Wayang Sayur –adalah seni pertunjukan wayang yang menggunakan karakter sayuran. Sedangkan karakter yang dilakonkan bisa merupakan karakter manusia maupun karakter tumbuh-tumbuhan itu sendiri. Pengembangan seni pertunjukan Wayang Sayur ini menggunakan prinsip-prinsip yang ada dalam pertunjukan wayang seperti pada umumnya, dengan versi yang lebih sederhana. Awal mula pengembangannya terinspirasi dari pertunjukan ‘Wayang Kancil’ Ki Ledjar dari Jogjakata yang menggunakan karakter hewan.
Mengapa wayang dianggap strategis menjadi bagian dari media pendidikan anak-anak di Sanggar? Wayang adalah seni pertunjukan yang mencakup berbagai unsur kesenian yaitu meliputi seni suara, seni sastra, seni musik, seni tutur, seni rupa, dan lain-lain. Pertunjukan wayang diharapkan dapat mengakomodasi pengembangan berbagai potensi anak yang berbeda-beda. Selain itu, kesenian menjadi bagian penting dalam kegiatan di Sanggar Anak karena ‘seni’ merupakan ruang ekspresi yang terbuka, netral - tanpa kotak-kotak, bisa merangkul berbagai pihak tanpa mempedulikan latar belakang kepercayaan, usia, jender dan kelas sosial. Dengan demikian diharapkan Sanggar Anak dapat menjadi ‘ruang terbuka’ bagi semua anak untuk bertumbuh dan berkembang bersama-sama seuai dengan lingkungan sosialnya. Seni juga dapat dipakai untuk mengembangkan berbagai kemampuan, seperti kemampuan berkomunikasi, berpendapat, melatih kepercayaan diri, membangun kebersamaan, mempelajari kebudayaan dan lain-lain. Di samping itu kesenian juga dapat menjadi sarana untuk membangun kesadaran kritis, menyampaikan kritik sosial dan membangun gerakan pembangunan.
Mengapa Wayang Sayur? Hal ini jelas, melalui pertunjukan wayang sayur diharapkan terjadi kesadaran kritis bagi anak-anak sejak dini, mulai dari hal-hal praktis untuk mencintai makanan berbahan sayur-sayuran, hingga membangun karakter hidup hirau hijau untuk terlibat melakukan upaya kelestarian alam mulai dari hal-hal yang sederhana, juga lebih mengenal dan memiliki hubungan yang dekat dengan Sang Pencipta. Selain itu pertunjukan wayang sayur juga menjadi sarana pembelajaran bagi orang dewasa untuk membangun kesadaran Kritis, seperti melakukan refleksi terhadap berbagai persoalan kelestarian alam, membangun gerakan untuk kembali pada sistem pertanian yang lebih ramah alam-sesama dan berkelanjutan, hingga membangun gerakan untuk menyuarakan berbagai keprihatinan terkait dengan pertanian kepada pihak-pihak terkait.
Menjadi Generasi Berbeda
Di jaman ini, orang dewasa dan anak-anak muda sama bingungnya menghadapi berbagai tuntutan perubahan, yang lebih banyak bermuara pada pencarian kenikmatan (material). Pemujaan terhadap materi telah menggiring manusia mengorbankan atau kehilangan berbagai kemampuan kemanusiaannya seperti: berpikir kritis kreatif, memecahkan masalah, mengendalikan emosi, memelihara kejujuran, tanggung-jawab, empati, menjaga orang lain, memelihara alam, ‘eling’ pada Yang Maha Kuasa, dan sebagainya.
Revolusi digital sebagai salah satu hasil penting “kemajuan”, selain membawa berbagai manfaat positif yang berguna bagi peradaban, juga menghadirkan fenomena mengkawatirkan yang mendukung menurunnya perkembangan berbagai kemampuan manusia di atas. Contoh yang sangat marak: internet dan gadget – telah menghadirkan dunia virtual yang dapat diakses kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja. Mulai dari berbelanja, bermain, belajar, berbisnis, pertemuan, menjalin hubungan sosial dan lain-lain hadir secara ‘on line’, tak perlu beranjak.
Ini memang memudahkan, tapi di sisi lain telah mengurangi hubungan manusia dengan dunia realitas, dengan alam sekitarnya. Bayangkan saja anak-anak kita yang setiap saat bermain dengan fasilitas itu. Mereka memang bisa asyik menikmati kegembiraan, berinteraksi dengan berbagai obyek dan karakter, tetapi kesemuanya maya. Itu tidak berbau, tidak bisa disentuh, tak terasa teksturnya, rasa dingin dan hangatnya, tak bisa berbagi emosi dan lain-lain. Mereka hanya bisa dilihat dan didengar. Stimulasi untuk perkembangan panca indera menjadi terbatas. Padahal panca indera merupakan pintu gerbang bagi proses perkembangan berbagai kemampuan manusia. Saking asyiknya anak-anak juga kehilangan kesempatan untuk melakukan berbagai kegiatan positif, padahal ‘berkegiatan’ adalah sarana penting untuk belajar berbagai keterampilan hidup.
Bagaimana menemukan jalan kembali? Sanggar Anak, Lahan Pertanian dan Wayang Sayur (atau bentuk kesenian lain yang berkembang selanjudnya) dapat menjadi salah satu alternatif untuk melakukan pendidikan anak secara ‘’berbeda’. Melalui berbagai kegiatan praktis kehidupan keseharian, bercocok tanam, mempelajari kebudayaan, menelisik kembali tradisi nenek moyang, bermain di alam dan lain-lain diharapkan dapat mencelupkan anak pada pengalaman-pengalaman konkrit yang dapat menstimulasi berbagai inderanya. Dan selanjudnya diharapkan anak dapat menyerap dan mengembangkan berbagai kemampuan kemanusiaannya, seperti kejujuran, bersikap adil, bertanggungjawab, memiliki daya juang, peduli sekelilingnya, kreatif memecahkan masalah, menemukan hal-hal baru dan lain-lain.
Kiranya Sanggar Anak dengan Wayang Sayurnya yang biasa manggung di panggung hidup - Lahan Pembelajaran Pertanian Selaras Alam ini sungguh menjadi tempat tumbuh kembang bagi anak-anak menuju generasi yang berbeda, generasi yang menyayangi sesama, bumi sebagai tempatnya berpijak dan Sang Maha Pencipta. Juga menjadi sarana warga untuk terus membangun dusunnya menjadi kampung yang mandiri berdaulat setidaknya dalam hal mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari.
(Sodong Lestari/ Dusunku Sekolahku)
[caption caption="Adorasi Alam Lestari"]