Sungguh tak terpikirkan! Pohon natal unik, teruntai apik dari julur-julur petai hijau cerah itu mengundang perhatian banyak orang. Fotonya beredar luas di media sosial, sejak 24 Desember malam. Berbagai komentar dilayangkan. Banyak yang memuji kreatifitasnya, menganggapnya lucu, ada yang menghubungkannya dengan kepekaan terhadap lingkung sekitar, berjiwa nasionalis dan hal positif lain.
Namun ada diskusi (di grup-grup tertutup) yang membahasnya sebagai cari sensasi, bahkan ada yang mengaitkannya dengan ketaatan terhadap garis tata ibadah Gereja Katolik.
Mengapa pohon natal petai menjadi lebih rame, bukankah ada bentuk kreatifias lain misalnya rangkaian botol bekas, koran bekas, carang kayu dan lain-lain? Apakah karena petai sering dikaitkan dengan (maaf) bau jorok atau kadang menjadi bahan candaan? Oleh karenanya sipembuat dianggap sebagai cukup berani dan anti ‘mainstream’?
Pohon natal yang selama ini diidentikkan dengan pohon cemara runcing bersalju itu sendiri tidak ada kaitannya dengan inti ajaran Kristiani. Itu bagian dari hiasan perayaan suka cita. Beberapa sumber mengatakan kebiasaan tersebut berawal dari kebudayaan Eropa Kuno. Tulisan pendek ini memang tidak akan membahas tentang asal-usul pohon natal, tetapi ingin sejenak menelusur, adakah narasi indah yang membingkai pohon petai tersebut sehingga perlu dihadirkan di altar? Atau memang hanya sepenggal gambar tanpa latar?
Romo Patricius Hartono Pr., Pastor Paroki sebuah gereja kecil bernama Gereja Santo Thomas Rasul Bedono, yang terletak di pinggir jalan raya antara Ambarawa-Magelang tersebut mengisahkan ceritanya yang berawal sejak 3 tahun yang lalu.
“Bedo No!” Menjadi ‘Tag Line’ Gerakan Umat
Kata-kata ‘Bedo No’ (berasal dari Bahasa Jawa, yang artinya ‘berbeda to’), menjadi yel-yel yang telah dihayati oleh kalangan umat baik anak-anak, pemuda maupun dewasa. Yel-yel yang diambil dari nama tempat Gereja yaitu Bedono tersebut menjadi ‘bahasa bersama’ yang menggerakkan umat untuk menjalankan dan mencapai visinya, yaitu ‘Menjadi Gereja Yang Membumi, Lestari dan Membudaya”. Gereja yang mendayakan dan berdialog dengan keseharian.
Perumusan bahasa bersama ‘Bedo No’ dapat dikatakan sangat cerdas sekaligus humoris dan genit, karena memiliki banyak arti, akrab dan mudah ditangkap, antara lain: menjadi spirit dan ajakan untuk memiliki mimpi yang berbeda, menghidupi iman secara berbeda, bekerja dengan cara berbeda dan memberi manfaat bagi sekitar secara berbeda. Visi menjadi gereja yang mendayakan hidup dilatarbelakangi setidaknya oleh tiga keprihatinan yaitu:
Pertama, keprihatinan akan kehadiran gereja di tengah masyarakat yang sedang berpusar di tengah badai perubahan zaman – mulai dari kegusaran menghadapi kehidupan yang makin mengglobal tanpa batas, kegamangan memilih berbagai tawaran ‘kenikmataan’, keterasingan di tengah hiruk pikuk teknologi digital, perubahan gaya hidup orang desa yang makin mengkota, degradasi moral, korupsi, kesenjangan ekonomi, berbagai bentuk kekerasan & konflik horisontal, dll.
Upayanya adalah bagaimana agar gereja dapat menjadi teman perziarahan umat dan masyarakat sekeliling menghadapi terpaan perubahan di atas, dengan memiliki ketahanan iman, kebanggaan menjadi diri sendiri, ‘care’ dan ‘eling’ pada sesama, kreativitas untuk mendayakan berbagai potensi yang dimiliki dan mampu mengembangkan berbagai ketrampilan hidup praktis yang diperlukan. Atau istilah Pastur gaul tersebut, “bagaimana tetap memanusia di tengah-tengah situasi yang kadang kurang manusiawi.”
Kedua, keprihatinan akan anak sebagai masa depan peradaban. Ini terkait dengan kecenderungan generasi yang saat ini terbiarkan hilang, berlarian, kehilangan jati diri & ingatan akan asal-usulnya, serta kesepian di tengah hiruk pikuknya zaman. Saat ini banyak anak kita jumpai lebih senang bermain play station , gadget, internet dibanding bermain dan berkumpul dengan teman-teman sebaya. Anak muda kurang peduli lagi dengan lingkungan sosial dan nilai-nilai budaya, cenderung apatis, bergaya hidup ‘instan’ dan manja, mudah terlibat atau menjadi korban kekerasan, dll. Itu memang bukan salah mereka, tetapi karena terberi oleh zamannya.
Pendidikan di rumah sebagai pendidikan pertama dan utama seakan kurang mampu lagi menjangkau karena orang dewasa juga sedang bergumul dengan berbagai kegamangan. Belum lagi kebiasaan kebanyakan orang tua yang lebih merasa aman bila membatasi gerak anak dengan berbagai aturan, ketimbang memberi kemerdekaan untuk berlatih mengatur dirinya sendiri dan memiliki pilihan-pilihan.
Karena memberikan kemerdekaan memang beresiko kalau tidak disertai dengan pengayaan isi dalam akal budinya. Sementara itu Pendidikan Formal juga sulit diharapkan, karena sistem yang ada belum mampu membekali anak-anak untuk menyiapkan hidupnya.
Terkait dengan situasi tersebut, gereja berupaya memberi ‘ruang khusus’ bagi keterlibatan anak untuk mengembangkan diri, menggosok potensi uniknya dan berlatih menjadi bagian dari sebuah komunitas, seorang warga negara.
Ketiga, keprihatinan akan lingkungan hidup. Hal ini terkait dengan isu-isu kerusakan lingungkungan dan eksploitasi alam yang makin menggila dan telah mengancam kelestarian hidup manusia dan mahkluk ciptaan lainnya. Sehubungan dengan ini gereja melakukan berbagai Gerakan Hijau dalam rangka membangun sikap dan ketrampilan ‘hidup hirau hijau’, baik bagi umat maupun masyarakat sekeliling, terutama bagi anak-anak sebagai pemilik masa depan. Gerakan Hijau yang bertumpu pada pertanian organik dan pemberdayaan potensi lokal ini dilakukan untuk terlibat dalam upaya konservasi alam dan peningkatan ekonomi masyarakat, sebagai salah satu pilar utama ‘kemandirian gereja dan umat’.
Bila diringkas, ‘Visi Gereja Yang Makin Membumi, Lestari dan Membudaya’ merupakan komitmen untuk menyambungkan firman Tuhan dengan dunia panggung alam ‘pikiran & keseharian’ umat dan masyarakat sekitarnya.
dok. Gereja Santo Thomas Rasul Bedono]
Berbagai Pendekatan Kreatif:
Anak Menjadi Pusat Gerakan – keyakinan bahwa anak adalah mata air cinta dan titik pertemuan rasa kasih sayang dari kalbu semua orang, menjadi spirit bagi upaya-upaya pengembangan anak. Perasaan manusia memang melembut dan menjadi indah ketika berbicara tentang dunia anak-anak, seluruh umat manusia merasakan emosi yang mendalam yang dibangkitkan oleh cinta anak-anak. Yesus sendiri mendudukkan anak-anak sebagai contoh bagi yang empunya Kerajaan Surga dan meminta para murid, kita semua untuk tidak menghalang-halangi anak datang kepadaNya.
Pada prinsipnya semua orang tua juga ingin membicarakan tentang masa depan anak, bahkan seluruh hidupnya diabdikan demi kelangsungan hidup anak-anak. Anak begitu penting bagi kelangsungan hidup keluarga, masyarakat, gereja, bangsa, bahkan bagi peradaban, namun di sisi lain gereja melihat bahwa anak dan kaum muda berada dalam kondisi rentan. Dengan demikian anak dipandang sebagai ‘pintu masuk’ yang tepat untuk menggerakkan berbagai kegiatan pengembangan.
Gereja Bedono menetapkan tekadnya agar semua gerakan yang dilakukan haruslah demi kepentingan terbaik anak. Hal ini ditempuh setidaknya melalui dua cara: pertama, keterlibatan aktif anak-anak secara langsung dalam siklus kehidupan gereja: anak-anak diikutsertakan dalam setiap kegiatan, baik kegiatan yang bersifat ‘gerejawi’ maupun kegiatan umum/ kemasyarakatan. Kedua, menggerakkan dukungan orang tua – sebagai pendidik yang utama dan pertama, orang tua dimampukan agar dapat menyediakan dukungan positif bagi tumbuh kembang anak.
Berbasis Alam, Sosial - Budaya dan Alam Hayati
“Lihatlah apa yang ada! Temukan titik dan garis, bentuk dan pola, gelap dan terang. Dengan itu, bangunlah sebuah cerita!”
Ungkapan bijak Mo Har (begitu beliau dipanggil) di atas begitu mencerminkan keyakinannya bahwa alam terkembang membawa berbagai pesan ilahi. Alam dengan berbagai dimensinya telah disediakan menjadi tempat yang sungguh baik bagi anak-anak untuk belajar, untuk menimba berbagai kearifan yang terkandung di dalamnya, guna mengasah potensi yang dimiliki dan melatih ketrampilan hidup. Berbagai kegiatan pengembangan dilakukan dengan bertumpu pada hal-hal yang ada di masyarakat, segala sesuatu yang ‘nyambung’ dengan alam pikiran masyarakat. Yesus berbicara tentang perahu, jaring dan ikan kepada para murid; maka berbicara tentang pertanian, peternakan, gamelan, wayang, reog, selamatan jalan dan keseharian lain akan sangat mudah dipahami oleh masyarakat pedesaan Jawa.
Bahkan kehidupan ‘ala Jawa Ndesa’ yang kaya akan nilai-nilai namun telah terkubur dibangkitkan dan diceritakan kembali kepada anak-anak untuk membangun keutamaan hidup.
Berbagai contoh dapat disebutkan di sini, misalnya: misa alam lestari dalam rangka perayaan Hari Pangan Sedunia dengan nuansa kehidupan orang Jawa, digunakan untuk meneruskan kearifan berpakaian, berbahasa, teknlogi tepat guna, kearifan mengelola pangan dan mewariskan kearifan hubungan antar manusia; gerakan desa mandiri sayur dengan penanaman sayuran di halaman; penanaman pohon tahunan dan buah-buahan untuk menjaga air; menghidupkan kembali dolanan tradisional di Sanggar; kenduri & pawai budaya, buka puasa bersama dan takbir keliling oleh anak-anak untuk membangun sikap tolernasi; pertunjukan sendratari kolosal untuk memperkuat kebersamaan dan mengembangkan aneka musik kreatif.
Untuk meneguhkan betapa besar spirit dan kepekaan terhadap alam dan sosial budaya dalam setiap gerakan ini, Pastor menyampaikan ungkapannya sebagai berikut: “Kita ini menjadi bagian dari alam yang membaharui diri dan Allah yang membangun kerajaanNya. Tempatkan diri dalam perspektif ‘semesta’ atau lebih dalamnya dalam rencana Allah, maka banyak hal tak terduga yang memang harus terjadi, akan terjadi. Yang saya lihat hanya keluasan dan ketidakterbatasan. Syukur boleh menjadi bagian di dalamnya, menangkap beberapa kenyataan di sana, sambil sesekali besar kepala karena merasa telah tahu semua hal tapi kemudian merasa kecil lagi karena masih terlalu banyak misteri.”
Partisipasi dan Kewsadayaan
Menggerakkan keswadayaan masyarakat menjadi spirit dan ciri khas berbagai kegiatan yang didampingi gereja. Hal ini didorong oleh keyakinan bahwa gerakan yang lahir dari partisipasi masyarakat dan memberdayakan sumber daya lokal akan menjadi unsur penting bagi kesinambungan sebuah program pengembangan. Sabagai contoh, untuk kegiatan gerakan sayur organik, gereja pada awal gerakan membagikan 5 kantong plastik pada tiap keluarga sebagai stimulasi. Untuk selanjutnya umat menanami.
Setelah terbukti berhasil dan bermanfaat, ternyata dalam waktu singkat tiap keluarga mengembangkan sendiri hingga menjadi puluhan koker dengan berbagai jenis tanaman. Umat seperti berlomba-lomba memperbanyak jumlah dan jenis tanamannya. Yang semula hanya gerakan umat, kini tetangga sebelah menyebelah tertarik dan ikut menanam, dan akhirnya gerakan itu pun bergulir menjadi gerakan RT dan desa.
Salah satu bukti bahwa berbagai kegiatan pengembangan tersebut memang merupakan ‘gerakan’ umat dan bukannya paksaan struktural adalah berbagai kesepakatan dan rencana dicapai melalui misa dan refleksi umat tiap ‘Kemis Legen’, bukan keputusan yang diambil oleh Dewan Paroki sendiri. Refleksi ‘Kemis Legen’ menjadi wadah ‘rembug umat’ untuk merencanakan sesuatu, menghimpun komitmen dan melakukan evaluasi.
Para Rasul Penggerak Swakarsa
Untuk mempromosikan dan membangun kesadaran umat akan berbagai gerakan pembangunan tersebut, dikembangkanlah berbagai ‘rasul’ sebagai motivaror/penggerak. Rasul-rasul yang kini ada antara lain: rasul hijau, rasul kimpul, rasul anak, rasul pendidikan, rasul budaya dan lain-lain. Para rasul tersebut adalah orang-orang yang telah lebih dulu memiliki kesadaran dan mampu melakukannya di rumah serta bersedia berbagi pengalaman sehingga menjadi contoh dan menggerakkan umat sekitar. Menurut Pastur Paroki, penggunaan sistem ‘rasul’ ini belajar dari pengalaman gereja mula-mula, di mana gereja berkembang melalui karya ‘para rasul’.
Berbagai Jenis Gerakan Konkrit:
Sanggar Anak – dikembangkan untuk mewadahi kegiatan pengembangan anak sesuai dengan ciri khas dan potensi menonjol masing-masing wilayah. Sanggar dimulai dari sesuatu yang sederhana, konkrit dan betul-betul diinginkan oleh anak. Satu tahun yang lalu sebagai rintisan, berdiri satu sanggar bernama Sanggar Anak Sadang atau disingkat SAS (bisa dilihat ‘page’nya di facebook dengan nama yang sama). Kegiatan SAS dimulai dengan kegiatan musik dan tari, yang awalnya untuk mempersiapkan anak-anak Bina Iman agar dapat tampil di setiap akhir perayaan misa. Lambat laun anak-anak dan remaja dusun tertarik untuk bergabung dalam kegiatan Sanggar, sehingga SAS menjadi wadah pengembangan seluruh anak dusun.
Melalui berbagai pendekatan, Perangkat Dusun dan tokoh agama lain pun mengijinkan anak-anaknya bergabung tanpa rasa takut dan kawatir anak-anaknya akan ‘dikatolikkan’. Ketika kegiatan berkembang lebih luas seperti: Taman Bacaan, Konservasi Alam & Budaya, penggalian Tembang & Dolanan Anak Tradisional, Latihan Ketrampilan Praktis, out bond & kemping alam lestari, Pak Kiai mulai terlibat dengan menawarkan gedung bekas Mushola menjadi perpustakaan dan menyediakan diri untuk menjadi pencerita budaya.
Demikian juga dengan warga lainnya, juga tergerak untuk menjadi pendamping SAS dengan ketrampilan masing-masing seperti: penari, sinden, dalang, petani sayur organik, peternak kodok, pengusaha jamur, dll. Dalam kurun waktu 2 tahun, kini telah terbentuk 10 Sanggar Anak di wilayah desa lain.
Melalui berbagai kegiatan kreatif dan menyenangkan, Sanggar menjadi sarana untuk membangkitkan berbagai potensi yang tersembunyi. Proses pendidikan di Sanggar diibaratkan sebagai ‘seorang pemahat sedang menatah batu untuk mengeluarkan singa yang terjebak di dalamnya’. Selain itu Sanggar juga diharapkan menjadi contoh tempat yang ‘inklusif’ dan menghargai semua anak tanpa kecuali, termasuk anak-anak ‘diffable’.
Kegiatan pendampingan di Sanggar juga dijadikan sarana bagi upaya pencarian berbagai ‘metode pendidikan hidup’ yang lebih tepat guna dan membebsakan, yang suatu saat diharapkan dapat menjadi ‘alternatif tawaran’ bagi sistem pendidikan formal yang masih membelenggu dan memenjarakan kreativitas anak. Untuk mendukung pencapaian misi Sanggar tersebut, para Rasul Anak dan Rasul Pendidikan terus bergiat mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang ada, bersama-sama dengan para pendamping setempat.
Gerakan Hijau – bertujuan untuk memperdayakan potensi pertanian & peternakan lokal guna meningkatkan ketahanan pangan masyarakat dengan cara-cara yang lestari dan berkelanjutan. Berbagai gerakan yang dilakukan adalah: Penanaman pisang, manggis, kimpul plocot, sayuran organik di halaman rumah; peternakan - kodok, kelinci dan kambing; serta promosi pengolahan hasil pangan non-beras seperti nasi jagung, kimpul, umbi-umbian.
Dalam perjalanan, gerakan ini mulai terlihat bahwa manfaatnya ternyata tidak hanya dari sisi praktis ekonomi terkait dengan ketersediaan pangan dan menambah pendapatan, tetapi juga menjadi pemicu bagi bertumbuhnya kesadaran ranah yang lain. Berbagai contoh yang terjadi: gerakan tanam sayur di halaman dapat menggerakkan kebersamaan, kerukunan, latihan pribadi tentang kesabaran, rasa memelihara, empati, dll. Selain itu juga menjadi sarana pendidikan bagi anak-anak baik di Sanggar maupun di rumah terkait sikap hidup yang ‘menghargai alam’.
Bahkan ketika ternyata pot sayur-sayuran juga ikut misa (menjadi dekorasi altar menggantikan bunga yang harus selalu dibeli), juga menjadi kekagetan tersendiri dan menyadarkan akan banyak hal seperti rasa sejuk asri alami, irit, penghayatan makna spiritual dan lainnya.
Penanaman KIMPUL plocot, yang diberi kepanjangan (K-erukunan I-ku M-buktekake P-engandeling U-rip kang L-estari) menjadi pengingat perlunya membangun kerukunan sebagai bukti iman, juga telah menumbuhkan kesadaran tentang perlunya mengangkat kembali hal-hal baik yang telah dilupakan. Kimpul Plocot bisa menjadi bahan pangan alternatif di musim paceklik, menjadi makanan khas yang dapat mengangkat nama desa, bernilai ekonomi tinggi karena langka dan mulai dicari banyak orang.
Pengolahan pangan non beras yang dalam promosinya dilakukan bersama dengan kegiatan PKK, telah menjadi ‘kesaksian yang hidup’ bahwa kegiatan gereja dapat diikuti oleh siapa saja tanpa rasa takut. Dan pendekatan seperti ini dapat menjadi inspirasi untuk meleburkan ancaman laten Bangsa kita terkait dengan kerukunan hidup antar umat beragama. Seraca internal kehidupan gereja, juga semakin mengajak agar gereja tampil lebih terbuka dan ramah, tidak asyik pada dirinya sendiri, berkutat pada tata ibadah dan liturgi internal.
Kelestarian Budaya – gereja telah menjadikan ‘seni’ dan budaya (dalam pengertian luas) sebagai media untuk pendidikan umat, baik dari segi keimanan maupun dimensi kehidupan lain, seperti mengasah berbagai potensi seni, menggali kebudayaan yang mulai punah, menciptakan berbagai kreatifitas baru, menggali kearifan lokal dari kebiasaan nenek moyang zaman dahulu, dll. Selain itu, ‘kebudayaan’ sebagai lembaga yang begitu netral juga telah dijadikan sebagai sarana untuk membangun komunikasi iman dengan lingkungan sekitar.
Ketika membuka salah satu tautan Gereja Santo Thomas Rasul Bedono di media sosial, saya begitu tercengang dan terkaget-kaget melihat wajah gereja yang seakan berubah menjadi ‘THR – Taman Hiburan Rakyat’. Reaksi spontan saya mengatakan bahwa itu adalah sebuah ‘kegilaan’. Tetapi ketika melihat ekspresi anak-anak yang begitu ‘merdeka’, bahagia dan percaya diri, serta keterlibatan aktif seluruh umat dan warga sekitar dalam berbagai kegiatan budaya itu, kata ‘kegilaan’ menjadi bermakna positif, sebagai sebuah keberanian dan kreatifitas untuk melakukan kebaikan dalam bentuk berbeda – out of the box.
Perayaan Misa kini menjadi kian berwarna dan justru menolong untuk semakin menghayati kekhidmatannya, menemukan wajah Tuhan dalam rupa-rupa makna. Sekarang ada Misa Alam Lestari, Jalan Salib Alam, misa dengan musik kreatif ‘kothean’ bambu, gamelan, rebana. Anak-anak Sanggar bisa menampilkan berbagai bentuk pertunjukan untuk memvisualisasikan Kitab Suci, dll. Dan kesemua itu ternyata juga menjadi sarana untuk menyambungkan kearifan sejarah yang telah terputus kepada anak-anak, agar mereka tidak menjadi generasi yang melayang-layang karena tahu asal-usul yang penting bagi penguatan jati diri.
Pendidikan Kontekstual – selain pendidikan non formal melalui Sanggar Anak, gaung gerakan juga sudah mulai bergulir di ranah Pendidikan Formal. Gerakan hijau ternyata juga telah merangkul kesadaran para guru di sekolah akan perlunya menerapkan kontekstualisasi pendidikan, agar dapat mencelupkan anak-anak pada masalah-masalah konkrit kehidupan. Guru-guru di sekolah sekitar seperti SMA Sedes Sapientiae, SD Kanisius dan SMP Theresiana mulai tertantang untuk mengintegrasikan konteks soasil budaya dan alam hayati ke dalam pembelajaran.
Hal ini sangat sejalan dengan arah Sistem Pendidikan yang terus dibenahi, di mana pembelajaran harus dikontekstualisasaikan dengan keseharian dan penyampaiannya dengan metode-metode kreatif menyenangkan. Berbagai isu sosial budaya, alam sekitar bisa menjadi tema-tema pembelajaran.
Hal-hal yang telah dimulai dan akan dilakukan antara lain penanaman sayuran di lingkungan sekolah dan asrama sebagai wujud penataan lingkungan sekolah sebagai laboratorium hijau, tempat belajar tentang menghargai alam, perilaku memelihara, mencintai ciptaan Tuhan dan pelatihan ketrampilan hidup lain; penggalian budaya dan kesenian setempat menjadi bagian dari penugasan/project anak-anak, penelusuran potensi wilayah, pengelolaan sampah, dll. Kegiatan-kegiatan praktis berbasis alam, sosial dan budaya tersebut akan menjadi latihan yang sungguh berguna untuk kehidupan anak-anak, untuk mengisi/melengkapi berbagai pencapaian akademis yang saat ini memang masih menjadi fokus utama.
Lalu apa kaitannya dengan ‘Pohon Natal Petai’?
Jelas sekali bahwa pohon petai di samping altar tersebut tak sekedar gambar tanpa latar, atau sekedar cari sensasi. Sebagai hiasan, malam itu iapun hadir bersama-sama dengan tetumbuhan lain seperti rumpun jagung, talas, tomat, bahkan rumput teki dan berbagai tanaman lain. Bahkan di dua gereja kecil lain bagian dari paroki ini mengangkat tema berbeda yaitu ‘altar singkong’ dan ‘altar herbal’. Altar-altar hijau tersebut hadir dalam bingkai besar perjuangan gereja, yang ingin menjadi bagian dari pembangun harmoni alam raya seisinya, sebagai wujud penghayatan iman yang lebih hidup.
Dalam pesan natal Romo Hartono dan Romo Eko menyampaikan bahwa Natal bukan sekedar peristiwa manusia. Natal adalah peristiwa semesta. Bicara tentang damai natal, itu pun bukan hanya damai antar manusia tetapi antar semua ciptaan. Lebih dari itu, damai natal adalah berdamainya kembali ciptaan dengan Penciptanya berkat kelahiran Yesus, Emanuel, yaitu Tuhan yang tinggal di antara kita (baca semesta dengan manusia di dalamnya).
Dikatakan lebih lanjut bahwa peristiwa Natal sendiri adalah peristiwa sangat kosmik, ada malam dengan bintang, ada padang dengan gembala dan domba, ada Maria dan Yusuf dengan palungan di kandang domba. Pada malam natal realitas alam yg sederhana ‘naik pangkat’ menyambut datangya Yesus Sang Emanuel. Itulah sebabnya sampai sekarang umat Kristiani menghargai kandang kotor dan membawanya ke dalam gereja. Demikian juga domba ‘prengus’ dan gembala dekil dan berbagai tanaman, semua dihargai dengan cara baru.
Pesan kedatangan Yesus cukup jelas, seperti yang dikatakan Yesaya tentang langit baru bumi baru. Bagi umat Kristiani kedatangan Yesus membuat semua realitas dihargai kembali sebagaimana mestinya, seperti pada awal ketika diciptakan bahwa segala sesuatu baik adanya.
Teman natal yang ditetapkan bersama oleh Persekutuan Gereja-gereja se-Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun ini adalah “Hidup Bersama Sebagai Keluarga Allah”. Kiranya berbagai gerakan kreatif dari gereja kecil Bedono yang telah dimulai sejak beberapa tahun lalu semakin meneguhkan ajakan yang tertuang dalam tema natal tersebut dan bahkan menghidupi ajakan Bapa Paus Fransikus yang tertuang dalam Surat Gembala Laudato Si – mendengar tangis kemanusiaan dan bumi, dan ikut terlibat aktif menyelamatkan bumi rumah tinggal bersama.
Gereja Pohon Natal Petai ternyata memiliki banyak kisah inspiratif. Kisah seru tentang ‘Eko Pastoral’ bersambung dalam paparan berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H