"Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan Hari Musik Nasional."
Kami harus segera pindah, rumah ini harus dikosongkan dalam 3 hari ini. Hal ini membuat aku dan Mas Marto , suamiku kalang kabut. Karena kami belum mempunyai tempat yang memadai untuk  menjadi tempat tinggal  sementara.
Kami memang akan pindah ke luar pulau, namun masih sebulan lagi. Karena Mas Marto mendapat pekerjaan baru di Kalimantan. Sedangkan rumah ini, Â yang menjadi sengketa keluarga besar Bapak. Â Ternyata sudah terjual sebulan yang lalu. Kemarin pembeli sudah datang kesini dan hanya memberi waktu 3 hari kepada kami untuk segera pindah.
Mungkin kalau tidak mempunyai barang sebanyak ini, aku tidak perlu susah payah. Sebenarnya sih, bukan barang-barang kami pribadi. Tapi lebih banyak barang-barang peninggalan Almarhum ibu bapakku. Yang semua bernilai sejarah bagi keluarga kami.
Setelah semua kakakku menikah dan mempunyai rumah sendiri, mereka tidak ada yang mau membawa serta barang-barang itu. Walaupun mempunyai nilai jual karena termasuk barang kuno, namun bapak ibu dulu sudah berpesan agar jangan menjualnya. Termasuk diantaranya seperangkat gamelan, alat musik tradisional Jawa yang menjadi kebanggaan bapak pada waktu itu.
Kami bisa saja kontrak sementara sebelum pindah ke Kalimantan. Yang menjadi beban pikiranku adalah seperangkat gamelan, peninggalan Almarhum bapak. Dimana aku harus menyimpan.
Karena untuk barang-barang lain seperti almari kuno, meja-kursi dan ranjang kayu tua sesuai kesepakatan akhirnya dibawa kakak-kakakku satu per satu. Namun tidak untuk seperangkat gamelan ini. Karena dulu bapak sudah mewanti-wanti agar jangan sampai menjual gamelan ini yang mewariskan kepadaku.
Masih ada waktu dua hari untuk memikirkan, bagaimana gamelan ini akan disimpan. Kami sudah bernego salah satu sekolahan SMP yang letaknya tidak jauh dari rumah ini.
" Maaf Bu, kami tidak mempunyai tempat untuk menyimpan. Dan kami juga tidak mempunyai guru yang bisa memakai dan mengajarkan gamelan ini pada siswa," Â begitu penolakan halus Kepala Sekolah waktu aku temui kemarin.
Aku akhirnya mendatangi sebuah sanggar tari, yang ada di kota kami. Namun jawabannya sama saja.
"Kami sudah punya sendiri seperangkat gamelan yang masih baru, Bu..."  Kata pengurusnya. "Kami tidak mempunyai tempat untuk menaruh kalau ada seperangkat gamelan lagi, karena  hanya beberapa orang saja yang mau belajar menabuh gamelan. Jadi secara hitungan ekonomi kami rugi kalau menambah gamelan lagi."
Sudah sebulan ini saya berkeliling dari sekolah ke sekolah, sanggar-sanggar seni dan juga komunitas pecinta kebudayaan. Namun hasilnya nihil. Padahal kami tidak akan menjualnya, hanya menitipkan dan silakan dipergunakan.
Rupanya sudah sulit menemukan orang yang bener-bener mencintai kesenian Jawa, khususnya memainkan gamelan.
****
Malam ini menjadi  malam terakhir kami tinggal disini, sebagian barang-barang sudah dipindah ke rumah kontrakan yang baru. Hanya tinggal gamelan dan barang-barang di kamarku yang belum terangkut.
Mataku tak bisa terpejam, rasanya aku tidak rela meninggalkan rumah tempat aku lahir, tumbuh dan menikah disini. Seribu kenangan tersimpan di rumah ini. Memang rumah ini sudah dibilang tidak laik huni, banyak kayu, jendela, pintu yang sudah lapuk. Beberapa genting di bagian belakang juga sudah lepas, kalau hujan air membanjiri ruang belakang rumah ini.
Dulu pada waktu aku masih kecil, rumah ini termasuk yang bagus diantara rumah tetangga kami. Sudah berdinding tembok dengan lantai ubin yang  hitam berkilau, dan berjendela lebar. Bahkan bagian depan yang knockdown dari kayu, jadi bisa dilepas bila sedang ada hajatan atau perkumpulan di rumah kami. Karena rumah kami termasuk paling luas halamannya di kampung ini, hampir segala macam kegiatan di kampung sering diadakan di rumah ini.
Selain menjadi perangkat desa,  bapak  mengajar kerawitan ( memainkan alat musik  tradisional Jawa / gamelan) kepada siapa saja yang mau belajar, tanpa dipungut bayaran. Hanya sekali tempo bila diadakan bancaan,  mereka membawa makanan apa saja yang dia punya untuk dimakan bersama.
Kadang-kadang bapak memang diundang untuk pentas mengiringi tarian Jawa, atau tembang-tembang Jawa di tempat orang hajatan, atau acara-acara formal lainnya. Namun bertambahnya waktu, gendhing-gendhing Jawa dan suara gamelan semakin kurang diminati. Mereka lebih memilih orgen tunggal atau suara tape hasil rekaman, daripada suara gamelan asli yang dinilai ribet dan  ketinggalan jaman.
Sejak kecil, bapak sudah mengenalkan padaku bagaimana cara memainkan gendang, peking, demung, saron, bonang, kenong, gong dan slenthem. Sambil nembang Khinanti, Pangkur, Pucung atau Dhandanggula.
Namun aku kurang begitu telaten, sehingga tidak begitu mahir seperti bapak. Apalagi kesibukanku sekolah mulai banyak menyita waktu , sehingga berlatih kerawitan bersama bapak semakin berkurang. Bahkan sering tidak sempat sama sekali. Namun bapak begitu sabar mengajarkan pada kami, hingga dinilai kami bisa memainkan satu persatu alat musik gamelan.
"Yen ora kowe sing neruske terus sopo meneh, Nduk" Begitu permintaan bapak pada waktu itu. Bila aku malas belajar kerawitan.
Sebenarnya semua putra bapak juga diajari, namun hampir semua kakakku yang laki-laki melanjutkan sekolah ke kota selepas SMP, dan jarang berkesempatan pulang dan belajar kerawitan pada bapak. Dua mbakyuku juga sudah menikah dan ikut bersama suaminya di luar kota, sebelum mereka bisa belajar gamelan dengan sungguh-sungguh.
Hanya bapak yang masih setia pada gamelannya. Terkadang sampai malam bapak memainkan saron sendiri sambil nembang Dhandanggula , atau memainkan demung sambil nembang Pangkur. Suara gamelan sudah menjadi musik pengantar tidur kami sehari-hari.
Bunyi gamelan itu seolah menyuarakan hati bapak yang paling dalam. Apalagi tembang-tembang yang  bapak lantunkan, syarat dengan makna yang dalam untuk kehidupan. Seolah-olah bapak sedang memberi nasehat kepada kami, bila sedang memainkan gamelan dan nembang Jawa.
Seiring bertambahnya waktu  Campursari lebih berkembang dan diterima masyarakat yang cenderung lebih suka kepraktisan dan hinggar-bingarnya. Apalagi jenis musik Dangdut lama-kelamaan semakin lebih dicintai masyarakat. Gamelan semakin tersisih, seperti kehidupan kami.
Seperti kata-kata dalam tembang pangkur yang sering dilantunkan bapak.
" Mingkar-mingkuring angkara- Akarana- Karenan  mardi siwi- Sinawung resmining kidung- Sinuba sinukarta-Mrih kretarta- pakartine ngelmu lihung- Kang tumrap ning tanah Jawa- Agama ageming aji...
Jinerjening Wedhatama -- Mrih tan kemba- kembanganing pambudi- Mangka nadyan --tuwa pikun- Yen tan mikani rasa-Yekti sepi- asepa lir- sepah samun- samangsane pasamuan- Gonyak-ganyuk nglelingsemi- Nggungu karsane priyangga- Nora ngganggo peparah lamun angling- Lumuh ingaran ba...lilu. Uger gu..ru a..leman- Nanging janma- ingkang wus was padeng semu- Sinamun ing samu ..dana- sasadone adu manis".
(Terjemahan)
Menghindari sifat jahat, sebab senang membimbing anak, dirangkum ke dalam sebuah kidung, dihormati dan dimuliakan, supaya tercapai maksud dari ilmu luhur, bagi tanah Jawa, agama adalah busana berharga.
Disusun di ajaran utama, tidak boleh malas bermandikan budi kebaikan, maka walaupun tua dan pikun, kalau tidak mengolah rasa, sungguh sepi dan hampa seperti sampah tersembunyi, ketika diperkumpulan, serba canggung dan memalukan.
