Jika kita membahas mengenai sejarah maka tidak bisa lepas dari keberadaan seorang tokoh. Begitpun sejarah sastra Indonesia, pasti pula di dibaliknya terdapat sastrawan-satrawan yang senantiasa memberi warna baru dalam setiap perjalannya. Mereka ada dan bermetamorfosis.
Proses panjang ini terus berlanjut hingga saat ini. Proses panjang apa yang telah ditempuh, tentu perlu kita ketahui. Secara kronologis, sastra Indonesia terbagi menjadi beberapa periode, dan karya sastra yang lahir dalam satu periode memiliki ciri khas yang membedakannya dengan periode lainnya.
Periode reformasi, contohnya memiliki beberapa ciri khas sebagai berikut:
1) isi karya sastra sesuai dengan situasi reformasi;
2) memiliki tema sosio-politik, romantis, naturalistik;
3) produktivitas karya sastra yang lebih luas, seperti puisi, cerpen, novel;
4) Disebut gaya Reformasi karena tahun 1998 merupakan puncak dari generasi 90-an;
5) Banyak penulis baru yang membawa angin baru bagi sastra Indonesia
Nah, setiap periode sastra akan hadirlah para sastrawan-satrawan yang membawa warna baru dan membuat ciri khas yang berbeda setiap waktunya. Sastrawan-sastrawan dari waktu ke waktu periode seperti M. Kasim, Sanusi Pane,Chairil Anwar, Taufik Ismail, Rendra, Wiji Thukul, Afrizal Malna, dll.
Sangat disayangkan memang, dalam perkembangannya sastra di Indonesia lebih didominasi oleh awak laki-laki. Pertanyaannya, mengapa penulis perempuan di awal periode sastra Indonesia sangat sedikit?Â
Padahal saat ini, kita telahlebih banyak menemukan beberapa sastrawan perempuan Indonesia yang lagi-lagi akan membawa warna baru dan perkembangan yang lebih baik lagi.
Jika melihat kembali ke masa lalu, posisi wanita itu benar-benar tidak menguntungkan. Dalam setiap aspek kehidupan, mereka tampak lemah dan menjadi warga negara kelas dua. Mereka berada dan terkekang di bawah bayang-bayang kekuatan para lelaki.
Di Indonesia sendiri keadaannya tidak jauh berbeda. Dulu, perempuan Indonesia bernasib sama dengan perempuan di belahan dunia lainnya.Â
Hal itu disebabkan oleh budaya patriarki di era kerajaan yang diwariskan turun temurun hingga hari ini, meninggalkan wanita tanpa hak atas hidup mereka sendiri.Â
Namun, nampaknya situasi itulah yang membuat kaum perempuan perlahan mulai bangkit dan menyusun kekuatan untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Hal tersebut juga menyebar ke aspek kehidupan lainnya, misalnya sastra.
Dalam sejarah sastra Indonesia akhirnya menorehkan beberapa penulis perempuan dalam periode-periodenya. Adapun ebagai berikut:
Periode 1933-1942, terdapat Sariamin Ismail atau yang lebih dikenal dengan Selasih atau Seleguri. Kemudian, ada juga Hamidah atau Fatimah H. Delais dengan romannya yang berjudul Kehilangan Mestika. Karya-karya tersebut menceritakan kisah pilu dan kesangsaran yang dialami penulis.Â
Selanjutnya, ada  Adlin Affandi dan Sa'adah Alim. Karya Sa'adah ini mengambil tema yang menentang adat. Misalnya, tentang pertemuan dan perceraian akhirnya dipertemukan kembali dengan keadaan bahagia.
Detik-detik kedatangan Jepang, kembali muncullah sosok Maria Amin yang pada saat itu menulis sajak di majalah Poedjangga Baroe. Yang melatar belaki Maria menulis sajak tersebut adalah kekecewaannya terhadap kehidupan sosial politik saat itu, kemudian ia menuangkan semua gagasan-gagasannya berbentuk simbolik berupa sajak.
Pada periode 50-an kembali muncullah nama-nama sastrawan-sastrawan perempuan Indonesia seperti Ida Nasution, Walujati (Supangat), S. Rukiah (Kertapati), St. Nuraini (Sani). Walujati dan St. Nuraini dikenal sebagi penyair, sedangkan  S. Rukiah selain dikenal sebagai penyair ia juga dikenal sebagai penulis prosa kala itu.
Periode selanjutnya ada N. H. Dini. Ia menulis karya berupa cerpen ang bertemakan keadaan sosial. Hingga periode tahun 1962 hingga 1970-an, pengarang perempuan mulai merambah dunia sastra Indonesia seperti Titis Basino, Sugiarti Siswadi, Erni Siswati Hutomo, Titie Said, Enny Sumargo, Rayani Sriwidodo, Mira W, Marga T, La Rose, dan masih banyak lagi.
Pada periode 1990-an hingga sekarang, semakin banyak lagi penulis perempuan yang muncul. Artinya, ruang gerak perempuan saat ini jauh lebih baik dibandingkan masa awal sastra Indonesia.Â
Nama-nama yang muncul diantaranya adalah Dorothea Rosa Herliany, Nenden Lilis Aisyah, Ayu Utami, Helvy Tiana Rosa, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu, Asma Nadia, Fira Basuki, Ana Maryam, Ratih Kumala, Dewi Sartika, Ani Sekarningsih.Â
Tema cerita yang diangkat juga bervariasi. Misalnya, selama tahun 1990-an, perubahan estetika sastra telah berubah sejak keberadaan novel Saman karya Ayu Utami.
Jadi, keterbatasan hak yang dulu dimiliki perempuan Indonesia untuk mengekspresikan pandangannya kini telah terungkap. Perempuan yang dulu diremehkan dan hanya bekerja sebagai objek kini memilih menjadi penggerak perubahan. Penulis wanita sekarang bebas untuk merefleksikan pemikiran mereka.
Dan saat ini, seiring perkembangan zaman dan gaya hidup, arah menulis pun ikut berubah. Sastra adalah cerminan zaman. Pepatah itu memang benar adanya.Â
Jika ingin mengetahui keadaan seseorang atau masyarakat, lihatlah bagaimana karya sastra di tengah-tengah masyarakat itu. Semakin baik keadaan masyarakat, semakin baik pula karya sastranya. Begitu pun sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H