Seringkali, kritik dan boikot yang dilakukan dalam cancel culture tidak proporsional dengan kesalahan yang dilakukan. Â
Individu atau kelompok dapat dihukum secara massal tanpa proses hukum yang adil. Â
Contohnya, kasus Justine Sacco, seorang eksekutif perusahaan yang kehilangan pekerjaannya setelah dia menulis tweet yang bersifat rasis. Â
Meskipun Sacco telah meminta maaf dan menyatakan bahwa dia tidak bermaksud untuk menyinggung siapa pun, dia tetap dipecat dan dikritik secara luas di media sosial.
2. Kehilangan Ruang Dialog:
Cancel culture cenderung menciptakan polarisasi dan menghalangi dialog yang konstruktif. Alih-alih mencari solusi bersama, orang-orang lebih mudah terjebak dalam perdebatan yang emosional dan saling menyalahkan. Â
Contohnya, perdebatan tentang isu-isu politik atau sosial yang seringkali berlangsung di media sosial. Orang-orang yang memiliki pandangan berbeda seringkali dikritik dan dihina, yang membuat mereka enggan untuk berpartisipasi dalam diskusi yang konstruktif.
3. Penyalahgunaan Kekuasaan:
Cancel culture dapat disalahgunakan oleh kelompok tertentu untuk menyerang lawan politik atau individu yang tidak sependapat dengan mereka.Â
Contohnya, penggunaan cancel culture untuk membungkam kritik terhadap kelompok atau ideologi tertentu. Â Hal ini dapat mengancam kebebasan berekspresi dan menghalangi dialog yang sehat.
4. Kekerasan Online: