Lima hari tinggal di kost yang penghuninya laki-laki semua sungguh membuatku merasa tak nyaman, maka bila pagi dan siang saya ke calon rumah kontrakan ikut mengawasi orang-orang yang sedang memperbaiki dan membersihkan rumah, hingga hari ke tujuh perbaikan rumah sudah selesai, tinggal saya dibantu tetangga finishing membersihkan lagi dinding-dinding dan lantai yang terbuat dari kayu Ulin semua, dengan memberi lapisan kain plastic pada lantai kayu agar terlihat bersih dan binatang dari bawah tidak bisa masuk ke dalam rumah. Semua barang-barang sisa penghuni lama dibakar termasuk  beberapa almari dan dipan tempat tidur. Walaupun sebenarnya belum lapuk juga kayunya, lama tidak dipakai dan tidak tahu siapa yang makai lebih aman bila dibakar saja. Begitu pikirku.
Akhirnya di hari ke tujuh, aku sudah bisa menempati rumah kontrakan baru, yang sudah bersih dindingnya juga sudah selesai dicat warna putih agar terlihat terang dan bersih. Rumah dengan bahan kayu ulin semua termasuk atapnya terbuat dari sirap kayu ulin, sangat nyaman bila dibanding yang beratap asbes dan seng. Lega rasaku.
Rumah dengan 2 kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dan dapur yang cukup luas akhirnya aku tempati. Kata Paman yang menawarkan rumah ini dan yang menerima uang sewa kami, rumah ini dulu dihuni oleh keluarga yang berasal dari Sulawesi, mereka punya usaha tambang batubara kecil-kecilan. Usahanya cukup lancar kehidupan mereka  berkecukupan sehingga beberapa berabotan yang masih tertinggal juga kelihatan kalau yang dipakai dulu adalah barang mahal untuk ukuran desa terpencil seperti ini. Semua sudah di bakar tak ada sisa barang apapun.
Setelah masa kejayaan tambang liar selesai, usaha bertambangan mereka bangkrut , mereka pergi dan pindah kemana warga tak ada yang tahu. Karena mereka tidak berpamitan, Â seperti saat datang juga mereka tidak mengenalkan diri pada tetangga yang asli orang desa itu. Menurut para tetangga dulu rumah itu dihuni oleh sebuah keluarga dengan 2 orang anak yang masih kecil dan juga seorang kakek tua yang sering membersihkan halaman dan menjadi penjaga rumah.
Halaman rumah yang cukup luas terdapat berbagai macam tanaman, seperti mangga kweni dengan buah yang sangat lebat berada tepat di depan kamar depan sebelah kiri. Di sebelah kanan terdapat pohon nangka, dan pohon sirsat dengan buah yang tiada hentinya. Sedang di samping kiri yang besebelahan dengan rumah tetangga terdapat pohon nangka lagi selain serumpun buah nanas yang berada di depan jendela kamar yang aku tempati.
Sedang di sebelah kanan rumah terdapat kolam yang cukup luas, entah apa isinya aku kurang tahu, karena hampir seluruh permukaannya dipenuhi enceng gondok, dan di bibir kolam tumbuh subur  serumpun daun pandan, sebelahnya lagi ada serumpun pohon lengkuas, dan di ujungnya terdapat serumput pohon pisang maholi khas Kalimantan.
Karena suami kerja siff maka aku sering di rumah sendiri, kalau pun suami masuk malam pasti siangnya di rumah juga tidur seharian. Jam kerja yang panjang , sampai sehari 12 jam membuat suami jarang bisa ikut berkegiatan siang hari. Sendirian di rumah sudah menjadi kebiasaanku sehari-hari. Paling aku mengurus rumah, masak, dan menyiapkan keperluan suami.
Desa tempat aku tinggal hanya diterangi listrik pada malam hari saja antara jam 6 sore sampai 6 pagi. Selain itu bila tanggalnya tua, Listrik  akan menyala 3 hari sekali. Suasana rumah yang sering gelap dan sepi membuatku sering ngeri sendiri.
Beberapa kali di saat malam yang gelap dan lagi sendirian aku sering mendengar beberapa bocah yang sedang main di dapur. Aku hanya berpikir mungkin anak tetangga belakang , tapi kadang-kadang suara itu ramai riuh di saat lebih dari jam 12 malam. Kadang-kadang jelas percakapannya. Tetapi karena aku kurang mengerti bahasa yang digunakan, jadi tidak tahu apa yang sedang mereka percakapkan. Kadang-kadang ada suara dan kelebat orang berjalan dari kamar depan menuju pohon manga kweni di depan rumah , padahal antara kamar dan pohon mangga tak ada pintu.
Suatu pagi yang masih sepi karena banyak rumah yang masih menutup pintunya, saya melihat seorang kakek yang sudah tua, dia berjalan ke sebelah kanan rumah menuju kolam. Sekelebat kemudian kakek itu sudah hilang, aku hanya berpikir lewat mana ya si Kakek itu karena rumah itu berpagar kayu ulin agak tinggi dan aku lihat pagarnya juga masih utuh semua tidak bisa diterobos orang.
Beberapa hari kemudian aku melihat Kakek itu lagi tiba-tiba sudah ada di halaman depan, dari mana asalnya tak kuketahui, Â ketika saat itu aku sedang menyapu halaman.