Sejak tahun 1998 begitu digulirkan reformasi yang dimotori leh para mahasiswa seluruh Indonesia  mulai populer istilah "reformasi" di bidang sosial, politik, hukum, ekonomi, pertahanan dan keamanan, birokrasi.
Istilah reformasi itu sendiri menurut KBBI berarti:"perubahan secara drastis untuk perbaikan dalam suatu masyarakat atau negara". Sedang birokrasi adalah:"sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan, atau cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya".
Kalau disimak antara istilah reformasi dan birokrasi memang mempunyai arti yang saling bertentangan, dimana reformasi bermakna perubahan drastis untuk perbaikan, sedang birokrasi sistem yang dilaksanakan oleh pegawai pemerintah yang lamban karena berpegang pada hierarki jabatan sesuai aturan yang berlaku, atau pekerjaan serba lamban.
Jadi birokrasi itu identik dengan sistem pekerjaan yang serba lamban karena sesuai dengan aturan main (syarat dan ketentuan), yang dibuat oleh para birokrat dan legislator.
Akibatnya kalau berbuhungan dengan birokrasi sering terkendala oleh slogan "sulit berbelit", karena jalan yang dilalui terlalu banyak. Kondisi semakin parah bila pegawainya berpegang teguh pada slogan tersebut sehingga sering berpendapat:"kalau bisa dipersulit, kenapa di permudah".
Hal inilah yang memunculkan adanya "pungutan liar/pungli", salam tempel, amplop dibawah map, calo, pelantar, yang menambah biaya dan tarif tinggi. Alasannya karena saling menguntungkan baik orang yang sedang mengurus tidak bersedia repot dan bertele-tele, dan pegawai mempunyai tambahan pendapatan di luar gaji.
Kondisi birokrasi yang carut marut itu terjadi sebelum reformasi digulirkan. Setelah reformasi, semua bidang yang berkaitan dengan pelayanan publik melakukan perubahan yang drastis untuk perbaikan. Kran kotak saran baik manual, tertulis di media massa secara tercetak dan online dibuka lebar-lebar, dan segera ditanggapi, diperhatikan dan ditindak lanjuti.
Hal ini tidak pernah terjadi pada era sebelum reformasi, alih-alih menulis di media massa, kertas yang ditulis di kotak saran didiamkan, diabaikan dan akhirnya dimasukkan bak sampah kalau sudah penuh tanpa pernah dibaca apalagi ditindak lanjuti.
Diakui saat ini telah terjadi perubahan yang signifikan untuk pelayanan publik (mengurus e-KTP, SIM, SKCK, Kartu Identitas Anak/KIA, akta kelahiran/kematian, sertifikat tanah ada program "one day service" asal semua syarat sudah lengkap).
Pegawainya sudah bertransformasi bahkan melakukan loncatan dan terus berinovasi dengan ide-ide cemerlang, yang intinya memudahkan pelayanan publik berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Pelayanan kesehatan tidak perlu antri semua sudah terhubung antar instansi sehingga bermunculan "smart city", berbasis android dan apple.
Semua itu dapat menghapus slogan :"kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah", menjadi "kalau bisa dipermudah kenapa dipersulit". Setiap pegawai mempunyai prinsip:"mempersulit urusan orang tidak ada untungnya, dan mempermudah urusan orang tidak merugikan".
Memberi pelayanan dengan tulus, ikhlas, ramah, sopan santun, dan menerima kritikan dengan senang hati. Dari kritikan itulah dapat mengetahui kekurangannya pelayanan yang diberikan. Kondisi ini secara otomatis mempersempit dan menghilangkan calo, pelantar dan biaya tinggi, karena proses, biaya, estimasi waktu sudah jelas dan transparan dapat diketahui umum.
Namun yang patut disayangkan, reformasi birokrasi masih sebatas untuk pelayanan publik yang sifatnya umum dibutuhkan oleh semua orang. Masih ada pelayanan birokrasi yang tersendat, tidak transparan, tidak pasti, dan tidak jelas. Misalnya pelayanan untuk pengurusan kenaikan pangkat dan pensiun bagi PNS.
Walau diakui sudah ada beberapa departemen yang transparan dapat mengecek sampai dimana perjalanan berkas, sehingga bisa dipantau dan diprediksi. Untuk kenaikan pangkat yang sebenarnya menjadi hak setiap PNS, kenyataannya ada yang sampai masuk batas usia pensiun (BUP), Surat Keputusan (SK) itu tidak kunjung datang.Â
Akibatnya PNS dirugikan secara material, moral, harapan, dan semangat karena sejatinya keterlambatan itu dipihak pegawai pemroses yang tidak mensegerakan hak seseorang. Kalau sudah begini siapa yang bertanggung jawab ?
Apapun alasannya, walau perlu ada persetujuan teknis (pertek) dari Badan Kepegawaian Nasioanal (BKN), dan SK dibuat Sekretarian Negara, semua itu sangat tergantung dari departemen dimana PNS itu bernaung. Jadi tidak selayaknya pegawai yang mengurusi kenaikan pangkat/pensiun mencari "kambing hitam" apalagi menyalahkan PNS yang sudah mendelegasikan berkas-berkas untuk dikerjakan karena memang pekerjaannya.
Untuk pengurusan pensiun walau berkas-berkas itu sudah dikirimkan sejak setahun sebelum jatuh tempo masa pensiun, ternyata tetap ada hambatan. Sudah masuk BUP, tetapi SK pensiun tidak kunjung datang, padahal gaji sudah di stop, dan gaji itu menjadi satu-satunya sumber pendapatan.
Haruskah para pensiunan itu menahan untuk memenuhi kebutuhan seharai-hari khususnya yang primer ?. Kalau untuk kebutuhan sekunder dan terseir dapat ditunda, apakah harus menunda kebutuhan primer ?. Bagaimana hati nurani para pegawai yang mengurus SK pensiun kalau ini menimpa keluarganya ?. Pastinya pegawai itu belum pernah pensiun jadi tidak bisa merasakan bagaimana para pensiunan penunggu SK pensiun yang tidak kunjung datang.
Yogyakarta, 6 Februari 2019 Pukul 10.43
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H