Mohon tunggu...
Susana Srini
Susana Srini Mohon Tunggu... -

Wong ndeso, tertarik ikutan memperhatikan masalah pendidikan, selalu rindu untuk dapat memberikan sumbangsih bagi upaya-upaya merawat bumi, anggota komunitas Sekolah Komunitas - Sodong Lestari (SoLes), anggota Galeri Guru/TRUE CREATIVE AID dan terlibat dalam Laskar Pena Hijau YBS Cikeas.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pohon Natal Petai, Adakah Kisah Pembingkainya?

27 Desember 2015   11:13 Diperbarui: 27 Desember 2015   11:26 1874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam perjalanan, gerakan ini mulai terlihat bahwa manfaatnya ternyata tidak hanya dari sisi praktis ekonomi terkait dengan ketersediaan pangan dan menambah pendapatan, tetapi juga menjadi pemicu bagi bertumbuhnya kesadaran ranah yang lain. Berbagai contoh yang terjadi: gerakan tanam sayur di halaman dapat menggerakkan kebersamaan, kerukunan, latihan pribadi tentang kesabaran, rasa memelihara, empati, dll. Selain itu juga menjadi sarana pendidikan bagi anak-anak baik di Sanggar maupun di rumah terkait sikap hidup yang ‘menghargai alam’.

[Gerakan Mandiri Sayur, kunjungan PKK Propinsi Jateng - dok. Sodong Lestari]

Bahkan ketika ternyata pot sayur-sayuran juga ikut misa (menjadi dekorasi altar menggantikan bunga yang harus selalu dibeli), juga menjadi kekagetan tersendiri dan menyadarkan akan banyak hal seperti rasa sejuk asri alami, irit, penghayatan makna spiritual dan lainnya.

Penanaman KIMPUL plocot, yang diberi kepanjangan (K-erukunan I-ku M-buktekake P-engandeling U-rip kang L-estari) menjadi pengingat perlunya membangun kerukunan sebagai bukti iman, juga telah menumbuhkan kesadaran tentang perlunya mengangkat kembali hal-hal baik yang telah dilupakan. Kimpul Plocot bisa menjadi bahan pangan alternatif di musim paceklik, menjadi makanan khas yang dapat mengangkat nama desa, bernilai ekonomi tinggi karena langka dan mulai dicari banyak orang.

Pengolahan pangan non beras yang dalam promosinya dilakukan bersama dengan kegiatan PKK, telah menjadi ‘kesaksian yang hidup’ bahwa kegiatan gereja dapat diikuti oleh siapa saja tanpa rasa takut. Dan pendekatan seperti ini dapat menjadi inspirasi untuk meleburkan ancaman laten Bangsa kita terkait dengan kerukunan hidup antar umat beragama. Seraca internal kehidupan gereja, juga semakin mengajak agar gereja tampil lebih terbuka dan ramah, tidak asyik pada dirinya sendiri, berkutat pada tata ibadah dan liturgi internal.

Kelestarian Budaya – gereja telah menjadikan ‘seni’ dan budaya (dalam pengertian luas) sebagai media untuk pendidikan umat, baik dari segi keimanan maupun dimensi kehidupan lain, seperti mengasah berbagai potensi seni, menggali kebudayaan yang mulai punah, menciptakan berbagai kreatifitas baru, menggali kearifan lokal dari kebiasaan nenek moyang zaman dahulu, dll. Selain itu, ‘kebudayaan’ sebagai lembaga yang begitu netral juga telah dijadikan sebagai sarana untuk membangun komunikasi iman dengan lingkungan sekitar.

Ketika membuka salah satu tautan Gereja Santo Thomas Rasul Bedono di media sosial, saya begitu tercengang dan terkaget-kaget melihat wajah gereja yang seakan berubah menjadi ‘THR – Taman Hiburan Rakyat’. Reaksi spontan saya mengatakan bahwa itu adalah sebuah ‘kegilaan’. Tetapi ketika melihat ekspresi anak-anak yang begitu ‘merdeka’, bahagia dan percaya diri, serta keterlibatan aktif seluruh umat dan warga sekitar dalam berbagai kegiatan budaya itu, kata ‘kegilaan’ menjadi bermakna positif, sebagai sebuah keberanian dan kreatifitas untuk melakukan kebaikan dalam bentuk berbeda – out of the box.

[Sendratari Pring Reketeg OMK - dok. Gereja Santo Thomas Rasul Bedono]

Perayaan Misa kini menjadi kian berwarna dan justru menolong untuk semakin menghayati kekhidmatannya, menemukan wajah Tuhan dalam rupa-rupa makna. Sekarang ada Misa Alam Lestari, Jalan Salib Alam, misa dengan musik kreatif ‘kothean’ bambu, gamelan, rebana. Anak-anak Sanggar bisa menampilkan berbagai bentuk pertunjukan untuk memvisualisasikan Kitab Suci, dll. Dan kesemua itu ternyata juga menjadi sarana untuk menyambungkan kearifan sejarah yang telah terputus kepada anak-anak, agar mereka tidak menjadi generasi yang melayang-layang karena tahu asal-usul yang penting bagi penguatan jati diri.

Pendidikan Kontekstual – selain pendidikan non formal melalui Sanggar Anak, gaung gerakan juga sudah mulai bergulir di ranah Pendidikan Formal. Gerakan hijau ternyata juga telah merangkul kesadaran para guru di sekolah akan perlunya menerapkan kontekstualisasi pendidikan, agar dapat mencelupkan anak-anak pada masalah-masalah konkrit kehidupan. Guru-guru di sekolah sekitar seperti SMA Sedes Sapientiae, SD Kanisius dan SMP Theresiana mulai tertantang untuk mengintegrasikan konteks soasil budaya dan alam hayati ke dalam pembelajaran.

Hal ini sangat sejalan dengan arah Sistem Pendidikan yang terus dibenahi, di mana pembelajaran harus dikontekstualisasaikan dengan keseharian dan penyampaiannya dengan metode-metode kreatif menyenangkan. Berbagai isu sosial budaya, alam sekitar bisa menjadi tema-tema pembelajaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun