Berdasarkan kalender pendidikan tahun ajaran baru dimulai 13 Juli 2020. Wabah pandemi Covid-19 sejak awal Maret 2020, akibatnya sistem pembelajaran dilakukan dari rumah secara online.Â
Hal ini dilakukan sebagai upaya memutus mata rantai penularan Covid-19 dari klaster sekolah/kampus. Kondisi serba mendadak, darurat belajar dari rumah ini tidak pernah terpikirkan dan disiapkan karena modelnya memang dirancang untuk tatap muka, pertemuan di depan kelas.Â
Bukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), seperti di Universitas Terbuka (UT), yang dipersiapkan secara matang, detail, terukur, dan standar. Termasuk modul untuk mata kuliah, yang dibuat khusus agar dipelajari oleh mahasiswa UT.
Di awal pelaksanaan sekolah/kuliah melalui daring rasanya aneh, kikuk, tidak terbiasa, dan banyak kendala. Tergagap, bukan hanya infrastuktur yang tidak siap, tetapi guru/dosen, siswa/mahasiswa.Â
Tidak kalah rempong adalah orang tua siswa/mahasiswa, karena beban dan dana bertambah, di saat penghasilan berkurang karena Covid-19. Beban sekolah harus menyiapkan infrastruktur TI yang hanya dimiliki oleh sekolah/kampus di kota.Â
Guru/dosen kerja dari rumah selain menyiapkan materi pelajaran/kuliah dibutuhkan jaringan internet di rumahnya. Kalau tidak langganan provider harus membeli pulsa kuota agar dapat mengajar dari rumah. Â
Para orang tua siswa/mahasiswa terbebani tuntutan "melek teknologi", tersedia gadget, jaringan internet, dan dana tambahan untuk membeli pulsa kuota.Â
Orang tua wajib mendampingi dan membimbing anaknya yang sekolah di PAUD, TK, SD. Untuk yang SMP, SMA dan mahasiswa relatif lebih mandiri, tanpa pendampingan orang tua.Â
Bagi orang tua kantoran, tugas semakin bertambah, selain mendampingi belajar anak-anaknya yang belum mandiri, mempunyai kewajiban menyelesaikan tugas kantor, rapat online dari rumah.Â
Orang tua dituntut menggantikan peran guru kelas bagi anak-anaknya. Padahal realitanya tidak semua orang tua mempunyai "jiwa pendidik", sehingga kurang sabar, kurang telaten, dan lebih banyak menggunakan emosi daripada hatinya. Â Â
Selama 6 (enam) bulan siswa/mahasiswa belajar dari rumah secara daring. Rasa rindu ketemu guru, teman, sahabat pasti ada. Belajar dalam kelas dengan bimbingan guru/dosen, mengerjakan tugas, rapat Osis, seabreg kegiatan mahasiswa di kampus, belajar di perpustakaan serasa di cafe yang nyaman dan menyenangkan. Keramaian di sekolah/kampus saat jam istirahat/makan siang di kantin.Â
Prosesi wisuda dengan suasana hingar bingar dan suka cita ditiadakan karena pandemi Covid-19. Sekolah/kampus, sunyi, sepi, tanpa lalu lalang mobil/notor, tidak ada canda tawa, diskusi, belajar bersama.Â
Nyaris tidak ada kehidupan manusia, sehingga memberi rasa nyaman ular kobra untuk bersarang di laci meja sekolah di luar P. Jawa. Sungguh mengerikan bukan? Â Â
PJJ secara daring karena pandemi Covid-19, semakin meneguhkan ada kesenjangan fasilitas inrastruktur jaringan antara kota dan desa. Integrasi infrastruktur jaringan di Indonesia dalam program "Nusantara 21", yang digulirkan sejak tahun 1997 untuk meningkatkan cakupan telekomunikasi di seluruh kecamatan belum terwujud.Â
Padahal era "information highyway" dengan menggunakan satelit, kabel fiber optik, semestinya dalam kondisi pandemi Covid-19 dapat menjadi solusi PJJ.Â
Namun kenyataannya tidak ada sinyal, kalaupun ada sinyal jauh dari tempat tinggal. Perlu perjuangan untuk mendapat sinyal, harus berjalan kaki, belajar/kuliah di pinggir jalan raya, yang tidak aman, tidak nyaman, atau naik ke dataran yang lebih tinggi.
Belum di daerah 3 (tiga) T (tertinggal, terdepan, terluar), semakin tidak terjamah oleh sentuhan kemudahan TI. Â Selain itu kesenjangan si kaya dan si miskin dalam hal mendapatkan akses pendidikan.Â
Keluarga kaya, semua fasilitas tersedia, sehingga nyaris tanpa kendala sedang keluarga miskin tertatih-tatih untuk tetap sekolah/kuliah.Â
Di masa pandemi ini, dimana para pekerja sektor informal mengalami kesulitan pembiyaan untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok, semakin berat agar anaknya dapat bertahan sekolah/kuliah, karena ada biaya tambahan membeli pulsa.
Sungguh bersyukur, di tengah pandemi selalu ada ide inovatif dan kreatif. Sekelompok Karang Taruna di Subang Jawa Barat  yang tanggap membantu siswa/mahasiswa kurang mampu agar tetap sekolah/kuliah.Â
Seperti dikisahkan oleh Wahyudiarti Setya Ningrum dalam akun facebook. Bermula Pak RT berinisiatif bersama Karang Taruna langganan provider sebesar 50 mbps. Â
Setiap Kepala Keluarga (KK) per hari wajib menabung Rp 1000,-, ada 55 KK untuk membayar internet, transpot guru, membeli kertas. Bagi yang tidak mempunyai gadget dipinjami oleh anggota Karang Taruna atau orang yang mampu meminjamkan gadget.
Usaha kreatif dari Karang Taruna ini menjadi virus kebaikan yang dapat menyebar di seluruh Indonesia. Ditengah pandemi Covid-19, memunculkan rasa solidaritas dan kegotong royongan di bidang perekonomian, tetapi juga pendidikan.Â
Ide kreatif Karang Taruna, patut didukung bukan hanya oleh RT, tetapi pemerintah lewat Dukuh, Lurah, Camat, Bupati/Walikota, Gubernur Mendikbud dan P:residen. Tidak elok saat ide kreatif dirintis di cuekin pemerintah, giliran berhasil berebut "nebeng nama" seolah telah memberi andil.
Kabar terakhir, kata Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di acara Mata Najwa Rabu malam tanggal 5 Agustus 2020, mengatakan:"dana BOS dapat dipergunakan untuk TI dan pulsa atau kuota internet bagi para siswa dan guru". Â
Diskresi ini untuk membantu para siswa yang secara ekonomi terkendala pulsa kuota. Kepala Sekolah mempunyai otoritas untuk memanfaatkan peluang ini.Â
Masalahnya, semua murid dan guru menunggu respon dan tindakan Kepala Sekolah untuk mewujudkannya. Kehati-hatian Kepala Sekolah wajar, karena dana BOS yang tidak sesuai  peruntukan (menambah fasilitas pembelajaran), dapat mengantarnya menginap di hotel prodeo.
Yogyakarta, 6 Agustus 2020 Pukul 22.52
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H