Mohon tunggu...
Johanes Krisnomo
Johanes Krisnomo Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Penulis, YouTuber : Sketsa JoKris Jo, Photografer, dan Pekerja. Alumnus Kimia ITB dan praktisi di Industri Pangan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | [Cemburu] Sehat Bugarnya Om Moko

3 November 2018   19:55 Diperbarui: 3 November 2018   19:44 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Tokoh Pak Moko -- Tengah (Dok/Pribadi J.Krisnomo/301018)

Telah diniatkan Pak Jo. Berkunjung ke salah satu keluarga di Kota Semarang, di sela-sela perjalanan dinasnya dari Yogyakarta, pulang ke Bandung. Bersama adik, dan iparnya, mobil setengah tua melaju perlahan, menyusuri jalan panjang di Kota Semarang.

Pak Jo, pria baya (60 thn), menyeka keringat yang menggantung  di kening dan bawah dagunya, dengan jari-jari tangan kanannya.

Berselisih umur Pak Jo, tiga tahun dengan adiknya, Bu Ema, yang saat itu duduk di samping ipar, suaminya, Pak Supri (65 thn).

"Rem ... rem, jangan cepat-cepat toch Pak!" Bu Ema agak was-was, saat suaminya mempercepat laju kendaraannya.

Tanpa bicara Pak Supri, memperlambat lajunya, menuruti permintaan istrinya.

"Kita lewat Simpang Lima, terus ... Tugu Muda dan arah ke kanan ya," kata Bu Ema pada Pak Jo, yang masih tak nyaman karena panas.

"Ya ...," Pak Jo menjawab singkat, sambil membuang pandang, ke kiri dan kanan.

Dikarenakan sering berpindah kota, Pak Jo tak pernah menetap lama di Kota Semarang, dan hanya sesekali berkunjung. Lebih seringnya, ketika orangtua masih ada.

Untuk saat ini bila ke kota kelahirannya, hanya sebatas silaturahmi dengan adik-adik dan keluarga besar lainnya, dan menengok makam orangtua.

Masa kecil Pak Jo di Semarang, saat itu bersama empat saudara lainnya, sering ditinggal ayah yang bertugas di luar pulau.

Adalah suami adik dari ibu, Pak Moko, yang waktu itu hidup berkecukupan, sering berbagi kebahagiaan. Mengajak Pak Jo kecil berjalan-jalan naik mobil keliling kota, bahkan sampai ke luar kota atau tempat-tempat rekreasi lainnya.

Terkadang Om, panggilan Pak Moko, juga memberi bantuan uang jajan dan keperluan lainnya. Ketulusan dan perhatiannya telah menggantikan peran ayah yang sering berhalangan.

Perpisahan terjadi saat-saat usia Pak Jo tamat SD, dan Pak Moko pindah tugas ke kota lain yang jauh di luar pulau.

Jumpa lagi, saat Pak Jo menikah di Semarang, Pak Moko diminta menjadi wali keluarga, karena ayah tak bisa hadir, sedang menyelesaikan tugasnya. Pak Moko bersedia, karena telah purna tugas dan kembali berdomisili di Kota Semarang.

Klakson panjang dibunyikan, ketika Pak Supri membanting setir ke kanan, arah Panti Asuhan. Sepeda motor dari belakang kanan memacu kencang lajunya, tanpa melihat arah lampu sein berkedip. Hampir tersenggol, anak muda tersebut lari terbirit-birit dengan sepeda motornya.

"Dasar anak muda tak tau aturan," Pak Jo berkomentar.

"Emang begitu koq, anak-anak sekarang!" Pak Supri menimpali.

Panti Asuhan. Ya, Pak Moko sekarang tinggal di situ. Tak mau bersama anak-anaknya yang telah sukses, dan berkeluarga di Kota Semarang maupun kota-kota lainnya.

Nyaman dan hening saat memasuki halaman Panti Asuhan. Pohon-pohon peneduh cukup banyak menaungi beberapa blok bangunan kamar-kamar paviliun. Ada sekitar lebih dari delapan blok yang masing-masingnya terdiri dari tiga paviliun. Tiap paviliun dilengkapi dengan kamar mandi, kamar tidur dan ruang belajar.

Masing-masing paviliun dihuni oleh tiga anak yatim-piatu yang berasal dari berbagai daerah. Blok anak laki-laki dan perempuan terpisah. Tersedia pula ruang santai dan kantin. Mereka, anak-anak penghuni, semuanya bersekolah di luar panti, dari usia SD sampai SMK.

Dari tiap-tiap blok, satu paviliunnya ditempati oleh karyawan atau orangtua asuh, sedangkan dua paviliun ditempati anak-anak.

Pak Moko, adalah salah satu dari karyawan panti asuhan yang merangkap sebagai orangtua asuh dari anak-anak di bloknya.

Menunggu beberapa saat di depan paviliun, posisi dimana mereka terakhir bertemu Pak Moko, tahun lalu.

"Cari siapa Pak?" bergegas-gegas ibu paruh baya mendekati Pak Jo.

"Mau jumpa Pak Moko," kata Pak Jo perlahan.

"Sebentar Pak dipanggilkan," katanya.

Sementara itu, Bu Ema dan Pak Supri terdiam, mengamati suasana sekitar di teras paviliun.

Tak berapa lama, sekitar lima menit, nampak dari kejauhan Pak Moko keluar dari ruangan kantor.

Berjalan perlahan, agak tertatih dengan sorot mata tajam, mendekati Pak Jo yang berdiri di belakang mobil.

Senyum bahagia memancar, Pak Moko, badannya tampak lebih tegap dibanding saat terlihat dari kejauhan.

"Nak Jo ... sama siapa kamu?" Pak Moko menyapa rindu.

"Sama adik-adik, Om," Jawab Pak Jo dengan menggeser posisi badan ke depan dan memeluk hangat serta mencium pipinya.

Lanjut Bu Ema dan Pak Supri mendekati Pak Moko dan berjabat tangan serta memeluknya.

Di usianya yang 83 tahun, Pak Moko masih cekatan, membuka pintu kunci kamarnya, dan sibuk mengeluarkan kursi bakso, berbahan plastik warna biru.

Kamar atau paviliunnya, berukuran 2 x 4 meter, agak sulit juga untuk berbincang di kamarnya. Makanya, mereka ngobrol-ngobrol di teras.

"Om sehat ya ...?" Pak Jo mengawali perjumpaan.

"Sehat ... Om Moko sehat," jawabnya antusias, "Gimana kamu semua? Sehat khan?" lanjutnya.

"Sehat Om," hampir bersamaan Pak Jo, Bu Ema dan Pak Supri menjawab.

Pak Moko, lebih suka tinggal di Panti Asuhan. Sesekali bila ada acara keluarga, anak-anaknya mengundang ke Jakarta atau Bogor.

"Kata Dik Ani, yang tinggal di Bogor, Om sudah dibuatkan kamar khusus. Kenapa gak tinggal di sana aja Om?" Pak Jo bertanya.

"Om, lebih suka di sini, di Panti Asuhan. Juga adikmu yang di Semarang menawarkan untuk tinggal bersama keluarganya. Om tak bersedia ...," kata Pak Moko dengan nada rendah.

"Om, di sini banyak tugas, dan sangat diperlukan anak-anak yang tak punya orangtua. Mengantarkan belanja, mengajar pelajaran sekolah dan menemani anak-anak agar mampu mandiri di saat dewasa."

Pak Moko berhenti sejenak, membetulkan posisi duduknya di atas kursi bakso yang keras dan tak nyaman.

"Kalau tinggal seterusnya di rumah adik-adikmu, Om Moko merasa tak nyaman dan tak punya kerja. Seharian kerjanya cuma baca koran, nonton tv, dan sekali-kali jalan-jalan pagi," kata Pak Moko lebih lanjut.

Pak Moko memang sering menyebut saudara sepupu dengan adik-adik, karena istri Pak Moko yang sudah meninggal tiga tahun lalu adalah adik dari ibunya Pak Jo.

"Kalau Om diundang ke Bogor atau Jakarta, gak bisa naik kereta api lagi, tak kuat. Biasanya adik-adikmu, kirimkan tiket pesawat buat Om."

Pak Moko memang tampak lebih muda dan sehat dibandingkan umurnya jelang 83 tahun. Namun, masih bisa nyopir dan bekerja dengan status karyawan.

Cemburu? Sudah pasti.

Mereka, Pak Jo dan adik-adiknya merasa cemburu kepada Pak Moko, Om-nya, karena semangat hidup, kesehatan dan cara berpikirnya yang ingin selalu bermanfaat bagi orang lain.

"Om tiap pagi, bangun jam setengah lima, jalan pagi sekitar panti, menemani belanja ke pasar untuk masak hari itu, pulang, dan mandi serta sarapan pagi. Om yang nyetir mobil ke pasar, atau antar anak-anak bila ada yang sakit, dan keperluan lainnya," Pak Moko menjelaskan rincian kegiatan hariannya.

"Adik-adikmu, juga kirim Vitamin untuk diminum tiap hari," katanya lebih lanjut.

Jelang makan siang, setengah satu, Pak Moko harus menemani anak-anak makan dan membantu tugas-tugas sekolah anak-anak asuhnya.

Pak Jo dan kedua adiknya, mohon diri, agar Pak Moko dapat melanjutkan tugas-tugas utamanya.

"Om Moko, saya dan adik-adik mohon pamit. Mungkin Om masih banyak tugas. Senang lihat Om bahagia dan sehat disini. Semoga Om tetap sehat dan dalam lindungan Tuhan," kata Pak Jo mewakili.

"Om merasa senang, dan bahagia anak-anak masih mengingat Om. Semoga kamu, dan cucu-cucu semua diberikan kesehatan dan kesuksesan. Kapan-kapan tengok Om lagi ya. Sekali lagi terimakasih," Pak Moko menyampaikan kata pisahnya.

Mendung menggantung, di hati dan mata mereka, termasuk juga Pak Moko, meski hari terik di siang bolong.

Ada cemburu di hati Pak Jo, Bu Ema dan Pak Supri melihat langsung bagaimana sehat fisik dan psikisnya Pak Moko. Cemburu untuk meniru kebaikan, bertekad dan berusaha agar tetap sehat dan bermanfaat bagi orang lain di usia senja.

Terselip amplop berisi uang kasih dari Pak Jo, saat berpamitan. Pak Moko tertegun, haru dan bahagia, menerima kedatangan anak-anaknya, yang masih mengingatnya di usia renta.

Bandung, 03 Nov 2018 

Catatan : Terinspirasi dari Kisah Nyata Penulis J.Krisnomo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun