Mohon tunggu...
Susana Srini
Susana Srini Mohon Tunggu... -

Wong ndeso, tertarik ikutan memperhatikan masalah pendidikan, selalu rindu untuk dapat memberikan sumbangsih bagi upaya-upaya merawat bumi, anggota komunitas Sekolah Komunitas - Sodong Lestari (SoLes), anggota Galeri Guru/TRUE CREATIVE AID dan terlibat dalam Laskar Pena Hijau YBS Cikeas.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Wayang Sayur Manggung di Kebun

10 September 2015   16:17 Diperbarui: 1 Agustus 2016   09:13 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="dari ajakan cinta sayur hingga provokasi cinta bumi"][/caption] Upaya Warga Menemani Anak-anak Menemukan Jalan Kembali ke Alam

“Halo kawan-kawan, apa kabar? Lihatlah warnaku oranye, daunku hijau, bentukku runcing, tahukah kalian siapa aku?”

“Worteeeel…”

“Iya aku memang wortel, tapi aku punya nama unik dan cantik…namaku Wortelita.”

“Halooo, kalau aku Brokolin, aku dong terkenal seperti artis, karena rambutku Kriwil.”

“Kawan-kawan, aku juga sayur hebat, semua orang suka padaku. Siapa nggak kenal sama aku si cantik Caisim?”

“Hai Buncisimin, mengapa kalian bersedih dan sembunyi? Yuk gabung ke sini main sama kami!”

“Nggak mau, aku takut….kita ini kan hanya sayuran…”

“Memangnya kenapa kalau sayuran?”

Begitulah petikan dialog ceria para wayang sayur yang keluar dari balik layar putih sambil mendendangkan tembang dolanan berbahasa Jawa berjudul “Yo Prokonco”, diiringi musik kreatif perkusi dari lodong bambu dan tifa. Para penonton nampak terpesona menyimak adegan demi adegan yang menggambarkan percakapan antara sayur dengan sayur, sayur dengan petani, petani dengan anaknya, juga petani dengan sesama petani. Anak-anak masuk dalam kekhusukan imajinasi negri sayur, di mana mereka seolah dapat merasakan bahwa antara tanaman dan manusia memang dapat bercakap-cakap. Curahan hati tanaman dengan bahasa sederhana kanak-kanak itu cukup menggelitik, bahkan mengajak para penonton dapat merefleksikan berbagai pembelajaran tentang bagaimana harusnya merawat dan mencintai tanaman, memanfaatkannya dengan bijaksana, hingga ajakan untuk kembali mencintai tanah – bumi tempat kita tinggal.

Pementasan-pementasan wayang sayur yang sudah beberapa kali dilakonkan oleh SaNak (Sanggar Anak) Sodong, salah satu dari 8 Sanggar Anak yang diprakarsai oleh Gereja Santo Thomas Rasul Bedono (Keuskupan Agung Semarang) yang terletak di pinggiran Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang tersebut menjadi salah satu media untuk memperkuat pesan Hidup Hirau Hijau di Lahan Belajar Pertanian Selaras Alam. Lahan pembelajaran dikembangkan terintegrasi dengan Sanggar Anak – bertajuk “Sodong Lestari Dusunku Sekolahku”.

Pertunjukan-pertunjukan semacam itu bisa menjadi tetes embun di kala berbagai keprihatinan akan kerusakan alam, kepunahan keragaman hayati dan kearifan lokal, pesimisme terkait kemandirian pangan, serta kegelisahan akan pola pendidikan yang makin tak menemukan muara. Ketika perubahan gaya hidup instan dan eksploitatif susah dikendalikan lagi, penyadaran terhadap anak-anak sebagai pemilik masa depan untuk kembali mencintai bumi dan sesamanya menjadi salah satu cara yang strategis. Melalui pementasan Wayang Sayur dan belajar-bermain di lahan pertanian organik, anak-anak dicelupkan ke dalam praktek kehidupan keseharian yang berdampingan secara harmonis dengan sesama, alam , kearifan nenek moyang dan tanah leluhur serta belajar lebih karib dengan Sang Maha Pencipta. Dengan mendampingi anak-anak belajar, orang dewasa juga diharapkan tergerak hatinya untuk ‘eling’, mawas diri, belajar dan melakukan perbaikan-perbaikan.

Leonardo Boff (dalam Essential Care, Baylor University Press, 2008) memberikan peringatan bahwa saat ini sedang terjadi sebuah krisis peradaban, yang salah satu manifestasinya adalah kurangnya ‘care’ terhadap kehidupan; terjadi banyak pembiaran dan pengabaikan kehidupan dan kerentanannya. Padahal kemampuan memelihara merupakan hal esensial kehidupan dalam rumah bersama - bumi. Memang menurutnya masih ada harapan untuk memperbaiki kerusakan itu, namun diperlukan terjadinya perubahan ‘paradigma baru kehidupan bersama’ yang berlandaskan pada hubungan yang lebih baik dengan semesta (tentu saja dengan Sang penyebab formal: Tuhan Sang Maha Pencipta). Melalui Sanggar Anak yang terintegrasi dengan lahan Percontohan Pertanian Organik Terpadu, anak-anak di sebuah dusun kecil tersebut sedang diajak untuk belajar tentang “memelihara” kehidupan bersama di alam semesta.

Melalui kegiatan sederhana, seperti mengenal berbagai tanaman, melakonkan percakapan sayuran, ikut menanam, menyirami & merawat tanaman, mengamati pertumbuhan tanaman dan lain-lain, anak-anak diajak untuk hidup lebih dekat dengan alam dan menghargai tanaman. Tanaman diperkenalkan tidak sekedar sebagai bagian dari rantai makanan atau obyek konsumsi manusia dan hewan, tetapi juga sebagai sesama makluk ciptaan yang secara bersama-sama membangun harmoni kehidupan. Proses belajar dan dialog dengan anak-anak memang tidak akan serumit dan seberat itu, namun melalui berbagai kegiatan aktif kreatif keseharaian tersebut orang tua dan anak-anak bersama-sama mengembangkan berbagai ketrampilan hidup dan melakukan semacam “Adorasi Alam Lestari” (meminjam istilah Rm. Patricius Hartono, Pr – Pastur Paroki). Anak-anak diajak untuk merenungkan, memuji dan memuliakan kebesaran Tuhan, serta bersyukur atas anugerah yang diberikan melalui segala sesuatu yang ada dan hadir di sekitar kita seperti tanah, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, serangga kecil, sesama manusia, kehidupan bermasyarakat, kebudayaan dan lain sebagainya. Melalui itu semua diharapkan anak dapat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi diri dan tantangan serta kekayaan lingkungannya.

Mengapa Lahan Pertanian Selaras Alam, Sanggar Anak dan Wayang Sayur?

Pertanian Selaras Alam (Pertanian Organik) -  adalah sistem budidaya pertanian terpadu berkelanjutan yang memberdayakan seluruh agen hayati (seperti tumbuh-tumbuhan, mikro organisme penggembur tanah, predator, pupuk alam, kotoran ternak, dll.) tanpa menggunakan bahan kimia sintetis. Pengelolaannya didasarkan pada prinsip kesehatan, keseimbangan ekologi, keadilan dan perlindungan serta kelestarian termasuk kearifan lokal. Dalam pertanian organik, unsur ‘relasi’ sangat penting, baik relasi dengan sesama manusia, alam semesta maupun relasi dengan masa depan. Dalam pertanian organik, petani dihargai, didorong dan diberi kepercayaan untuk berperan sebagai pemulia keanekaragaman hayati di lingkungan sekitar di mana para petani tinggal. Keanekaragaman hayati dan pengetahuan lokal yang melingkupinya menjadi modal handal untuk mengupayakan kemandirian, baik dalam hal kemandirian bibit, distribusi pangan maupun teknologi pertanian yang lebih sesuai dengan kebutuhan. Oleh karenanya pertanian selaras alam  dapat menjadi alternatif sebuah gerakan untuk mengurangi ketergangtungan petani pada jaringan industri benih, teknologi & sarana pertanian, impor bahan pangan dasar serta penyeragaman tanaman, sehingga dapat melahirkan kembali kekuatan lokal (Wahono, F., Pangan, Kearifan Lokal & Keanekaragaman Hayati, 2000).

Karena sistem Pertanian Selaras Alam  memiliki prinsip-prinsip yang erat hubungannya dengan sikap hidup ‘memelihara’ dan harmoni dengan sesama, alam semesta, Tuhan dan kehidupan di masa yang akan datang (sustainability), maka lahan pertanian organik sangat tepat dijadikan sebagai tempat belajar tentang kehidupan       (sekolah kehidupan). Melalui budidaya pertanian organik, anak-anak dapat didampingi untuk mengembangkan berbagai karakter hidup baik secara konkrit yang akan sangat berguna bagi kehidupannya kini maupun yang akan datang.

Sanggar Anak – adalah sebuah komunitas persaudaraan di mana anak-anak tergabung dan ‘mengalami’ dinamika perkembangan berbagai kemampuannya (kecerdasan jamak – personal, sosial, spiritual, bahasa, logika, seni, kinestetik, ruang spasial), melalui interkasi dengan kelompoknya, teman, orang dewasa, masyarakat, budaya dan alam sekitarnya. Sanggar Anak merupakan salah satu bentuk pendidikan yang menggunakan pendidikan non kelas, dengan tujuan memberikan kesempatan dan ruang bebas kepada anak untuk mengeksplorasi lingkungan sekitarnya dan menemukan hal-hal baru. Lingkungan (alam fisik, alam hayati, masyarakat, budaya dan kehidupan beragama) menjadi tempat sekaligus materi & media belajar. Cakupan pendidikan menjadi lebih luas, holistik dan integratif karena mengembangkan berbagai ranah kecerdasan anak sesuai dengan potensi yang dimiliki.

Pendekatan pendidikan melalui Sanggar ini juga bersifat kontekstual, pembelajaran disesuaikan atau diambil dari tema kehidupan masyarakat sehari-hari maupun menggali dari kearifan nenek moyang. Peserta kegiatan berbasis rentang usia anak yaitu melibatkan semua rentang usia anak (pendidikan sebaya, pola asuh adik-kakak, dan anak-orang dewasa atau mengikuti pola alamiah kekeluargaan). Pendidikan di Sanggar dikelola dengan memberdayakan potensi lokal dan partisipasi masyarakat, baik dalam hal sumber daya material maupun pendamping. Siapapun bisa menjadi pendamping/guru sesuai dengan keahliannya.

Selain itu pendidikan di Sanggar Anak bersifat terbuka atau inklusif, di mana semua anak di dusun diberikan kesempatan untuk terlibat tanpa membedakan latar belakang agama. Pada kegiatan umum, pembinaan spiritualitas lebih mengarah pada mengembangkan dialog dan memperkenalkan penghargaan terhadap keberbagaian kepada anak sejak dini. Terkait pembinaan akidah itu menjadi tanggung jawab masing-masing orang tua dan pemimpin agama dan di lakukan di tempat/waktu yang khsusus. Pendidikan di Sanggar juga menghargai anak-anak dengan kemampuan berbeda/khusus (difable).

Adapun tujuan pendidikan melalui Sanggar Anak adalah: (1). Agar anak berkembang sesuai dengan konteks/ tidak tercerabut dari akar budaya dan lingkungan sekitarnya; (2). Anak mampu melihat, bersikap kritis, menghargai dan memanfaatkan semua yang ada di sekitarnya (alam, sosial, buadaya, sesama manusia, kebudayaan & permasalahan) untuk hidupnya; (3). Anak dapat menjadi Agen Perubah yang menghasilkan kebudayaan baru (memberi makna baru) dan menghadirkan perubahan baik bagi sekitarnya; (4). Sanggar diharapkan menjadi tempat bagi anak untuk bertumbuh dan berkembang sesuai potensi diri dalam harmoni dengan potensi dan kondisi lingkungannya.

Dengan tujuan dan prinsip pendidikan seperti yang diimpikan di atas, maka Sangar Anak menjadi sangat strategis dan tepat berada dan terintegrasi dengan ‘Lahan Pertanian Organik Sodong Lestari’ dan seluruh dinamika kehidupan masyarakat dusun. Lahan pertanian, Sanggar Anak dan kehidupan masyarakat menjadi kelas bagi anak-anak – kelas tanpa batas atau kami menyebutnya sebagai ‘DUSUNKU SEKOLAHKU’.

Wayang Sayur –adalah seni pertunjukan wayang yang menggunakan karakter sayuran. Sedangkan karakter yang dilakonkan bisa merupakan karakter manusia maupun karakter tumbuh-tumbuhan itu sendiri. Pengembangan seni pertunjukan Wayang Sayur ini menggunakan prinsip-prinsip yang ada dalam pertunjukan wayang seperti pada umumnya, dengan versi yang lebih sederhana. Awal mula pengembangannya terinspirasi dari pertunjukan ‘Wayang Kancil’ Ki Ledjar dari Jogjakata yang menggunakan karakter hewan.

Mengapa wayang dianggap strategis menjadi bagian dari media pendidikan anak-anak di Sanggar? Wayang adalah  seni pertunjukan yang mencakup berbagai unsur kesenian yaitu meliputi seni suara, seni sastra, seni musik, seni tutur, seni rupa, dan lain-lain. Pertunjukan wayang diharapkan dapat mengakomodasi pengembangan berbagai potensi anak yang berbeda-beda. Selain itu, kesenian menjadi bagian penting dalam kegiatan di Sanggar Anak karena ‘seni’ merupakan ruang ekspresi yang terbuka, netral - tanpa kotak-kotak, bisa merangkul berbagai pihak tanpa mempedulikan latar belakang kepercayaan, usia, jender dan kelas sosial. Dengan demikian diharapkan Sanggar Anak dapat menjadi ‘ruang terbuka’ bagi semua anak untuk bertumbuh dan berkembang bersama-sama seuai dengan lingkungan sosialnya. Seni juga dapat dipakai untuk mengembangkan berbagai kemampuan, seperti kemampuan berkomunikasi, berpendapat, melatih kepercayaan diri, membangun kebersamaan, mempelajari kebudayaan dan lain-lain. Di samping itu kesenian juga dapat menjadi sarana untuk membangun kesadaran kritis, menyampaikan kritik sosial dan membangun gerakan pembangunan.

Mengapa Wayang Sayur? Hal ini jelas, melalui pertunjukan wayang sayur diharapkan terjadi kesadaran kritis bagi anak-anak sejak dini, mulai dari hal-hal praktis untuk mencintai makanan berbahan sayur-sayuran, hingga membangun karakter hidup hirau hijau untuk terlibat melakukan upaya kelestarian alam mulai dari hal-hal yang sederhana, juga lebih mengenal dan memiliki hubungan yang dekat dengan Sang Pencipta. Selain itu pertunjukan wayang sayur juga menjadi sarana pembelajaran bagi orang dewasa untuk membangun kesadaran Kritis, seperti melakukan refleksi terhadap berbagai persoalan kelestarian alam, membangun gerakan untuk kembali pada sistem pertanian yang lebih ramah alam-sesama dan berkelanjutan, hingga membangun gerakan untuk menyuarakan berbagai keprihatinan terkait dengan pertanian kepada pihak-pihak terkait.

Menjadi Generasi Berbeda

Di jaman ini, orang dewasa dan anak-anak muda sama bingungnya menghadapi berbagai tuntutan perubahan, yang lebih banyak bermuara pada pencarian kenikmatan (material). Pemujaan terhadap materi telah menggiring manusia mengorbankan atau kehilangan berbagai kemampuan kemanusiaannya seperti: berpikir kritis kreatif, memecahkan masalah, mengendalikan emosi, memelihara kejujuran, tanggung-jawab, empati, menjaga orang lain, memelihara alam, ‘eling’ pada Yang Maha Kuasa, dan sebagainya.

Revolusi digital sebagai salah satu hasil penting “kemajuan”, selain membawa berbagai manfaat positif yang berguna bagi peradaban, juga menghadirkan fenomena mengkawatirkan yang mendukung menurunnya perkembangan berbagai kemampuan manusia di atas. Contoh yang sangat marak: internet dan gadget – telah menghadirkan dunia virtual yang dapat diakses kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja. Mulai dari berbelanja, bermain, belajar, berbisnis, pertemuan, menjalin hubungan sosial dan lain-lain hadir secara ‘on line’, tak perlu beranjak.

Ini memang memudahkan, tapi di sisi lain telah mengurangi hubungan manusia dengan dunia realitas, dengan alam sekitarnya. Bayangkan saja anak-anak kita yang setiap saat bermain dengan fasilitas itu. Mereka memang bisa asyik menikmati kegembiraan, berinteraksi dengan berbagai obyek dan karakter, tetapi kesemuanya maya. Itu tidak berbau, tidak bisa disentuh, tak terasa teksturnya, rasa dingin dan hangatnya, tak bisa berbagi emosi dan lain-lain. Mereka hanya bisa dilihat dan didengar. Stimulasi untuk perkembangan panca indera menjadi terbatas. Padahal panca indera merupakan pintu gerbang bagi proses perkembangan berbagai kemampuan manusia. Saking asyiknya anak-anak juga kehilangan kesempatan untuk melakukan berbagai kegiatan positif, padahal ‘berkegiatan’ adalah sarana penting untuk belajar berbagai keterampilan hidup.

Bagaimana menemukan jalan kembali? Sanggar Anak, Lahan Pertanian dan Wayang Sayur (atau bentuk kesenian lain yang berkembang selanjudnya) dapat menjadi salah satu alternatif untuk melakukan pendidikan anak secara ‘’berbeda’. Melalui berbagai kegiatan praktis kehidupan keseharian, bercocok tanam, mempelajari kebudayaan, menelisik kembali tradisi nenek moyang, bermain di alam dan lain-lain diharapkan dapat mencelupkan anak pada pengalaman-pengalaman konkrit yang dapat menstimulasi berbagai inderanya. Dan selanjudnya diharapkan anak dapat menyerap dan mengembangkan berbagai kemampuan kemanusiaannya, seperti kejujuran, bersikap adil, bertanggungjawab, memiliki daya juang, peduli sekelilingnya, kreatif memecahkan masalah, menemukan hal-hal baru dan lain-lain.

Kiranya Sanggar Anak dengan Wayang Sayurnya yang biasa manggung di panggung hidup - Lahan Pembelajaran Pertanian Selaras Alam ini sungguh menjadi tempat tumbuh kembang bagi anak-anak menuju generasi yang berbeda, generasi yang menyayangi sesama, bumi sebagai tempatnya berpijak dan Sang Maha Pencipta. Juga menjadi sarana warga untuk terus membangun dusunnya menjadi kampung yang mandiri berdaulat setidaknya dalam hal mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari.

(Sodong Lestari/ Dusunku Sekolahku)

 [caption caption="Adorasi Alam Lestari"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun