membasahi dinding juga membasahi atap seng yang meringis pedih.
Aku termangu, terperangah seperti berada di suatu senja yang tembaga ,
yang kemudian menyusut lalu melenyapkanku.
Kemudian datanglah sebuah layang-layang menghampiriku.
Matanya berkaca-kaca, dia tertunduk di hadapanku.
“Maafkan aku Ibu, aku telah bersalah mengajaknya bermain terlalu tinggi, sehingga dia jatuh tak seimbang diri”.
Aku mencengkram kerah bajunya kuat kuat sambil menahan amarah dalam gemerisik bunyi geligi yang beradu.
Layang-layang itu kemudian berkata lagi,
“Tapi sebelum jatuh dia sangat bahagia bersamaku Bu, dia bernyanyi-nyanyi riang mengajakku terbang jauh ke awan”.
“Dia bilang, Ibunya tak pernah membuatnya sebahagia ini, bisa melanglang langit tanpa batas.
Ibuku penuh aturan tak memberikan kebebasan tak berbatas seperti bermain denganmu”.
Perlahan-lahan, aku melonggarkan cengkraman di leher bajunya.