Tidak hanya menyimpan keindahan, tempat ini juga menyimpan sejarah---prasasti batu bertuliskan aksara Thai menjadi saksi kehadiran Raja Chulalongkorn dari Thailand pada akhir abad ke-19.
Seperti Natal yang merayakan kasih, prasasti ini mengingatkan bahwa pertemuan budaya adalah harmoni yang patut dirayakan.
Namun, perjalanan ke dasar Curug Dago menuntut "kaki yang utuh". Anak tangga yang terlalu tinggi, licin dan curam memberikan tantangan fisik yang nyata. Lutut saya mulai terasa berdenyut,tetapi semangat itu memulihkan---memberikan energi untuk terus melangkah.
Melintasi Kampung Padi Dago, Pesantren dan Kampung Tjibarani
Dari Curug Dago, kami melanjutkan perjalanan menuju Kampung Tjibarani, melewati Kampung Padi Dago.
Udara di sini masih terasa segar, seperti doa-doa pagi yang memenuhi ruang-ruang langit.
Di Hari Natal ini, kampung kecil ini memberikan kesan.
Anak-anak bersenda gurau, bermain sepeda sambil tertawa ceria, anak-anak berlarian di antara pekarangan rumah, tertawa riang tanpa gadget di tangan mereka. Sebuah perayaan harmoni antara manusia dan alam.
Jalanan yang lengang, bersih dan dipenuhi dengan pohon-pohon hijau yang tertata rapi bergoyang lembut ditiup angin, menari seperti kidung pujian di gereja.
Perjalanan kami berlanjut, melewati perkampungan kecil.
Di sini, ayam dan bebek bebas berkeliaran di halaman rumah, sesekali melintas di jalanan yang kami lalui.