Saya melihat raut muka si Bapak itu sedih, ngomongnya pelan ketika mengatakan anaknya susah diajak berbicara. Padahal semua anaknya sudah dipernahne. Dalam istilah Jawa dipernahne artinya setelah nikah sudah disiapkan tanah untuk membangun rumah. Itu artinya, sekeras apapun orang tua, dia masih memikirkan masa depan anaknya.
Boleh jadi orang tua hanya pendidikan SD bahkan tidak sekolah, dan anak lulusan sarjana, bekerja di kantoran. Namun, itu hanya berlaku di kantor. Di rumah kita tetap anak yang memiliki orang tua. Turunkan nada bicara, turunkan pandangan.
3. Diam sejenak
Diam sejenak dan pikirkan ketika kecil dulu. Boleh jadi sekarang orang tua, lemah tak berdaya. Dia hanya duduk merokok, keluar rumah pun hanya untuk ngopi di warung.
Namun, kembali ke masa itu, ketika orang tua kita kuat. Dia pergi ke sawah membajak lahan. Dia bangun tengah malam mencari tumpangan becaknya. Dia pulang pagi setelah jaga malam di pabrik.
Semua dia lakukan untuk sekolah anaknya. Kenapa ketika kita menjadi orang pintar, orang tua diacuhkan di rumahnya sendiri.
Boleh saja kita tidak setuju dengan perilaku di masa tuanya yang duduk manis di warung main judi. Namun, ingat juga ketika masa kecil dulu, ketika kita bermain hingga gelap di pematang sawah. Orang tua mencari dan sesampai di rumah pelukan mendarat, menyuruh kita mandi, makan. Malamnya berbicara lembut, "Jangan main hingga magrib itu tidak baik."
Daripada mengacuhkan orang tua, kenapa kita tidak melakukan hal sama. Cari orang tua di warung, ajak pulang, kasih makan, bersihkan badannya, katakan penuh kasih sayang, "Tidak baik di warung dan main judi, di rumah lah bermain dengan cucu!" Â "SUSAH"Â mungkin itu jawaban kita sebagai anak.
Sama, ketika orang tua mendidik kita dulu juga susah, tetapi mereka memiliki kesabaran. Kita juga bisa belajar sabar karena sabar tiada batas.Â
Konon orang tua di masa tua akan kembali bertingkah seperti anak-anak. Giliran kita berperilaku seperti orang tua yang bijak.
Mari kita belajar sama-sama memuliakan orang tua. Salam hangat.