Â
Â
Bulan ini kembali aku mengenangmu....
saat alunan paduan suara itu menghilang..
aku lupa telah patah asaku saat itu..
sedang kamu hanya duduk termangu pandangi lapangan yang telah membeku
berkali kau ucap " tetaplah...berdiri disini nak...sampai bendera selesai dikibarkan...."
tak kulihat rapuhmu.....pada semangat dan asamu
sedangkan aku......
hanya bisa menghapus kata demi kata yang pernah tertata dalam setiap upacara
atau mengheningkan cipta dengan menahan air mata...
Agustusku......
Â
pada musim yang tak lagi menentu
dan rembulan tak pernah lagi malu
mencumbu awan di depan kerdipan sang bintang
tak ada lagi gelap, tak ada lagi sepi , tak ada lagi nyanyian elegi
hanya semburan gunung berapi ....yang bisa menyudahi
Agustusku...
Â
Nisan-nisan tak dikenal hanya pasrah
pada taburan bunga ditiap malam taptu
dengan doa-doa yang tak tentu
atau reriuh gemersik angin yang menerpa manja
menyibak kerudung hitam tanpa duka cita
ayolah sudahi Agustusku.........
Â
masih aku lihat untaian melati itu
melilit indah pada tiap kaki kaki ibu
gemulai tangannya menyibak sampur biru
melenakan Tuan Menir pada gerhana bulan itu
dan itu sangat menyesakkan ....
Agustusku....
Â
Ah...entah sampai kapan aku terlena pada gapura-gapura itu
yang hanya bercat baru di bulanmu..
atau semarak bendera tiap gang tanpa ruh
aku tak ingin merapuh..
Agustusku...
ciumlah aku...
walau hanya satu helaan nafasmu..
Â
Â
Kudus, Sabtu 8 Agustus 2015 ; 21:31
'salam fiksi'
Dinda Pertiwi
Â