Masih teringat jelas diingatan ku ketika pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, tempat yang mengajarkan aku arti hidup. Jauh dari orang tua dan tinggal dikampung orang membuat aku susah untuk bersosialisasi, karena memang bukan keinginan ku. Aku mencoba ikhlas menerima permintaan ibu ku untuk pulang dari tempat aku mengajar di sebuah kota besar. Meski banyak impian ku yang belum tercapai namun apa daya panggilan orang tua membuat aku luluh.
Aku mencoba mengikuti tes guru kontrak di sebuah kabupaten di profinsi yang sama dengan daerah ku namun bukan di kampung aku sendiri, karena memang saat itu daerah tersebutlah yang membuka peluang untuk penerimaan guru kontrak. Rasa bimbang ada namun semua ku tepis demi membahagiakan sang ibu tercinta.
Senang sudah pasti bagi peserta yang lulus, namun entah mengapa bagiku ini sangatlah berat karena masih kepikiran ditempat ku mangajar sebelumnya meski diswasta tetapi aku sudah sangat nyaman disana. Tinggal dikota besar, banyak teman dan gaji yang sangat memadai membuat aku tidak bisa melupakan semuanya. Â Meski didepan ibu terlihat aku biasa saja namun batin ku masih menjerit.
" Bu Alhamdulillah aku diterima menjadi guru kontrak".
Dengan ekspresi datar aku memperlihatkan hasil dari pengumumannya.
" Alhamdulillah, apa kata ibu...untung kamu pulang bisa diterima mengajar di sekolah negeri dari pada di swasta kapan kamu bisa jadi PNS?".
Aku diam mendengarkan coloteh ibu, meski belum diterima PNS kelihatan raut wajah ibu ku yang begitu senang. Tak ingin rasanya merusak kebahagiannya dengan keegoisan ku. Aku buka ponsel ku sambil merebahkan tubuh ku di atas kursi empuk di rumah ku yang sudah mulai usang, ku lihat kembali foto -- foto saat ku bersama siswa ku dulu, sekolahnya yang bagus, di pinggir kota. Tak terbayang bagaiman mungkin aku bisa menjalani nanti di tempat yang baru.
      Kaget dan canggung untuk pertama kali berada dan mengajar di tempat yang baru, begitu jauh perbedaan dari tempat ku yang lama. Di desa , di pinggir bukit, sepi dan di sekolah kecil yang masih SSA tak kuasa batin ku menerimanya. Perlu waktu untuk ku meyakinkan hati ku disini. Semangat dan support dari keluarga mampu menguatkan ku menjalani semuanya.
      Selang waktu berjalan ku jalani semua itu, di awal memang terasa sulit namun lama kelamaan aku merasakan kenyamanan setelah tiga tahun ku jalani akhirnya disini juga ku menemukan jodoh ku. Empat tahun ku jalani bekeluarga dan mempunyai seorang anak, disini aku mulai ragu karena cukup lama mengabdi namun juga belum menjadi PNS, aku bimbang kebutuhan makin bertambah sementara aku masih sebagai guru kontrak. Aku mulai memutar otak ku, berperang dengan argumen -- argumen yang terkadang diluar kendali ku. Ada rasa iri melihat teman -- teman satu persatu sukses, sedangkan aku bergelut dengan keadaan yang tak pasti. Tujuh tahun sudah menjadi guru kontrak dan saat itu berganti nama menjadi Tenaga Harian Lepas (THL), apapun namanya tetapi tetap sama belum PNS. Bosan dan capek tiap hari pergi pagi pulang sore dengan status yang sama.
      Saat itu aku mencoba keberuntungan kembali dengan adanya peluang ku untuk mengikuti tes lagi. Aku berharap kali ini ada keajaiban untuk perubahan nasib ku, dengan semangat ku lalui semua proses dengan meminta restu kepada suami dan orang tua ku. Namun apa daya Tuhan masih belum berpihak kepada ku. Suatu seketika rasanya langit ini terasa runtuh dan mencmpakkan ku begitu saja.
" Sepertinya aku ingin berhenti saja uda, aku capek tidak juga lulus PNS, sementara teman -- teman seperjuangan semua pada lulus".
Dengan berurai air mata ku hampiri suami ku yang sedang sibuk dengan laptonya.
" Sabar dek ini bukan rezeki kita, mungkin Tuhan ada rencana yang lebih indah dari ini"
Suami ku mencoba membujuk, menghibur namun aku tak bisa menahan rasa kesedihan ku. Aku menunduk lesuh setelah melihat pengumuman tes PNS yang baru saja aku lewati padahal saat itu penerimaan besar -- besaran. Ditambah lagi dari lima orang mengikuti tes tersebut di sekolah ku, empat diantaranya lulus termasuk sahabat ku sendiri. Mereka bahagia dengan berita itu namun aku terpuruk tak berdaya, terasa semua harapan ku sirna. Ku bersimpuh kepada Tuhan, aku menanyakan ketidak adilan ini, aku marah, aku tak terima. Ku luapkan semua doa di tahajud ku, aku menangis, aku meminta belas kasihan dari Tuhan.
      Sebulan lamanya aku mencoba mengobati hati ku, pertengakaran, pertikaian, perdebatan yang selalu terjadi antara aku dan suami ku .
" aku berhenti saja uda, tak sanggup rasanya disini lagi, aku mau pulang kampung".
Untuk kesikian kalinya keluar dari mulut ku.
" kalau di kampung terus mau kerja apa dek? "
"terserah, kita coba bertani aja".
Aku berdebat sengit saat itu.
"Syukuri yang kita punya sekarang, cobalah menerima dengan ikhlas dan ingat kamu juga sudah lulus sertifikasi mungkin ini dulu rezeki diberi Yang Maha Kuasa. Lihat diluar sana masih banyak orang lain yang masih honor dan menerima gaji kecil namun mereka bahagia menjalaninya".
Aku diam, mencoba mencerna semua yang dikatakan suami ku.
      Esok harinya setelah menunaikan sholat subuh berjamaah dengan suami, aku peluk suami ku dengan tangisan yang tak bisa ku bendung lagi. Ku luapkan semua rasa yang tersimpan dihati ku. Kegagalan untuk kesekian kali yang kulalui menghantarkan aku ketitik terpuruk yang teramat dalam.
" Maafkan aku uda, kemarin aku dibutakan oleh kilauan dunia. Aku ikhlas menerima semua ini, bimbing aku agar aku bisa mengobati luka ini".
Suami ku merangkul ku erat dan memberikan support yang luar biasa.
" Iyaa uda paham yang kamu rasakan, tetapi belajar lah menerima dengan ikhlas. Pekerjaan yang kamu lakukan ini, mudah -- mudahan menjadi ladang pahala bagi mu kelak".
Suasana makin haru setelah mendengar perkataan dari suami ku, mungkin aku selama ini kurang mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah sehingga membuat aku sehancur ini.
      Semenjak saat itu aku kembali beraktifitas seperti biasa, ku jalani lagi hari -- hari ku bolak balik ke sekolah yang memakan waktu lebih kurang lima puluh menit dari rumah. Lelah, jenuh semua bercampur dalam benakku, namun ku yakinkan hati ini untuk selalu bersyukur kepada Tuhan dengan apa yang ku miliki saat ini. Tuhan Maha Tahu mana yang terbaik untuk umatNya.
Alhamdulillah lima tahun setelah itu aku diangkat juga sebagai ASN PPPK meski belum PNS tetapi aku sangat senang dengan pencapaian ini. Cukup lama aku menantikan ini, Aku sangat mensyukurinya akhirnya Tuhan menjawab semua doa -- doa ku. Ku persembahkan SK ini teruntuk suami ku yang telah sabar mendampingi ku selama ini dan juga teruntuk orang tua ku yang selalu memberikan suppor hingga aku dapat meraih semua ini.
Sabar dan selalu bertawakal akan mempermudahkan jalan menuju kesuksesan. Jangan pernah putus asa dan selalu bangkit jika jatuh, sehingga mampu meraih yang diimpikan. Allah Maha Tahu yang terbaik untuk umatNya, dan manusia hanya bisa menjalani semua kehendakNya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI