Mohon tunggu...
Sri Sutrianti
Sri Sutrianti Mohon Tunggu... Guru - Guru IPA SMP

tertarik belajar menulis sebagai upaya ekspresif terapi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Layang-layang

11 Juni 2024   16:48 Diperbarui: 11 Juni 2024   16:57 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
langit cerah dan biru. Dokumentasi pribadi

Lihatlah hai kawanku, di angkasa yang biru, 

gerak kanan dan kiri ditiup angin lalu...

Suara nyanyian  anakku terdengar dari atas, sayup-sayup terbawa anginlalu  yang menderu. 

Suara itu tiba-tiba terhenti, tak lama kemudian terdengar  suara benda jatuh yang sangat keras seperti Guntur yang jatuh. 

Tak lama berselang terdengar lengkingan teriakan memerih memanggilku,”Ibuuuuu”!


Aku tersentak, lengkingan suaranya kemudian menghilang, tak terdengar. 

Aku membayangkan anakku terjatuh dari atas  langit menghantam angin dan terlempar lagi ke atas awan . 

Tubuhnya terkoyak, robek-robek dan retak. 

Aku berlari  melesat secepat  cahaya ke bawah, kemudian melesat kembali lagi ke atas. 

Dan aku tak tahu harus kemana berlari lagi?
Tiba-tiba  anakku menjelma di hadapan dengan darah pada baju , 

darah pada celana,  darah yang memancar deras dari lengan membasahi lantai, 

membasahi  dinding juga membasahi atap seng yang meringis pedih. 

Aku termangu, terperangah seperti berada di suatu senja yang tembaga , 

yang kemudian menyusut  lalu melenyapkanku.
Kemudian datanglah sebuah  layang-layang  menghampiriku. 

Matanya berkaca-kaca,  dia tertunduk di hadapanku. 

Maafkan aku Ibu, aku telah bersalah mengajaknya bermain terlalu tinggi, sehingga dia jatuh tak seimbang diri”. 

Aku mencengkram kerah bajunya kuat kuat sambil menahan amarah dalam gemerisik bunyi geligi yang beradu. 

Layang-layang itu kemudian berkata lagi, 

Tapi sebelum jatuh dia sangat bahagia bersamaku Bu, dia bernyanyi-nyanyi riang mengajakku terbang jauh ke awan”. 

“Dia bilang, Ibunya tak pernah membuatnya sebahagia ini,  bisa melanglang langit tanpa batas. 

Ibuku penuh aturan tak memberikan kebebasan tak berbatas seperti bermain denganmu”.


Perlahan-lahan, aku melonggarkan cengkraman di leher bajunya. 

Dalam getar suara parau dan pelan aku berkata: 

Seorang Ibu itu,  ingin anak lelaki yang dilahirkan dengan penuh cinta itu  menjadi seorang pemberani, tapi ketika anaknya menjadi sangat pemberani ibunya menjadi penakut. Ingin anak lelakinya keras seperti karang tetapi ketika anaknya terlampau keras Ibu akan melunakkanya  dengan kasih".


Tiba-tiba telepon bergetar, aku lepaskan cengkraman di leher baju layang-layang. 

Kuangkat dan kudekatkan  telepon di telinga kananku. 

Dari seberang sana terdengar suara kecil anakku itu berkata: 

Ibu, temani aku malam ini ya, aku ingin tidur dalam kehangatan pelukan Ibu. Aku ingin merasakan lembutnya elusan tangan dan merdunya suara dongengan Ibu sebelum aku tertidur”.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun