihat? Misalnya ketika Anda tanpa izin mencuri dan menggunakan pulpen teman sebangku, Anda tetap merasa santai sampai teman anda memergoki Anda. Kedua contoh di atas ternyata merupakan hasil dari dua budaya yang berbeda, budaya salah dan budaya malu.
Budaya Salah (Guilt Culture) adalah budaya yang mencerminkan perasaan bersalah ketika melakukan suatu pelanggaran walaupun saat tidak diketahui oleh publik. Budaya ini biasanya tercermin pada negara-negara dengan tingkat kedisiplinan masyarakat yang tinggi, sehingga mereka merasa bahwa melakukan suatu pelanggaran adalah hal yang tidak etis, akibatnya kejahatan pun jarang terjadi.
Contohnya di negara Jepang, masyarakat Jepang tidak takut untuk memarkir kendaraannya di sembarang tempat karena mereka beranggapan kendaraannya akan tetap aman, ini didorong oleh fakta bahwa masyarakat Jepang mayoritas menganut budaya salah dimana mereka memandang suatu tindak pencurian sebagai hal yang tidak etis.
Budaya Malu (Shame Culture) adalah budaya yang mencerminkan bahwa seseorang tidak memiliki rasa malu ketika melakukan suatu pelanggaran, kecuali saat pelanggaran itu diketahui oleh publik. Orang-orang yang menerapkan budaya malu biasanya tidak takut untuk melakukan pelanggaran karena memiliki anggapan bahwa selama pelanggaran itu tidak diketahui oleh orang lain maka masih dalam batas aman.
Budaya malu biasanya tercermin di negara Indonesia di mana masyarakatnya masih memiliki tingkat kesadaran terhadap hukum yang rendah, hal-hal kecil seperti menerobos lampu merah,
memalsukan surat administrasi, dan lain sebagainya merupakan bukti bahwa budaya malu ini masih kuat di Indonesia.
Budaya malu sudah muncul sejak zaman “oral culture” sebelum ditemukannya tulisan dan percetakan. Tradisi seperti pengetahuan, seni, ide, dan budaya diterima, dijaga, dan diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dimana memori kolektif masyarakat disimpan berdasarkan apa yang orang lain katakan tentang Anda. Subjektivitas tampaknya berorientasi publik,
diarahkan ke luar kepada orang lain dan situasi performatif. Budaya salah mulai dikenal di masa renaisans, dengan munculnya mesin cetak yang memulai “literature culture”. Adanya percetakan membuat kitab suci
semakin mudah diakses masyarakat, kemudian melahirkan budaya salah yang bercirikan identitas “vertikal” yang muncul dalam skala perjuangan internal yang mendalam. Manusia merasa selalu bersalah karena memiliki dosa awal yang diwariskan dari manusia pertama.
Kasus yang dapat kita jadikan contoh budaya malu adalah perbuatan mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang menerima suap dari Djoko Tjandra. Uang suap itu diterimanya untuk membantu Djoko Tjandra menghindari eksekusi hukuman di kasus Bank Bali. Pinangki menerima uang suap tersebut seolah-olah itu bukan perbuatan yang salah.