Tembang Pangkur itu seolah terdengar nyaring dengan sayup-sayup alunan demung mengiringi. Aku merasakan bapak hadir malam ini. Seolah bapak sedang memberiku semangat agar aku mendapatkan jalan keluar untuk seperangkat gamelan ini besok pagi.
Sayup-sayup kokok ayam terdengar dari kejauhan, pertanda Adzan subuh segera terdengar. Walau mata berat dan badanku terasa tertikam gada, aku harus segera bangun untuk mengemasi barang-barangku.
Pagi ini aku menyewa Colt Pick-up untuk mengangkut barang-barang yang masih tersisa. Rasa sedih dan berat meningalkan rumah ini harus segera aku hapus. Karena pembeli akan segera merobohkan rumah ini, dan mengganti bangunan baru yang tentu akan berkesan modern. Semua cerita tentang rumah ini, mungkin juga hanya akan tersisa sebagai kenangan saja.
***
Ketika sedang mengemas barang-barang untuk dinaikan ke mobil, ada sebuah mobil masuk ke halaman. Aku kira pembeli rumah ini, ternyata tidak.
" Selamat pagi, Bu"
"Selamat pagi juga, Pak. Ada apa ya?"
"Saya dari Keluarga Soelarso, apa benar ibu mau menjual seperangkat gamelan."
"Maaf, Bapak. Saya tidak menjual tetapi menitipkan sampai batas waktu tak terkira, dan silakan gamelan dipergunakan dan manfaatkan," Â jelas saya. Karena bagaimana pun saya harus bisa memegang amanat bapak, untuk tidak menjual gamelan ini dalam keadaan sesulit apapun.
" Baiklah, Bu. Saya setuju. Nanti kita bikin surat perjanjian. Saya akan memanggil armada untuk mengangkut gamelan Ibu. Ibu bisa ikut kami, agar  tahu kenama gamelan ini dibawa"
" Saya setuju dan mengucapkan terima-kasih. Saya akan mengemasi barang-barang saya dahulu. Kemudian kita memberesi gamelan itu."
"Ibu tidak perlu kuatir, kami sudah menyuruh beberapa orang untuk mengemasi dan menaikan gamelan itu ke truck ."
"Terima kasih, Pak."
"Bila ibu membutuhkan dan akan mengambil gamelan ini, kami juga siap melepaskannya sewaktu-waktu. Nanti ada dalam Surat Perjanjian ini."
"Baik, Pak. Saya setuju dan mengucap terima kasih ."
"Apakah ibu setuju, Â ibu kami minta untuk mengajarkan juga cara memainkan gamelan itu kepada kami, Â agar kami bisa mempergunakan gamelan ini dengan baik."
" Baiklah, Pak. Saya hanya punya waktu 1 bulan sebelum pindah ke Kalimantan, untuk mengajar kerawitan pada keluarga Bapak."
" Ibu jangan kuatir, kami akan memberikan imbalan atas jasa ibu mengajar kami."
"Alhamdulillah, apabila semua dari kerelaan Bapak, karena saya tidak mau menjual jasa  untuk sesuatu yang sangat berharga dalam hidup saya."
" Jangan kuatir, Bu, Kami hanya memberi sekedar ucapan terima kasih."
Gamelan bapak akhirnya mendapat tempat dan orang yang tepat untuk merawat dan mempergunakan sebagaimana mestinya.
Aku juga tidak menyangka keluarga itu mentransfer uang sebegitu banyak sebagai ucapan terima kasih karena aku telah mengajarkan mereka, cara memainkan gamelan itu sekaligus mengajarkan beberapa tembang Jawa yang dulu diajarkan Bapak kepadaku.
Akhirnya kami mendapat generasi penerus untuk tetap melestarikan kebudayaan Jawa yang dulu sangat diwanti-wantikan bapak kepada kami. Walaupun kami tidak mempunyai ikatan keluarga, namun saya menganggap keluarga Bapak Soelarso sebagai keluarga baru kami.
Semoga musik tradisional tidak punah tergerus zaman.Masih ada anak cucu yang masih tetap mencintai musik tradisional walaupun keadaan sudah berubah.
Tim : Pantura Estafet:
Dian Kusumawardani
Selamet HARIADI
Dinda Pertiwi
Kudus, 10 Maret 2020
Salam hangat,
Dinda Pertiwi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H