Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Menggapai Jabatan Idaman, Jalannya Berliku

20 Januari 2020   21:56 Diperbarui: 20 Januari 2020   23:27 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2 UUD 1945). Artinya negara hadir dan mengatur pekerjaan bagi setiap warganya agar mempunyai kehidupan yang layak (dapat memenuhi kebutuhan dasar pangan, papan, sandang, kesehatan, dan pendidikan). 

Untuk mencukupi kebutuhan dasar itu, negara telah memberikan kartu pintar, kartu sehat, pemilikan kredit rumah tanpa uang muka, bantuan tunai, dan jaminan bagi para pencari kerja). 

Tentu saja ada syarat dan ketentuan untuk mendapatkan fasilitas sesuai dengan kebutuhannya. Semua fasilitas itu dimaksudkan untuk mensejahterakan semua lapisan masyarakat yang berkeadilan sosial. 

Walaupun diakui "acap kali" terjadi salah sasaran karena profil, data, dan informasi yang kurang tepat karena perbedaan persepsi menerapkan tolok ukur yang sudah ditentukan.

Terlepas dari itu semua, setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hak setiap orang juga untuk bekerja di swasta, perusahaan multinasional, BUMN, dan pegawai negeri. 

Di manapun orang itu bekerja pastinya sudah melalui perekrutan dan seleksi yang sangat ketat, terbebas dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Instansi/lembaga tentu  mencari pegawai yang mempunyai kompetensi secara intelektual, individual dan sosial. 

Kompetensi intelektual diperlukan agar pola pikir dan pola tindak dapat mengikuti perubahan yang terjadi disekitarnya, begitu cepat. Namun kompetensi individual dan sosial juga dibutuhkan, agar tidak menjadi robot-robot tanpa hati nurani, etika, kejujuran, dan sopan santun.

Ketika sudah menjadi bagian dari suatu lembaga pemerintah, swasta, BUMN, perusahaan multinasional selain mempunyai kewajiban yang telah ditentukan, berhak atas jabatan/pangkat sesuai ijazah, kompetensi yang dimiliki. 

Konsekwensi dari jabatan dan pangkat adalah penghargaan berupa materi (nilai rupiah) dan non materi (pengakuan) lingkungannya. Pengakuan diperoleh melalui pangkat/jabatan yang dicapai melalui syarat dan aturan dan proses panjang yang harus dilalui. 

Ibaratnya, untuk menaiki tangga itu dimulai dari awal yang paling bawah, tidak bisa meloncat tangga karena beresiko. Idealnya untuk menggapai jabatan tertinggi perlu kesabaran, jujur, berjuang, perpikiran positif, kerja keras dan kerja cerdas, serta berdoa. Kenapa?

Menaiki tangga jabatan itu tidak mudah seperti membalik tangan atau bim salabim aba kadabra seperti ucapan Pak Tarmo. 

Perlu waktu untu proses, jalan panjang, berliku, penuh ujian, tantangan, pengorbanan tenaga, pikiran, waktu, biaya (ongkos foto copy, menjilid berkas-berkas sebagai bukti pekerjaan yang telah dilakukan).      

Selain itu menguras perasaan dan air mata karena untuk naik jabatan fungsional (pustakawan, arsiparis, dosen, peneliti, dan fungsional lainnya) perlu mengumpulkan angka kredit yang nilainya kecil-kecil, membuat karya tulis, melakukan penelitian,  mengikuti seminar membayar sendiri sekedar mendapatkan sertifikat. 

Belum menghadapi tim penilai, atasan langsung, dan bagian SDM yang semua pendekatannya dengan kekuasaan, bukan humanis dan sosial. Bahkan ada yang sengaja menggunakan kekuasaan untuk menghambat laju perjalanan berkas. 

Caranya berkas ditumpuk, didiamkan bahkan dihilangkan. Padahal untuk menumbuhkan semangat mengumpulkan berkas saja perlu energi tambahan. 

Belum menghadapi tim penilai yang sering beda "persepsi" dalam menafsirkan suatu aturan. Pengalaman menjadi tim penilai lebih 10 tahun, sering terjadi orang yang akan menilaikan berkas tidak membaca aturannya, apalagi menyusun dengan rapi. 

Akibatnya tim harus ektra kerja memilah-milah dan menyusun rapi. Bila nilai berkurang, bukannya mencari tahu penyebab dan  solusinya, tetapi membenci tim penilai dan mengumumkan sebagai "algojo nilai". Sadis bukan ?. Air susu dibalas air tuba, menjadi tim penilai memang harus sabar dan tahan guncingan.  

Anehnya, ketika menilaikan pekerjaannya gantian sesama anggota tim berbeda persepsi, sehingga nilainya berkurang dan berlindung dengan  atasan langsung dan bagian SDM. 

Kondisi semakin parah karena atasan langsung dan bagian SDM kurang membaca aturan yang sudah ada. Akibatnya pegawai yang menduduki jabatan fungsional yang notabene juga tim penilai mengalami penundaan bahkan gagal menduduki pangkat/jabatan tertinggi. 

Sudah jatuh tertimpa tangga karena tangga itu sengaja dan sadar dijatuhkan sehingga tidak dapat dipakai sebagai pijakan menuju puncak. Alasan nya faktor "iri hati", rasa tidak suka baik subyektif maupun kolektif  bila melenggang sampai puncak karier. Sungguh aneh bukan?

Model-model menjatuhkan lawan secara terang-terangan atau diam-diam tetap ada dimana-mana. Dianggap "musuh" karena berprestasi di tingkat daerah dan nasional, sehingga dapat membawa nama baik institusinya. 

Ketika berprestasi, justru kariernya dihambat dan digagalkan agar tidak bisa menduduki jabatan idaman. Padahal untuk berprestasi itupun harus berjuang sendiri, menghadapi cibiran, cacian yang kadang menyakitkan. Bahkan keluar kota pun harus menanggung akomodasi sendiri, tanpa mendapat uang saku sepeserpun.  

 Artinya untuk mencapai jabatan idaman modalnya selain kompetensi diri, daya juang, doa, jejaring pertemanan, dan harus tahan banting. Selain itu masih ada faktor "X" yang dapat menutup jalan berliku, licin, naik, sunyi, sepi sendiri karena beritanya tidak viral di media sosial.

Walau ada keberanian "melawan" tirani melalui jalur yang benar dengan melaporkan pihak-pihak yang merugikan, tetap saja tenggelam oleh angkuhnya kekuasaan. 

Bahkan teman-teman seprofesi tidak ada yang bersuara membela, justru sebaliknya mendiamkan dan mencibir bahkan menertawakan. Akhirnya, satu-satunya tempat mengadu hanya kepada Tuhan Alloh Yang Maha Bijaksana, karena berharap dan mengadu kepada manusia hanya mendapat PHP (Pemberi Harapan Palsu).

Yogyakarta, 20 Januari 2020 Pukul 20.56         

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun