Tadi malam saya kedatangan tamu, dia sudah sepuh, mungkin usianya sebaya dengan Bapak saya, sekitar 78 tahun.
Setelah ngobrol ngaler-ngidul, dia cerita, kalau hubungan dengan anak-anaknya tidak baik. Dia merasa diabaikan oleh anaknya, tidak bertegur sapa, padahal satu rumah.
"Aku neng umah dienengne karo cah-cah, ra enek sing nganggap aku."
Ini bukan cerita pertama yang saya dengar. Sebelumnya saya sering mendengar desas desus, kalau hubungan Pak Fulan dengan anak-anaknya tidak baik. Si Budi memilih ngekos karena berantem dengan ayahnya.
Hubungan tidak baik antar keluarga sering terjadi, sangat wajar. Semakin kita dekat dengan seseorang akan semakin besar peluang untuk berkonflik.
Ada beberapa catatan yang saya garis bawahi dari cerita tadi malam. Kenapa seorang ayah sampai diacuhkan oleh anak-anaknya.
Pola asuh sejak kecil
Anak-anak biasanya akan lebih dekat dengan ibunya, karena ada perbedaan pola asuh yang diberikan ibu dan ayah.
Dalam pengasuhan, Ibu mendorong anak-anak mereka untuk berpikir dan mengungkapkan ide dan pendapat mereka sendiri.
Sedangkan ayah, biasanya dengan pendekatan yang lebih otoriter. Tujuannya mungkin supaya anak memiliki jiwa pemimpin. Namun, tidak tahu apa yang akan terjadi kelak jika anak sudah dewasa.
Namun, tidak menutup kemungkinan, antara ayah dan ibu, malah ibu yang otoriter atau kedua orang tua juga sama-sama keras.
Apapun pola asuh yang diterapkan orang tua, saya yakin mereka tidak bermaksud mencelakakan anak-anaknya. Masalahnya orang tua pun manusia, mereka mungkin selama mengasuh anak banyak berteriak, mengatur anak.
Mungkin juga orang tua banyak melakukan hal-hal yang berpotensi merusak anak, sehingga, anak membencinya.
Apa yang harus anak lakukan supaya hubungan dengan orang tua baik?
Mungkin saya juga bukan anak yang baik. Pernah juga diskusi sengit kala itu soal jodoh Kakak saya. Saya juga pernah tidak setuju dengan keputusan Bapak yang tidak mau support jika adik kuliah.
Saya juga pernah nangis ketika Bapak tidak setuju pilihan saya. Banyak ketidaksetujuan saya atas keputusan Bapak.
Namun, saya tak pernah acuh terhadap Bapak di rumah. Kami masih tetap berbicara, diskusi, salat berjamaah, makan bersama, bercanda. Teriakan Bapak hanya sebagai irama kehidupan.
Bagaimana sebaiknya sikap anak terhadap orang tua?
 1.  Bersyukur
Sebelum menyesal karena orang tua tiada. Syukuri masih masih punya orang tua. Cara bersyukur bukan dengan kata-kata saja. Tapi tindakan. Tunjukkan bahwa kita sebagai anak mencintai orang tua, ayah dan ibu kita. Saya yakin karena kecintaan kita, sekeras apapun sikap orang tua, mereka akan luluh.
2. Turunkan
Saya melihat raut muka si Bapak itu sedih, ngomongnya pelan ketika mengatakan anaknya susah diajak berbicara. Padahal semua anaknya sudah dipernahne. Dalam istilah Jawa dipernahne artinya setelah nikah sudah disiapkan tanah untuk membangun rumah. Itu artinya, sekeras apapun orang tua, dia masih memikirkan masa depan anaknya.
Boleh jadi orang tua hanya pendidikan SD bahkan tidak sekolah, dan anak lulusan sarjana, bekerja di kantoran. Namun, itu hanya berlaku di kantor. Di rumah kita tetap anak yang memiliki orang tua. Turunkan nada bicara, turunkan pandangan.
3. Diam sejenak
Diam sejenak dan pikirkan ketika kecil dulu. Boleh jadi sekarang orang tua, lemah tak berdaya. Dia hanya duduk merokok, keluar rumah pun hanya untuk ngopi di warung.
Namun, kembali ke masa itu, ketika orang tua kita kuat. Dia pergi ke sawah membajak lahan. Dia bangun tengah malam mencari tumpangan becaknya. Dia pulang pagi setelah jaga malam di pabrik.
Semua dia lakukan untuk sekolah anaknya. Kenapa ketika kita menjadi orang pintar, orang tua diacuhkan di rumahnya sendiri.
Boleh saja kita tidak setuju dengan perilaku di masa tuanya yang duduk manis di warung main judi. Namun, ingat juga ketika masa kecil dulu, ketika kita bermain hingga gelap di pematang sawah. Orang tua mencari dan sesampai di rumah pelukan mendarat, menyuruh kita mandi, makan. Malamnya berbicara lembut, "Jangan main hingga magrib itu tidak baik."
Daripada mengacuhkan orang tua, kenapa kita tidak melakukan hal sama. Cari orang tua di warung, ajak pulang, kasih makan, bersihkan badannya, katakan penuh kasih sayang, "Tidak baik di warung dan main judi, di rumah lah bermain dengan cucu!" Â "SUSAH"Â mungkin itu jawaban kita sebagai anak.
Sama, ketika orang tua mendidik kita dulu juga susah, tetapi mereka memiliki kesabaran. Kita juga bisa belajar sabar karena sabar tiada batas.Â
Konon orang tua di masa tua akan kembali bertingkah seperti anak-anak. Giliran kita berperilaku seperti orang tua yang bijak.
Mari kita belajar sama-sama memuliakan orang tua. Salam hangat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI