“Tembagapura (Mile 68) PT. Freeport (USA teritory?)”
Kurang lebih itulah caption yang tertulis di situs peta wikimapia saat mencoba mencari tahu lokasi dan foto satelit kota Tembagapura. Lengkap dengan caci maki dan komentar miring yang bisa kita lihat di link berikut ini: wikimapia.org
Sebuah prasangka yang sebenarnya sangat wajar muncul di masyarakat Indonesia karena memang kota Tembagapura ini tampak begitu misterius dan tertutup. Bukan hanya sekedar informasi citra satelit yang sangat rendah resolusinya, sangat berbeda dengan Kota Kuala kencana yang sama-sama dibangun oleh PT Freeport Indonesia yang begitu jelas detailnya, untuk akses ke Tembagapura pun tampak begitu sulit. Baik ijin masuk mau pun transportasi menuju lokasinya.
Jika cuaca cerah, sebuah chopper—sebuah sebutan untuk pesawat helikopter penduduk setempat, bisa membawa kita dari bandara Mozes Kalangin, Timika ke bandara Aing Bungin, Tembagapura hanya dengan waktu 20 menit saja. Namun jika cuaca sedang berkabut atau buruk, silahkan naik bus dari Terminal Gorong-gorong, Timika dalam waktu tempuh sekitar 3 jam perjalanan.
Bus ini pun jangan dibayangkan seperti layaknya bus yang biasa kita lihat di jalanan. Bus versi tambang Freeport ini adalah modifikasi dari truk IVECO berpengerak 4 roda buatan Italia dengan bagian belakang berupa kotak berwarna oranye yang diberi tempat duduk dan jendelanya ditutupi plat anti peluru. Jadi selama perjalanan kita tidak bisa melihat pemandangan disekitar perjalanan.
Jika penasaran ingin mengintip, silahkan terhuyung-huyung mengikuti gerak bus yang melintasi jalanan bergelombang, berkelok tajam dan kadang mendaki terjal. Saya pun pernah mencoba melakukan ini, lumayan, satu dua kali kepala terbentur plat baja karena adanya goncangan yang tiba-tiba.
Sudah begitu, sesampainya di Tembagapura—muncul keterkejutan lainnya.
Kotanya tampak tertata rapi. Bangunannya hampir semuanya berkonsep dan ber-design identik. Setidaknya pada warna yang serupa. Bahkan untuk non bus seperti jip Land Cruiser atau Pick-up double cabin, semua kendaraan warnanya putih. Yang membedakan hanya nomer lambung kendaraan serta kodefikasi divisi PT Freeport-nya.
Fasilitas yang ada dalam kota ini pun begitu lengkapnya. Di terminal bus, ternyata menyatu dengan pertokoan yang mirip mall. Di dalamnya terdapat swalayan Hero, salon Rudy Hadisuwarno, café, apotik dan lain sebagainya.
Di lokasi yang lain juga terdapat rumah sakit, sekolah SD dan SMP, lapangan sepakbola dengan rumput sintetis, Sporthall, Masjid, Gereja dan kantin karyawan yang konsep nya mirip restoran di hotel berbintang di kota-kota besar.
Aturan dan tata tertib kotanya pun sangat ketat. Contohnya jika ada kendaraan non bus berada dibelakang bus, maka kendaraan tersebut tidak boleh mendahului bus tersebut. Bahkan ketika bus berhenti, dibelakangnya juga harus berhenti. Tidak boleh mendahului, kecuali pada titik-titik tertentu. Serta yang paling kentara, selain bus dan kendaraan jip—tidak satu pun sepeda genjot atau sepeda motor terlihat disana. Pilihannya jalan kaki atau naik bus/jip.
Tak heran juga jika pernah seorang rekan kantor yang pernah memasang perangkat VSAT disana mengatakan jika kota ini seperti bukan Indonesia saja. Seperti di luar negeri. Seperti negara sendiri. Pfff…
Hampir saja saya sependapat dengan statement ini, apalagi secara fisik memang “kota” ini tampak berbeda dibanding kota-kota yang lazim saya temui di Indonesia. Hingga akhirnya pada suatu malam, saat mengunjungi salah satu asrama sekolah untuk anak-anak Papua suku Amungme dan Komaro, saya berkesempatan bertemu wakil pemerintah yaitu Camat Slamet Sutejo.
Dari pak Camat Slamet yang lulusan STPDN inilah saya akhirnya bisa mendapat gambaran yang lebih jelas perihal kota ini. Memang harus diakui, kehadiran pemerintah Indonesia sangat terlambat. Kecamatan Tembagapura baru ada sekitar tahun 2002. Bahkan Kabupaten Mimika yang ber-Ibukota di Timika sendiri juga secara administratif berdiri tahun 1996 dan menjadi kabupaten otonom tahun 1999.
Sedangkan Tembagapura berdiri tahun 1972 . Dimana waktu itu, masih masuk dalam wilayah Kabupaten Fak-fak dan Mimika saat itu masih berupa kecamatan. Jadi boleh dibilang jika Kabupaten Mimika terlahir dan besar sejalan dengan hadirnya kontrak karya antara pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia.
Dari sisi PT Freeport sendiri, menurut catatan George A. Mealy dalam buku “Grasberg” menyatakan bahwa Tembagapura sejatinya bukanlah “kota” dalam artian kota dalam konsep kepemerintahan (government).
Tembagapura, adalah sebuah titik yang berada di ketinggian 2000 meter yang berfungsi sebagai lokasi pendaratan chopper dan pertemuan pembangunan akses tambang dari atas gunung dan pantai serta tempat tinggal bagi pekerja tambang ini kelak.
Karena tidak mungkin para pekerja tinggal pada lokasi gunung erstberg yang berada pada ketinggian 4200 an meter. Lapisan oksigen yang tipis tidak layak dijadikan tempat tinggal manusia untuk jangka waktu yang lama.
Kondisi alam pun sangat sulit. Kabut dan awan yang sangat mudah berubah membuat pilot chopper harus melakukan VFR (Visual Flight Rules) atau terbang dengan penglihatan mata. Sehingga jika mendadak muncul kabut, chopper harus segera mencari tempat mendarat. Sedangkan saat itu, mencari landasan keras sangat sulit karena kebanyakann lokasi berupa tanah gambut atau rawa-rawa.
Keputusan menjadikan lokasi berketinggian 2000 meter sebagai tempat tinggal pekerja tambang ini juga berdasarkan pada pengalaman Balfour Danell, seorang ahli bor tanah yang diperkerjakan Forbes Wilson, direktur Freeport awal sebelum digantikan Ali Budiarjo yang pernah tinggal lama di daerah tropis dengan berbagai macam jenis ketinggian.
Menurut Danell, pada suhu udara di daerah katulistiwa tergantung ketinggian lokasinya. Semakin rendah maka semakin panas, sebaliknya semakin tinggi akan semakin dingin. Sedangkan lokasi antara 1800 sampai dengan 2000 meter akan terasa seperti musim semi di eropa sepanjang tahun.
Dan kebetulan, titik 2000 meter ini adalah titik tanjakan drastis menuju lokasi tambang. Waktu dan energi pembuatan jalur akses dari puncak Erstberg ke Tembagapura atau dari pantai ke Tembagapura adalah sama. Walaupun dari pantai, jaraknya jauh lebih jauh.
Kemudian, saya juga baru mengetahui jika kesan tertutup kota ini ternyata memang hasil perintah pemerintah Indonesia. Melalui KEPMEN yang disalah satu pasalnya memang membahas soal larangan memasuki daerah usaha pertambangan tanpa izin. Ooo…
Itu pun, faktanya saya masih sempat melihat warga sekitar Tembaga yang masih bebas hilir mudik dikota ini. Bahkan beberapa kali saya bertemu banyak warga suku sekitar Tembagapura hilir mudik saat membeli jajanan di salah satu swalayan di Tembagapura. Jadi kalau dibilang tertutup sekali, ya rasanya enggak juga sih…
Namun, namanya juga “kota” asrama pekerja tambang yang masih merupakan lokasi kontrak karya, maka kedisiplinan terhadap keselamatan kerja adalah hal yang sangat mandatory atau wajib. Jangankan berkerja tanpa memakai safety gear, urusan sederhana seperti berdiri didalam bus saja tidak boleh. Ya, memang selain isyu lingkungan hidup, isyu keselamatan kerja adalah momok paling menakutkan bagi perusahaan tambang, khususnya Freeport ini sendiri.
Bahkan ada kejadian yang sempat membuat saya begitu “kheki”, antara kesal dan geli sendiri saat suatu malam saya janjian bertemu di mess dengan seorang sahabat lama saat sekolah yang menjadi salah satu manager di perusahaan ini. Saat itu, usai temu kangen karena sudah belasan tahun tidak bertemu—ia pamit pulang untuk kembali ke mess nya yang sebenarnya tidak terlalu jauh.
Ketika ia sudah dibawah, terdengar suara klakson tiga kali “din-din-din”! Saya pun beranjak melongok ke bawah. (saya di lantai 5) dan dengan senyum lebar dan melambaikan tangan ke arahnya. Usai kendaraan itu mundur dan hendak jalan maju kedepan, terdengar suara klaksin dua kali “din-din”. Saya pun semakin bersemangat melambaikan tangan.
Namun herannya, dari kejauhan tidak nampak ia membalas lambaian tangan saya. Menjauh, lalu menghilang dari pandangan.
Lalu pada beberapa hari kemudian, saat berkunjung ke Institut tambang Nemangkawi di Timika untuk mencoba simulator truk pengangkut hasil tambang—barulah saya terkejut! Ternyata memang ada prosedur wajib membunyikan klakson di area tambang dan sekitarnya.
Satu klakson saat menyalakan mesin mobil, dua klakson untuk maju dan tiga klakson untuk mundur. Jadi suara klakson dari mobil sohib saya tersebut bukan hendak menyapa pamitan, namun memang prosedur naik kendaraan di Tembagapura. Waduh! Saya ke-ge’er-an.
Kedisplinan dan perhatian yang sangat besar terhadap yang berhubungan dengan keselamatan kerja ini ternyata tidak selamanya menjadi hal yang positif. Khususnya saat berhubungan dengan kehaadiran dan fungsi pemerintah dalam wilayah kontrak karya ini.
Contohnya adalah respon perusahaan terhadap layanan kesehatan masyarakat sekitar area tambang. Khususnya pada suku Amungme yang tinggal di pegunungan atau perbukitan seperti desa Banti, Tsinga atau Arwanop.
Melalaui sistem komunikasi radio HT, jika ada warga yang sakit dan harus dirawat di rumah sakit Wa Banti atau Tembagapura, pihak rumah sakit biasanya mengirim chopper untuk terbang menjemput warga suku Amungme yang sakit tersebut. Dalam setahun, tercatat sedikitnya 60-an kali melakukan jemputan melalui helikopter ini.
Menurut pak Camat setempat, prosedur ini sebenarnya salah. Mosok hubungannya Corporate to Community langsung? Seharusnya pada level kesehatan dan pendidikan, peran pemerintah Indonesia harus lebih terlihat.
Pak Camat Slamet sendiri mengakui, terlambatnya kehadiran pemerintah Indonesia ini sendiri juga tidak lepas dari terlambatnya kabupaten dan kecamatan ini berdiri. Untuk berkoordinasi dengan pihak kabupaten Fak-fak tentu sangat jauh dan repot. Apalagi sudah lebih dari puluhan tahun hubungan langsung ini terjadi.
“Seharusnya peran pemerintah berada di depan Freeport, namun kami menyadari akan keterlambatan ini. Kami sekarang berusaha untuk, setidaknya, bersanding bersama dengan kegiatan Freeport. Bukan di belakang lagi.” Kata pak Camat menjelaskan.
Ya, memang jika tidak segera dimulai—sangat berbahaya atas “kemanjaan” dan ketergantungan warga sekitar terhadap Freeport. Bisa jadi, keberadaan pemerintah Indonesia dianggap tidak ada atau tidak diperlukan.
Tak heran, jika berada di Tembagapura atau kota Timika—logo “bintang kejora” begitu mudah kita temui. Baik berupa kaos, tas noken atau oleh-oleh lainnya di toko cinderamata.
Sampai-sampai, pak Camat saat pertama kali bertugas di Kecamatan Tembagapura sempat didatangi aktifis “pemerintah tandingan” waktu mengibarkan bendera Merah Putih di sekitar desa Banti yang berjarak 5 km dari Tembagapura.
Untung saja, pak Camat sangat diplomatis ketika ditanya mengenai pengibaran Merah Putih ini. Beliau menjawab “Bapak membuat organisasi untuk membangun daerah kan? Saya juga, pak. Mari sama-sama membangun daerah kita dengan cara kita masing-masing”.
Byuh!
Saya ikut tegang saat mendengar cerita beliau. Sekaligus terbersit rasa kagum atas usaha-usahanya untuk memulai menunjukan kehadiran pemerintah Indonesia secara nyata di sekitar lokasi tambang. Bukan sekedar berhitung pajak dan pemasukan dari bisnis ekplorasi ini. Agar kedepan, tidak ada lagi pertanyaan:
“Apakah Tembagapura wilayah teritorial Amerika?”
***
[Hazmi SRONDOL]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H