Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Petani N dideso

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fasilitas Umum di Indonesia, Sudahkah Ramah Disabilitas?

7 Desember 2021   13:51 Diperbarui: 8 Desember 2021   01:45 1108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah kaum disabilitas yang tergabung dalam Gerakan Aksesbilitas Umum Nasional (GAUN) menggelar aksi susur trotoar di sepanjang Jalan Sabang, Thamrin, ke arah Jalan Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (30/8/2017). Kaum disabilitas menyuarakan kebutuhan akan jalur pedestrian yang ramah dan aman akibat banyaknya trotoar yang digunakan untuk parkir mobil atau motor sampai pedagang kaki lima berjualan sehingga fasilitas untuk disabilitas menjadi rusak.(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Sebagaimana kita ketahui disabilitas lekat sekali dengan stigma dan diskriminasi, walaupun sudah ada UU 8 tentang perlindungan Disabilitas tahun 2016. Undang-undang tidak akan mengubah mindset seseorang.

Masalah Stigma hingga bullying, saya dan suami sudah terbiasa, jadi tidak begitu dipikirkan. Yang saya gemesin adalah fasilitas umum yang belum ramah disabilitas. Padahal pembangunan trotoar, rest area, masjid, toilet banyak dilakukan setelah ada pembaharuan UU Disabilitas.

Oh ya, ketika DPR RI membuat Rancangan UU 8 Disabilitas tahun 2016, suami dapat undangan untuk pameran di gedung Nusantara DPR RI. 

Kala itu saya kompori untuk mengatakan sesuatu kepada ketua DPR RI saat ditanya.

Foto ketika di Gedung Nusantara dalam rangka mendorong RUU Disabilitas tahun 2016| Dokumentasi pribadi
Foto ketika di Gedung Nusantara dalam rangka mendorong RUU Disabilitas tahun 2016| Dokumentasi pribadi

Suami walaupun disabilitas, dia pantang untuk meminta atau dikasihani, prinsipnya "Saya harus bisa." 

Itu sebabnya di rumah ada motor, mobil modifikasi, kursi roda elektrik, tujuannya supaya tidak merepotkan orang lain. 

Sebetulnya tetap saja sebagai makhluk sosial kita membutuhkan orang lain, saling membantu. Namun, bukan masalah itu, dia berpikir sebagai disabilitas harus mandiri.

Kembali pada bisikan saya kepada suami saat bertemu ketua DPR RI, Ade Komarudin, "Perbaiki fasilitas umum supaya ramah disabilitas."

Bisikan itu bukan dari bisikan syaiton yang menyesatkan, saya sendiri merasakan dan menyaksikan fasilitas umum di Indonesia masih untuk kepentingan orang normal.

Berikut sekelumit pengalaman saya.

Ketika melaksanakan salat Jum'at di masjid rest area jalan tol Madiun-Cirebon. Saya sempat nangis karena perlakuan satpam yang tidak adil.

Saya berpikir ada toilet khusus disabilitas. Namun, ternyata di area masjid hanya ada toilet, tempat wudhu pria dan wanita.

Seperti biasa, jika tidak ada toilet disabilitas, saya akan meminta izin penjaga untuk menggunakan toilet wanita. Tentunya dengan catatan toilet itu dalam keadaan sepi tidak ada wanita di ruang dandan.

Ilustrasi penyandang disabilitas | Foto by shutterstock 
Ilustrasi penyandang disabilitas | Foto by shutterstock 

Kenapa saya tidak mengajak suami ke toilet pria? Kita tahu sendiri toilet pria biasanya tanpa sekat. Tega banget kalau saya disuruh masuk ke tempat itu. Di sini justru masalahnya, ketika sudah izin penjaga toilet wanita, satpam teriak-teriak,

"Bu, bapaknya jangan diajak masuk ke toilet khusus wanita, ada khusus pria sebelah kiri."

Saya jelaskan kesulitannya, tetapi si satpam tidak terima, masih tetap "jangan masuk".

Lama-lama saya emosi juga, "Silakan jenengan ajak dan bantu suami saya untuk kencing," perintahku judes.

"Jika bukan istrinya, siapa yang mau bantu, jenengan saja jijik kan? Jangan mempersulit dong, saya juga perasaan, toilet wanita kondisinya sepi," ujar saya lagi.

Kami beradu mulut dengan sengit, suami orangnya sabar, "Sudah Mah, gak usah pipis saja, langsung wudhu, sela komat."

Saya tidak terima, anti bilang "Sudahlah". Sebagai manusia berhak membuang kencing, siapa yang berani melarang.

Saya ingin berantem, tetapi berpikir lagi, pasti kalah, orang dia tinggi besar, sedangkan saya kecil. 

Kasihan juga pipi jika kena tonjok dia, sudah gak bawa bedak, lipen, dan kawan-kawannya.

Akhirnya saya minta penjaga toilet, "Mba, tolong jaga dulu, jangan sampai ada wanita, masuk ke toilet, saya dan suami sebentar, buang air kecil paling hanya dua menit, bisa juga kurang dari itu."

Si penjaga ayu dan baik hati tersenyum kaku, takut juga mungkin sama satpam yang teriak-teriak di depan saya. Orang berdiri dekat seharusnya jangan teriak.

Ceritanya belum selesai. Saya masih tidak terima dengan kesulitan yang diciptakan satpam. Selesai Jumatan dan suami makan, saya mencari pengurus masjid dan satpam yang bertolak pinggang.

Saya merasa satpam tidak adil, penyedia layanan publik pun demikian. Ketua ta'mir masjid rest area minta maaf atas sikap satpam, satpam pun minta maaf, alasannya tidak tahu kalau suami memerlukan bantuan jika kencing. Ngundang emosi itu satpam, 

"Pak, suami saya ada di depan mata jenengan, jelas dia tidak punya tangan, kaki pun satu, bagaimana mau buka celana, makanya jangan emosi, sok pemilik wewenang," geram saya saat itu.

Masalah dianggap selesai setelah semua minta maaf dan pengurus masjid akan mengajukan toilet difabel kepada pengembang. Entahlah... benar atau tidak.

Kalau untuk trotoar kota, mal, bioskop, saya tidak pernah protes, karena suami tidak ingin ke tempat seperti itu.

"Belanja sendiri saja, saya antar sampai parkiran," ujar suami setiap saya minta antar belanja ke mal.

Trotoar

Jangan ditanya, trotoar kota bagus, keramik, tetapi kurang ramah disabilitas. Setiap ujung trotoar masing tinggi, tidak miring, untuk kursi roda jelas tidak bisa lewat, harus sedikit diangkat. Untungnya suami tidak suka selfie di trotoar kota. 

Setiap ke luar kota, tidak bisa menikmati kota dengan jalan kaki, padahal saya suka jalan kaki di pagi hari. Jika terpaksa harus jalan kaki, terpaksa mendorong kursi roda, di pinggir jalan raya. 

Gedung-gedung pun demikian, banyak yang masih bertangga, seperti bank, kantor pemerintahan, tidak ada akses kursi roda. Seperti ketika mendapat undangan ke salah satu media cetak di Madiun, dengan terpaksa saya minta bantuan petugas untuk angkat kursi roda tentunya ada suami yang duduk.

Tempat wisata

Kami selalu membuat agenda untuk liburan ke luar kota setiap tahunnya. Juga acara pameran minimal 8 kali dalam satu tahun di berbagai kota. 

Selama ini yang paling sulit adalah akses di pantai. Kursi roda hanya bisa di tempat parkir, jika ingin ke pinggir pantai, tentu penuh perjuangan, mendorong kursi roda di atas pasir.

Foto ketika di Barcelona. Trotoar hingga La Rambla mudah dilalui kursi roda| Dokumentasi pribadi
Foto ketika di Barcelona. Trotoar hingga La Rambla mudah dilalui kursi roda| Dokumentasi pribadi

Kalau wisata ke luar negeri, banyak kemudahannya. Kesulitannya hanya dua saja, yaitu bahasa Inggris saya yang minim dan sangune kurang banyak. Hehehe... buka kartu. 

Ini hanya sebagian kecil pengalaman pahit, tentunya selain kisah itu, ada juga cerita manis. Di mana kami sering mendapat perlakuan istimewa dari orang-orang yang istimewa tentunya.

Kita pun tidak bisa mengabaikan usaha pemerintah yang sedang dalam proses pembangunan. Semua memerlukan waktu panjang untuk sempurna. 

Hanya saja untuk suatu perubahan apalagi memberi kemudahan kepada penyandang disabilitas, kita perlu interaksi dengan mereka, jadi tahu apa yang mereka butuhkan. 

Selamat Hari Disabilitas Internasional, 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun