Di usianya yang 83 tahun, Pak Moko masih cekatan, membuka pintu kunci kamarnya, dan sibuk mengeluarkan kursi bakso, berbahan plastik warna biru.
Kamar atau paviliunnya, berukuran 2 x 4 meter, agak sulit juga untuk berbincang di kamarnya. Makanya, mereka ngobrol-ngobrol di teras.
"Om sehat ya ...?" Pak Jo mengawali perjumpaan.
"Sehat ... Om Moko sehat," jawabnya antusias, "Gimana kamu semua? Sehat khan?" lanjutnya.
"Sehat Om," hampir bersamaan Pak Jo, Bu Ema dan Pak Supri menjawab.
Pak Moko, lebih suka tinggal di Panti Asuhan. Sesekali bila ada acara keluarga, anak-anaknya mengundang ke Jakarta atau Bogor.
"Kata Dik Ani, yang tinggal di Bogor, Om sudah dibuatkan kamar khusus. Kenapa gak tinggal di sana aja Om?" Pak Jo bertanya.
"Om, lebih suka di sini, di Panti Asuhan. Juga adikmu yang di Semarang menawarkan untuk tinggal bersama keluarganya. Om tak bersedia ...," kata Pak Moko dengan nada rendah.
"Om, di sini banyak tugas, dan sangat diperlukan anak-anak yang tak punya orangtua. Mengantarkan belanja, mengajar pelajaran sekolah dan menemani anak-anak agar mampu mandiri di saat dewasa."
Pak Moko berhenti sejenak, membetulkan posisi duduknya di atas kursi bakso yang keras dan tak nyaman.
"Kalau tinggal seterusnya di rumah adik-adikmu, Om Moko merasa tak nyaman dan tak punya kerja. Seharian kerjanya cuma baca koran, nonton tv, dan sekali-kali jalan-jalan pagi," kata Pak Moko lebih lanjut.