Jika melihat kembali ke masa lalu, posisi wanita itu benar-benar tidak menguntungkan. Dalam setiap aspek kehidupan, mereka tampak lemah dan menjadi warga negara kelas dua. Mereka berada dan terkekang di bawah bayang-bayang kekuatan para lelaki.
Di Indonesia sendiri keadaannya tidak jauh berbeda. Dulu, perempuan Indonesia bernasib sama dengan perempuan di belahan dunia lainnya.Â
Hal itu disebabkan oleh budaya patriarki di era kerajaan yang diwariskan turun temurun hingga hari ini, meninggalkan wanita tanpa hak atas hidup mereka sendiri.Â
Namun, nampaknya situasi itulah yang membuat kaum perempuan perlahan mulai bangkit dan menyusun kekuatan untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Hal tersebut juga menyebar ke aspek kehidupan lainnya, misalnya sastra.
Dalam sejarah sastra Indonesia akhirnya menorehkan beberapa penulis perempuan dalam periode-periodenya. Adapun ebagai berikut:
Periode 1933-1942, terdapat Sariamin Ismail atau yang lebih dikenal dengan Selasih atau Seleguri. Kemudian, ada juga Hamidah atau Fatimah H. Delais dengan romannya yang berjudul Kehilangan Mestika. Karya-karya tersebut menceritakan kisah pilu dan kesangsaran yang dialami penulis.Â
Selanjutnya, ada  Adlin Affandi dan Sa'adah Alim. Karya Sa'adah ini mengambil tema yang menentang adat. Misalnya, tentang pertemuan dan perceraian akhirnya dipertemukan kembali dengan keadaan bahagia.
Detik-detik kedatangan Jepang, kembali muncullah sosok Maria Amin yang pada saat itu menulis sajak di majalah Poedjangga Baroe. Yang melatar belaki Maria menulis sajak tersebut adalah kekecewaannya terhadap kehidupan sosial politik saat itu, kemudian ia menuangkan semua gagasan-gagasannya berbentuk simbolik berupa sajak.
Pada periode 50-an kembali muncullah nama-nama sastrawan-sastrawan perempuan Indonesia seperti Ida Nasution, Walujati (Supangat), S. Rukiah (Kertapati), St. Nuraini (Sani). Walujati dan St. Nuraini dikenal sebagi penyair, sedangkan  S. Rukiah selain dikenal sebagai penyair ia juga dikenal sebagai penulis prosa kala itu.
Periode selanjutnya ada N. H. Dini. Ia menulis karya berupa cerpen ang bertemakan keadaan sosial. Hingga periode tahun 1962 hingga 1970-an, pengarang perempuan mulai merambah dunia sastra Indonesia seperti Titis Basino, Sugiarti Siswadi, Erni Siswati Hutomo, Titie Said, Enny Sumargo, Rayani Sriwidodo, Mira W, Marga T, La Rose, dan masih banyak lagi.
Pada periode 1990-an hingga sekarang, semakin banyak lagi penulis perempuan yang muncul. Artinya, ruang gerak perempuan saat ini jauh lebih baik dibandingkan masa awal sastra Indonesia.Â