Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bagaimana Orangtua Mengubah Gaya Hidup Anak yang Suka Nongkrong di Coffee Shop?

11 November 2022   14:51 Diperbarui: 11 November 2022   15:11 1316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gaya hidup remaja yang nongkrong di kafe. Foto by shuterstock 

Saya mendapat pesan pribadi dari kerabat beberapa hari lalu. Dia menceritakan gaya hidup salah satu anaknya yang telah berubah.

Kabarnya, anak cewek yang baru menginjak remaja jadi sering ke Coffee Shop bersama teman-temannya, juga pelit terhadap adik-adiknya. 

Perubahan perilaku itu membuat kerabat saya kelabakan, karena tidak bisa dipungkiri dengan anaknya sering ke coffee shop, pengeluaran pun bertambah.

Coffee Shop atau sering disebut kafe, sekarang semakin menjamur, bukan saja di kota besar, kota kecil pun sudah banyak berdiri kafe. Kafe menjadi pilihan masyarakat untuk nongkrong asyik, meeting juga mengerjakan tugas.

Kafe Mengubah Gaya Hidup Anak

Ada banyak pengertian dari gaya hidup. Menurut beberapa sumber, gaya hidup mengacu kepada bagaimana seseorang berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, termasuk memanfaatkan uang, waktu dan pikirannya.

Gaya hidup setiap individu akan berbeda, hal ini dipengaruhi oleh minat, karakter, usia, lingkungan dan interaksi sosial.

Sementara, kategori remaja menurut WHO adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun. Pada usia remaja sering kali mereka mudah terpengaruh dan mengikuti tren, mulai dari teknologi, kebudayaan, gaya hidup dan lain-lain.

Banyaknya kafe dengan desain unik, variasi makanan, aneka jenis kopi. harga terjangkau, nyaman, fasilitas lengkap, memicu perubahan gaya hidup pada remaja. 

Daya tarik kafe lainnya adalah adanya inovasi produk, pelayanan yang memuaskan, tempat yang santai juga buka selama 24 jam. 

Remaja mengunjungi kafe bukan saja sekadar minum kopi, ngobrol, mencari ide, juga guna mendapat pengakuan sosial dari temannya. Pengunjung kafe khususnya remaja berasal dari berbagai kalangan. 

Namun, di satu sisi, menjamurnya kafe di Indonesia mendatangkan dampak negatif, yakni gaya hidup hedonisme (menghamburkan uang). Bagi remaja yang belum bekerja hal ini membuat orang tua resah.

Di sisi lain kafe juga meningkatkan perekonomian di Indonesia. Dengan semakin konsumtif penikmat kopi, akan menguntungkan pebisnis, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menyukai kopi. Kafe biasanya menyajikan aneka ragam kopi dan minuman lain.

Ilustrasi meeting di kafe. Foto by shutterstock
Ilustrasi meeting di kafe. Foto by shutterstock

 Menyikapi Anak yang Sering ke Kafe 

Remaja pergi ke kafe juga pernah dilakukan anak saya. Ketika kerabat mengutarakan kegelisahannya terkait putrinya, saya tidak begitu terkejut. Dia pun meminta solusi bagaimana mengubah gaya hidup anaknya agar tidak candu ke kafe.

Bagi remaja, pergi ke kafe bersama teman akan mendatangkan banyak manfaat, salah satunya terjalinnya pertemanan yang baik.

Namun, tanpa disadari jika terlalu sering akan berdampak tidak baik, yakni mengganggu pelajaran di sekolah, sikap pemborosan, pelit. Jika orang tua tidak bisa memenuhi keinginannya, anak bisa saja mencari uang dengan cara tidak halal.

Sebelum dampak negatif terjadi pada anak, sejatinya kita harus mengontrol gaya hidup anak. Tentunya setiap orang tua memiliki cara sendiri dalam mendidik anak.

Berikut pengalaman saya bagaimana menghadapi anak ketika hobi ke kafe bersama temannya:

  • Pendekatan

Ilustrasi pendekatan dengan anak. Foto by Thinkstock/Sizeoy 
Ilustrasi pendekatan dengan anak. Foto by Thinkstock/Sizeoy 

Setiap hendak pergi ke kafe, anak selalu minta izin dan setelah tiba sering share lokasi. Pernah suatu ketika saya marah karena izinnya bukan malam libur. Dengan saya marah, alih-alaih anak menghentikan aktivitasnya ke kafe, dia malah semakin sering. 

Anak zaman dulu ketika kita melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua, ayah akan marah. Bisa jadi orang tua akan menghukum dengan memukul bagian pantat, mencubit atau dikurung di gudang.

Selama menjalani hukuman, anak zaman dulu akan berpikir tentang kesalahannya hingga pada akhirnya menyadari dan mengubah perilaku menjadi lebih baik.

Lalu, bagaimana kita mendidik anak di zaman sekarang? Mendidik anak dengan marah tidak mempan. Akhirnya saya mengganti strategi yakni dengan pendekatan.

Pendekatan yang saya lakukan dengan banyak diskusi tentang kafe yang biasa dikunjungi anak saya, mulai dari jenis makanan, minuman, tempat, temannya, rasa dari makanannya dan lain-lain. Seolah-olah saya mendukung hobinya.

Setelah anak merasa nyaman ngobrol, saya memasukan sedikit demi sedikit dampak jika sering ke kafe. Saya pun memberitahu, jika polisi gencar razia pelajar yang masih berkeliaran di jam malam. Kebetulan saya masuk ke grup jurnalis Polres Kota, jadi sedikit tahu bagaimana kegiatan Polres.

  • Memberi batas kunjungan ke kafe

Tidak setuju anak remaja ke kafe, bukan berarti dia tidak boleh sama sekali ngopi dan berkumpul dengan temannya. Jika saya langsung menekan "Tidak boleh", khawatir anak membangkang dan jauh dari keluarga.

Ilustrasi kunjungan ke kafe. Foto by shutterstock 
Ilustrasi kunjungan ke kafe. Foto by shutterstock 

Saya mengizinkan anak ngopi di kafe dengan membatasi frekuensi kunjungan. Batasan itu seperti, yang tadinya setiap malam menjadi dua kali dalam seminggu, yakni malam Sabtu dan Minggu dengan batas waktu hingga pukul 22.00 WIB.

  • Libatkan anak untuk berbagi

Keluhan kedua dari kerabat saya adalah anak sering ke kafe menjadi pelit. Ya benar, karena dia membutuhkan dana untuk jajan dan itu tidak sedikit seperti jajan di kantin sekolah.

Ketika anak diberi uang saku Rp400 ribu, yang tadinya cukup untuk bekal sekolah selama sebulan, setelah sering ke kafe itu akan habis dalam dua pekan.

Hal demikian menyebabkan anak menjadi pelit kepada adiknya atau temannya. Anak berpikir, uang saku saja kurang, bagaimana mau memberi. Ini konsep yang salah dan harus diluruskan pada anak. Berbagi tidak menunggu cukup untuk diri sendiri.

Hal sederhana yang saya lakukan adalah dengan melibatkan mereka dalam berbagi. Misalnya, beri dia uang khusus untuk diberikan pada fakir miskin, entah itu peminta-minta atau tukang becak.

"Nak, Mamah titip uang Rp20 ribu dan berikan pada peminta-minta yang kamu temui sepanjang perjalanan ke sekolah."

Itu kalimat yang sering saya sampaikan pada anak agar dia tahu arti berbagi. Sebelumnya kita harus sudah menanamkan sifat jujur pada anak agar tidak ada dusta di antara kita. 

Dengan anak melihat langsung kondisi fakir miskin, akan muncul sifat welas asih kepada sesama.

  • Ajarkan pentingnya mengelola keuangan

Anak sering nongkrong di kafe karena mereka tidak tahu bagaimana menggunakan uang dan susahnya mendapatkan uang. Dia tahunya meminta dan ada. 

Walaupun mencari nafkah adalah orang tua, saya sering mengajaknya membantu pekerjaan di belakang, terutama mencatat hasil panen, menjemur padi. Tujuannya agar dia tahu betapa berat mencari uang. 

Di lain kesempatan, saya ajak anak untuk menghitung berapa pengeluaran ke kafe, uang jajan di sekolah, lalu berapa uang saku tiap bulannya. Satu bulan keuangan anak saya amburadul, saya tutupi kekurangannya dan memberi ultimatum "hanya untuk kali ini saja."

Ketika pengeluaran membengkak, saya bertanya, "Apa yang akan kamu lakukan untuk memenuhi gaya hidup, sementara orang tua tidak menambah uang saku?" 

  • Ajak anak untuk berkegiatan di luar sekolah

 Strategi selanjutnya adalah memberi saran pada anak agar mengikuti ekskul di sekolah dan kegiatan lain di luar sekolah. Dengan anak mengikuti kegiatan di luar sekolah, dia akan merasa capek di malam hari, dorongan ke kafe pun tidak ada.

Pernah suatu ketika, dia minta izin sejak sore, jika setelah salat Isya akan ngopi bersama temannya. Namun, dia tertidur pulas di kursi hingga tengah malam. 

Dengan strategi di atas, lama-lama anak saya berkurang nongkrong di kafe. Jika dia ingin minuman atau makanan dari kafe tersebut, sesekali pesan ketika saya keluar atau lewat Gofood.

Penutup

Keberadaan coffee shop, tentunya ada kekurangan dan kelebihannya. Bagi remaja yang masih sekolah, dampak negatifnya akan menggangu aktivitas sekolah di esok harinya. Kelebihan tentunya banyak pada pebisnis, mereka akan mendapat keuntungan.

Maka, remaja harus bisa menahan diri untuk tidak sering nongkrong di coffee shop.  Jika ingin berkumpul dengan teman mengerjakan tugas, bisa cari tempat lain, seperti perpustakaan atau di rumah saja. Dengan begitu remaja akan terhindar dari gaya hidup hedonisme atau pemborosan.

Terima kasih telah membaca, salam hangat selalu

Sri Rohmatiah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun