Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu rumah tangga suka cerita, Petani, Pengusaha (semua lagi diusahakan)

People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Ibu Pejuang Pangan yang Tangguh

22 Desember 2022   09:52 Diperbarui: 23 Desember 2022   01:00 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu-ibu tandur di sawah Desa Sidorejo, 22/12/2022.| Foto; Dokumentasi pribadi/Sri RD

Saya katakan para perempuan di Desa Pleset, khususnya ibu-ibu adalah pejuang pangan. 

Mereka sejak pagi sudah berangkat ke sawah untuk mencari nafkah. Padahal suaminya pun pekerja keras. Jika mereka di rumah mengurus anak dan rumah, saya rasa tidak masalah.

Dengan berbagai alasan yang tidak pernah diungkapkan, mereka tetap membantu perekonomian keluarga. Mungkin tujuannya meningkatkan taraf hidup.

Ketika musim tanam, biasanya salah satu dari mereka menghubungi kami. Berapa orang yang akan berangkat. Jumlahnya minimal 15 orang.

Di sawah petani lain jumlah orang tandur tentu akan berbeda. Ini disesuaikan dengan luas lahan atau permintaan petani.

Jarak dari Desa Pleset ke desa kami kurang lebih 16 km. Agar tiba di sawah lebih pagi, tak jarang ibu-ibu ini berangkat setelah salat subuh dengan menggunakan mobil truk atau pic-up. Mereka iuran untuk sewa mobil.

Sistem bayar tandur kepada ibu-ibu adalah borong. Satu petak sawah, misalnya Rp150 rb. Dalam satu hari mereka bisa menanam padi 10 petak. Berarti membawa uang sebesar Rp1.500.000. Uang itu dibagi rata oleh ketua kelompoknya setelah dipotong biaya kendaraan. 

Menurut Ibu Man, setiap desa musim tanamnya berbeda, biasanya selang satu pekan. Jadi, warga tidak leren ke sawah. Jika selesai tandur di desanya, mereka akan ke desa lain, bahkan hingga ke Desa Kare yang jaraknya bisa 30-40 km.

Bu Man hafal, kapan sawah saya mulai tandur, begitu juga dengan sawah petani lain. Ya, hafal karena yang buat benih, bajak, cangkul masih tetangganya, heheh.

Bisa dibayangkan betapa lelahnya ibu-ibu ini. Setiap pagi berangkat ke sawah yang berada di desa lain. Ketika pulang sudah sore dan harus membereskan rumah, mencuci pakaian, masak, memberi makan sapi atau kambing.

Jika tidak ada ibu-ibu ini, bagaimana petani bisa menanam padi? Bagaimana anak-anak bisa makan? Mereka korbankan keluarganya demi kelangsungan pangan Nasional.

Memang ini bagian dari profesi perempuan desa untuk membantu nafkah keluarga. Namun itu bukan kewajiban, tetapi kebaikan para perempuan. Sudah sepantasnya para bapak dan anak-anak menghargai perjuangan ibu-ibu tandur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun