Selain keinginan untuk kekuasaan, dorongan untuk memperoleh kekayaan dan pengaruh juga memainkan peran signifikan dalam konteks korupsi. Ego, sebagai struktur kepribadian yang berfungsi untuk mengakomodasi realitas dan menjembatani antara id dan superego, dapat memotivasi individu untuk mencari cara-cara yang dianggap rasional atau dapat diterima oleh masyarakat untuk mencapai tujuan material dan status. Dalam hal ini, konflik batin dapat timbul ketika individu merasa tergoda untuk melanggar norma sosial demi mencapai ambisi pribadi mereka, dan ego berjuang untuk menyeimbangkan ketegangan tersebut.
   Superego, sebagai penjaga norma-norma moral dan etika, seharusnya menjadi penyeimbang untuk mencegah perilaku yang tidak etis. Namun, ketika superego lemah atau terkendala, individu dapat mengabaikan norma-norma moral, membenarkan tindakan korupsi sebagai cara untuk mencapai tujuan mereka. Keseluruhan dinamika ini menciptakan landasan psikologis yang dapat memahami mengapa beberapa individu cenderung terlibat dalam perilaku koruptif, walaupun menyadari konsekuensi sosial dan hukumnya (Sutawijaya, 2020).
   Freud juga mengemukakan bahwa pengalaman masa lalu dan konflik batin dari tahap perkembangan individu dapat memengaruhi perilaku dewasa. Misalnya, pengalaman traumatis atau konflik selama masa kanak-kanak dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam struktur kepribadian, meningkatkan rentanitas terhadap perilaku koruptif di masa dewasa. Ketidakstabilan emosional dan kebutuhan untuk memenuhi kekurangan psikologis yang timbul dari pengalaman masa lalu dapat menjadi faktor pendorong individu untuk mencari pengakuan atau kompensasi melalui keterlibatan dalam kegiatan korupsi.
   Pentingnya konteks sosial dan lingkungan juga dapat dijelaskan melalui lensa Freudian. Individu cenderung membentuk identitas dan perilaku mereka sebagai respons terhadap tekanan dan tuntutan masyarakat di sekitarnya. Dalam lingkungan yang mempertontonkan toleransi terhadap perilaku koruptif atau bahkan memberikan ganjaran positif atasnya, individu dapat merespon dengan menginternalisasi norma-norma sosial tersebut. Dengan demikian, budaya dan struktur sosial yang memfasilitasi korupsi dapat menjadi faktor eksternal yang berinteraksi dengan faktor psikologis internal, menciptakan kondisi yang mendukung penyebaran perilaku koruptif dalam masyarakat.
   Melalui pemahaman ini, strategi pencegahan dan rehabilitasi korupsi dapat menggabungkan pendekatan psikologis dengan intervensi sosial. Program pendidikan dan kesejahteraan mental yang menyasar tahap-tahap perkembangan kritis dapat membantu mencegah pembentukan pola perilaku koruptif. Selain itu, perubahan norma sosial dan lingkungan yang mendukung integritas dan etika dapat memberikan tekanan positif yang membantu individu menyeimbangkan konflik batin mereka. Dengan demikian, pendekatan yang holistik dan terintegrasi menjadi kunci untuk mengatasi akar penyebab psikologis dan sosial dari fenomena kejahatan korupsi (Lopa, 2001).
   Pemahaman fenomena kejahatan korupsi melalui prisma ketidaksetaraan sosial dan teori konflik Freudian memberikan wawasan mendalam tentang dinamika yang mendasarinya. Ketidaksetaraan sosial, terutama dalam hal ekonomi, seringkali menjadi pemicu utama munculnya perilaku koruptif. Dalam konteks ketidaksetaraan, individu atau kelompok yang merasa terpinggirkan atau tidak memiliki akses yang setara terhadap sumber daya dapat merasa terdorong untuk mencari cara-cara tidak konvensional, seperti tindakan korupsi, untuk memperbaiki kondisi hidup mereka. Fenomena ini mencerminkan teori konflik Freudian di mana konflik antara kelompok berkuasa dan kelompok yang kurang beruntung dapat menghasilkan perilaku yang bertentangan dengan norma-norma sosial.
   Teori konflik Freudian juga memandang ketidaksetaraan sosial sebagai sumber konflik batin individu. Dorongan untuk meraih kekuasaan dan kekayaan sebagai respons terhadap konflik batin dapat menjadi bentuk protes atau cara individu menyelaraskan keinginan pribadi dengan ketidaksetaraan yang mereka alami. Fenomena ini menciptakan lingkungan psikologis yang mendukung praktik korupsi sebagai mekanisme pencapaian tujuan pribadi. Melalui analisis ini, kita dapat memahami bahwa tindakan korupsi bukan hanya akibat keinginan individu untuk memperoleh keuntungan, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh ketidaksetaraan sosial yang mendasar.
   Pentingnya memahami dan mengatasi ketidaksetaraan sosial sebagai akar penyebab korupsi dapat membimbing perancangan kebijakan dan intervensi yang lebih efektif. Langkah-langkah untuk meningkatkan distribusi kekayaan, memperbaiki akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, serta merumuskan kebijakan anti-diskriminasi dapat membantu mengurangi motivasi individu untuk terlibat dalam tindakan korupsi. Selain itu, pendekatan yang menggabungkan analisis psikologis Freudian dengan teori konflik sosial dapat memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami dan mengatasi kompleksitas fenomena kejahatan korupsi dalam masyarakat.
   Teori konflik Freudian memberikan pandangan yang mendalam terhadap dinamika sosial dan ekonomi yang dapat memicu praktik-praktik korupsi sebagai bentuk protes atau upaya memperoleh keadilan. Pertama-tama, konsep konflik batin antara kelompok berkuasa dan kelompok yang kurang beruntung memainkan peran sentral dalam pemahaman ini. Freud berpendapat bahwa ketidaksetaraan ekonomi dan sosial dapat menciptakan ketegangan internal pada individu yang merasa dirugikan oleh sistem yang tidak merata. Konflik batin ini kemudian dapat menjadi daya pendorong untuk melawan status quo, dan korupsi mungkin dianggap sebagai alat untuk mencapai keseimbangan atau keadilan yang dianggap hilang.
   Dalam konteks ini, konsep protes sebagai motivasi untuk terlibat dalam korupsi menarik perhatian. Individu atau kelompok yang merasa marginal atau diabaikan oleh struktur sosial dan ekonomi dapat melihat tindakan korupsi sebagai cara untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka. Dengan menyalahi norma-norma sosial yang ada, mereka mungkin percaya bahwa tindakan korupsi adalah langkah yang diperlukan untuk menegakkan keadilan atau mendapatkan bagian dari sumber daya yang seharusnya mereka miliki. Dalam konteks ini, praktik korupsi dapat dianggap sebagai bentuk protes atau resistensi terhadap ketidaksetaraan ekonomi yang mengakar dalam teori konflik Freudian.
   Namun, perlu diperhatikan bahwa paham ini tidak menggambarkan korupsi sebagai solusi yang efektif atau etis. Sebaliknya, konflik batin yang melibatkan ketidaksetaraan dapat menciptakan perasaan frustasi dan kemarahan, tetapi solusi untuk mengatasi masalah ini harus dicari melalui jalur yang sah dan etis. Mempahami keterlibatan individu dalam korupsi sebagai bentuk protes mendorong kita untuk merenungkan lebih dalam tentang akar penyebab ketidaksetaraan sosial dan mencari cara-cara yang lebih konstruktif dan adil untuk merespons ketidakpuasan masyarakat (Sutawijaya, 2020)