Terkadang Om, panggilan Pak Moko, juga memberi bantuan uang jajan dan keperluan lainnya. Ketulusan dan perhatiannya telah menggantikan peran ayah yang sering berhalangan.
Perpisahan terjadi saat-saat usia Pak Jo tamat SD, dan Pak Moko pindah tugas ke kota lain yang jauh di luar pulau.
Jumpa lagi, saat Pak Jo menikah di Semarang, Pak Moko diminta menjadi wali keluarga, karena ayah tak bisa hadir, sedang menyelesaikan tugasnya. Pak Moko bersedia, karena telah purna tugas dan kembali berdomisili di Kota Semarang.
Klakson panjang dibunyikan, ketika Pak Supri membanting setir ke kanan, arah Panti Asuhan. Sepeda motor dari belakang kanan memacu kencang lajunya, tanpa melihat arah lampu sein berkedip. Hampir tersenggol, anak muda tersebut lari terbirit-birit dengan sepeda motornya.
"Dasar anak muda tak tau aturan," Pak Jo berkomentar.
"Emang begitu koq, anak-anak sekarang!" Pak Supri menimpali.
Panti Asuhan. Ya, Pak Moko sekarang tinggal di situ. Tak mau bersama anak-anaknya yang telah sukses, dan berkeluarga di Kota Semarang maupun kota-kota lainnya.
Nyaman dan hening saat memasuki halaman Panti Asuhan. Pohon-pohon peneduh cukup banyak menaungi beberapa blok bangunan kamar-kamar paviliun. Ada sekitar lebih dari delapan blok yang masing-masingnya terdiri dari tiga paviliun. Tiap paviliun dilengkapi dengan kamar mandi, kamar tidur dan ruang belajar.
Masing-masing paviliun dihuni oleh tiga anak yatim-piatu yang berasal dari berbagai daerah. Blok anak laki-laki dan perempuan terpisah. Tersedia pula ruang santai dan kantin. Mereka, anak-anak penghuni, semuanya bersekolah di luar panti, dari usia SD sampai SMK.
Dari tiap-tiap blok, satu paviliunnya ditempati oleh karyawan atau orangtua asuh, sedangkan dua paviliun ditempati anak-anak.
Pak Moko, adalah salah satu dari karyawan panti asuhan yang merangkap sebagai orangtua asuh dari anak-anak di bloknya.