Awal menikah saya merasa suami itu pelit. Jika meminta barang meski itu murah tidak langsung dikabulkan. Dia cek dulu apa benar saya membutuhkannya.Â
Misalnya, ketika saya meminta uang untuk membeli panci. Dia mengatakan panci lama masih bisa dipakai. Juga ketika menginginkan alat jus buah. Dia bilang, "Buahnya dimakan langsung saja, tidak perlu jas jus." Apalagi ketika ingin membeli mesin cuci. Dia mengatakan kalau di kampung tidak ada yang menggunakan mesin cuci.Â
Hal-hal semacam itu sering menjadi bahan pertengkaran. Saya pun memberi label "pelit" meski suami memberi penjelasan panjang.
Setelah menjalani rumah tangga beberapa bulan, saya mulai memahami karakter dan cara suami mengelola gajinya. Maklumlah pernikahan kami tanpa pacaran. Dalam waktu yang singkat, kurang lebih satu bulan kenal, itu pun bertemu 3 kali, kami langsung menikah. Jadi butuh penyesuaian dalam segala hal, terutama keuangan.Â
Pada awal menikah, 2003, suami masih menerima gaji kontrak per 3 tahun. Oleh karenanya bayang-bayang tidak diperpanjang itu selalu ada. Itu sebabnya suami sangat berhemat dan terperinci.Â
Meski sudah sedemikian hemat, suatu hari saya kehabisan uang, sementara kebutuhan di depan mata banyak. Saya pun menjual 3 cincin yang dibeli jelang menikah. Ternyata satu di antaranya adalah cincin maskawin. Untungnya toko emas berbaik hati. Satu cincin itu bisa ditebus lagi.
Dari situ saya menyadari suami bukan pelit, tetapi berpikir jangka panjang. Jika saya membelanjakan uang dengan boros, tidak akan memiliki tabungan. Cita-cita memiliki toko bangunan, rumah idaman tidak terlaksana. Â
Bagaimana cara saya menerapkan frugal living?Â
Mengutip dari  wealthsimple.com frugal living atau kita kenal berhemat adalah kondisi di mana kita sadar akan pengeluaran dan fokus pada beberapa prioritas keuangan,Â
Frugal living sekarang trend dibicarakan dan dilakukan banyak orang karena dampak Pandemi. Sebetulnya sebelum Pandemi pun gaya hidup hemat sudah banyak dilakukan orang tua zaman dulu. Namun, sering kali berhemat disamakan dengan pelit. Padahal itu dua hal yang berbeda.
Jika berhemat kita lebih mementingkan kebutuhan, sedangkan pelit cenderung perilaku yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Â Â
Berikut cara kami hidup hemat ala saya:
1. Â Memiliki tujuan bersama
Setelah rumah tangga antara suami istri harus memiliki impian, tujuan yang sama, agar saling mendukung mengejar tujuan tersebut.
Seperti telah disebutkan di atas, pada tahun 2003 status suami pekerja kontrak. Setiap 3 tahun diperpanjang. Ketika jelang 3 tahun, kami selalu was-was apakah diperpanjang atau tidak. Itu sebabnya dia sangat ingin memiliki toko dan menambah lahan pertaniannya. Saat itu kami memilki 3 petak lahan.Â
Dengan memiliki impian tersebut kami hidup hemat dan berusaha menyisihkan sebagian gaji. Hasil panen setiap tiga bulan sekali ditabung. Jika sewaktu-waktu ada orang menjual sawahnya, uang itu sudah ada.Â
 2.  Menunda belanja yang tidak penting
Awal menikah tentunya ingin memilki barang yang serba baru, seperti tempat tidur, kursi, mesin cuci, lemari pakaian dan lain sebagainya.
Saya menunda membeli perlengkapan rumah. Jika masih bisa tidur di atas kasur tanpa amben kenapa tidak? Perlengkapan dapur pun masih bareng-bareng dengan mertua. Keinginan membeli panci stainless, mesin cuci, lemari es ala-ala ibu muda dihapusnya.
Untuk berhemat juga, saya memasak menggunakan kompor minyak dan kayu bakar. Tentunya tidak sendiri. Jika pagi mertua menyalakan tungku kayu bakar untuk memasak nasi dan air. Saya memasak lauk dengan kompor minyak. Sesekali saya meniup, ngipasi kayu yang apinya mau mati.
3. Â Hindari utang dan men
Banyak orang mengatakan, moal boga lamun teu utang atau jika tidak berutang tidak punya apa-apa.Â
Orang tua saya seorang guru PNS. Saya menyaksikan bagaimana bapak terjebak utang ke bank, koperasi. Saya juga selama 5 tahun membantu mengurus gaji guru di kantor. Banyak di antara mereka setiap bulannya hanya menerima Rp250 ribu, Rp500 ribu, bahkan ada yang Rp25 ribu. Untuk menutupi kebutuhan satu bulan ke depan bapak saya utang lagi, istilahnya gali lubang tutup lubang.Â
Saya pun tidak menghendaki seperti orang tua. Sebisa mungkin harus nabung dulu baru membeli.Â
4. Membuka rekening bank lain
Pada masa itu untuk menabung yang kami pikirkan hanya buka rekening baru agar tidak terpakai untuk makan dan memenuhi gaya hidup.
Kami memiliki impian memiliki toko, sawah, berhaji. Tiga impian itu harus memiliki tiga rekening bank. Kami pun harus berusaha menambah penghasilan untuk mengisi rekening tersebut. Usaha jual beli gabah pun dilakukan. Saat panen membeli gabah basah, pada bulan Desember gabah yang telah dikeringkan dijual.
Â
***
Dari hidup hemat lambat laun kami bisa menabung dan membangun toko besi pada tahun 2008. Dari hasil sawah yang saat itu masih 3 petak bisa membeli sawah lagi hingga sekarang. Alhamdulillah pada tahun 2013 suami diangkat menjadi pegawai tetap dan mendapat kenaikan gaji.Â
Setelah itu apa kami bergaya hidup boros? Tentunya tidak. Hidup masih panjang, kebutuhan lainnya masih banyak, seperti anak sekolah, rumah, kendaraan nyaman.Hidup sederhana terencana, akan menambah kebahagian. harus terus hidup hemat, mengelola keuangan dengan bijak.
Uang itu hanya sebagai alat. Jika kita tidak bisa menggunakannya akan melukai kita di dunia dan akhirat. Hidup hemat bukan berarti pelit dan melupakan zakat, infak, sedekah, wakaf dan ibadah lainnya.Â
Semoga pengalaman saya bermanfaat. Salam hidup hemat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H