Kesenian reog erat kaitannya dengan Kerajaan Kahuripan di Kediri ((1019-1049) dan Ponorogo yang saat itu bernama Wengker.Â
Dalam legenda tersebut, Raja Wengker, Klana Sewandana dan patihnya Pujangga Anom pergi ke Kediri untuk melamar putri Kahuripan yang bernama Putri Sanggalangit.
Dalam perjalanan, di Alas Roban mereka dihadang oleh raja rimba bernama Singabarong dan Manyura si merak yang cantik dan sangat perkasa.Â
Dengan bantuan cambuk Semandiman, Klana Sewandana berhasil mengalahkan Singabarong. Pada akhirnya Raja Klana Sewandana bisa bertemu dengan Putri Sanggalangit, tetapi tidak menikah. Menurut kepercayaan, keduanya moksa.Â
Moksa dalam bahasa Sansakerta adalah sebuah konsep agama Hindu dan Buddha. Artinya adalah kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran reinkarnasi atau Punarbawa kehidupan. Seperti yang saya kutip dari wikipedia.
Versi kedua
Kesenian reog dipertunjukkan oleh seorang ulama bernama Demang Ki Ageng Kutu Surya Ngalam untuk mengkritik Raja Majapahit, Brawijaya V yang taat pada permaisuri.
Raja Brawijaya V diibaratkan sebagai harimau, Permaisuri sebagai burung merak yang hinggap di atas kepala harimau. Penari-penarinya diibaratkan sebagai pasukan Majapahit.
Terlepas dari asal-usulnya yang berbeda, kesenian reog menarik dan banyak penggemarnya. Walaupun pertunjukkan di siang hari, penonton membludak, terutama anak-anak. Mereka senang dengan atraksi Barongan dan dhadhak merak yang diikuti dengan gamelan.
Gamelan tersebut dimainkan oleh beberapa laki-laki. Gamelan terdiri atas angklung, ketipung, gendang, kempul, kethuk kenong, dan terompet.
Irama musiknya penuh semangat seolah-olah sedang ada pertempuran. Selain itu, kesenian reog juga diiringi beberapa orang penari perempuan yang menaiki kuda. Tarian ini namanya tari jaran kepang atau jathilan.