Saya tidak terima, anti bilang "Sudahlah". Sebagai manusia berhak membuang kencing, siapa yang berani melarang.
Saya ingin berantem, tetapi berpikir lagi, pasti kalah, orang dia tinggi besar, sedangkan saya kecil.Â
Kasihan juga pipi jika kena tonjok dia, sudah gak bawa bedak, lipen, dan kawan-kawannya.
Akhirnya saya minta penjaga toilet, "Mba, tolong jaga dulu, jangan sampai ada wanita, masuk ke toilet, saya dan suami sebentar, buang air kecil paling hanya dua menit, bisa juga kurang dari itu."
Si penjaga ayu dan baik hati tersenyum kaku, takut juga mungkin sama satpam yang teriak-teriak di depan saya. Orang berdiri dekat seharusnya jangan teriak.
Ceritanya belum selesai. Saya masih tidak terima dengan kesulitan yang diciptakan satpam. Selesai Jumatan dan suami makan, saya mencari pengurus masjid dan satpam yang bertolak pinggang.
Saya merasa satpam tidak adil, penyedia layanan publik pun demikian. Ketua ta'mir masjid rest area minta maaf atas sikap satpam, satpam pun minta maaf, alasannya tidak tahu kalau suami memerlukan bantuan jika kencing. Ngundang emosi itu satpam,Â
"Pak, suami saya ada di depan mata jenengan, jelas dia tidak punya tangan, kaki pun satu, bagaimana mau buka celana, makanya jangan emosi, sok pemilik wewenang," geram saya saat itu.
Masalah dianggap selesai setelah semua minta maaf dan pengurus masjid akan mengajukan toilet difabel kepada pengembang. Entahlah... benar atau tidak.
Kalau untuk trotoar kota, mal, bioskop, saya tidak pernah protes, karena suami tidak ingin ke tempat seperti itu.
"Belanja sendiri saja, saya antar sampai parkiran," ujar suami setiap saya minta antar belanja ke mal.