Aku mulai memikirkan pernikahan anak-anakku. Aku berdoa, agar anak-anakku terutama putri-putriku segera dipinang, agar bisa memberikan cucu bagiku dan bagi suamiku yang entah di mana sekarang. Setelah aku diketahui hamil oleh ibuku, kami langsung dipisahkan, entah apa salahku, atau salah suamiku, tapi anehnya aku tidak merasa benci sedikitpun kepada ibuku.
Suatu hari sanak keluarga ibuku datang beramai-ramai di rumah, hingga begitu riuhnya. Yang saya dengar sih, putra kandungnya yang paling besar akan menikah dengan gadis dari Jakarta. Tiba-tiba kedua putraku ditangkap, kemudian dipotong lehernya hingga mengeluarkan darah, mereka menjerit minta tolong, tapi apa daya, aku terkurung di kamar ini, kulihat kedua putraku meninggal tak berdaya, aku dan kedua putriku diam-diam menangis, sempat beberapa tetes air mataku jatuh di kamarku sendiri.
Barulah aku sekarang sadar, aku, suamiku, dan anak-anakku; kami hanya bisa menunggu saatnya dipotong. Akhirnya kami sadar, hal yang terbaik yang bisa kami lakukan adalah hanyalah pasrah, biarlah tubuh kami dimakan dan menjadi berkat bagi orang lain yang membutuhkan. Kami rela nasib kami hanya sebatas ini, setidaknya kami harus berbangga bisa mengenyangkan banyak perut.
“Namboru*, sudah berapa lama beternak babi?”
“Sudah empat tahun, kenapa?”
*Namboru: Sebutan untuk saudara perempuan dari Bapak, atau mertua perempuan dari seorang perempuan.
Pematangsiantar, 29-30 Januari 2012
Tomson Sabungan Silalahi
Pengurus Pusat PMKRI Periode 2016-2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H