Sahabatku yang berbahagia,
Semakin hari, ruang gerak kita semakin sempit. Mau ke pasar takut Corono, mau olahraga takut Corona. Hidup dituntut untuk bahagia dan sehat, tetapi ingin sehat saja rasanya rumit.
Ada teman mengatakan, "Jangan mengeluh, semua mengalaminya, berpikir positif saja!"Â
Baiklah, semua harus dihadapi dengan pikiran positif supaya hidup juga sehat. Namun, wajar sebagai manusia, kita memiliki emosi negatif, seperti kecewa, takut, khawatir, sedih.
Jangan sampai karena selalu berpikir positif kita terjebak dalam toxic positivity. Kita selalu menghindar dari emosi negatif dengan alasan ingin tampak kuat. Padahal emosi negatif juga penting dirasakan, diungkapkan, diekspresikan.
Suatu hari teman bercerita, saya memanggilnya Ratih. Ratih telah kehilangan pekerjaan, ketika berbicara dengan orang tuanya, bapaknya merespon positif dan membesarkan hatinya, "Sudah jangan kecewa, ambil sisi baiknya saja, mungkin setelah ini kamu akan mendapat pekerjaan yang lebih bagus."
Mendengar respon bapaknya, Ratih diam, padahal dia masih ingin cerita penyebab kehilangan pekerjaannya.
Komentar bapaknya memang bagus, menunjukkan simpati, memberi petuah. Namun sayang, petuahnya beracun. Secara tidak langsung bapaknya Ratih menghentikan apapun yang ingin dikatakan anaknya.
Sikap bapaknya ini disebut dengan toxic positivity.
Contoh lain ketika ketika ditimpa musibah dan mengungkapkan kesedihan, seorang teman memberi quote yang indah "kebahagian adalah pilihan".Â
Itu artinya teman kita menunjukkan bahwa jika kita merasakan kesedihan, maka itu kesalahan kita sendiri karena tidak memilih untuk bahagia.
Toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif.
Emosi negatif, seperti perasaan sedih, kecewa, takut, khawatir ada pada manusia secara natural. Namun, bagi orang yang terjebak toxic positivity emosi negatif tidak boleh terjadi.Â
Mereka tidak bisa mendengarkan cerita kita tentang perjuangan, kesedihan, kekecewaan. Dia akan menganggap itu biasa saja, tidak ada pengaruhnya, yang penting hidup lempeung saja.
Kita juga berharap hidup baik-baik saja. Masalahnya, hidup tidak selamanya bahagia, kadang ada hal-hal yang menyakitkan. Jika emosi negatif ditahan, justru akan berbahaya bagi kesehatan.
Toxic Positivity Berbahaya
Toxic positivity dapat membahayakan orang-orang yang sedang melalui masa-masa sulitnya. Apalagi jika teman bicara sering memojokkan. Alih-alih kita semangat, malah semakin depresi.
Seperti Ratih, berbicara kepada bapaknya, bukannya dapat dukungan, dia malah merasa diabaikan.Â
Ratih tidak membutuhkan simpati tetapi empati. Hanya bapaknya tidak tahu bagaimana cara berempati yang tepat.
Orang yang mendapat perlakuan toxic positivity seperti Ratih, dia akan tertutup, tidak mau bercerita hal buruk kepada orang lain bahkan keluarganya. Dia pura-pura kuat padahal rapuh, ada trauma pada dirinya.
Orang trauma tidak perlu dikasih tahu untuk bersikap optimis dan semangat. Dia perlu dirangkul dan dilindungi.Â
Mantra "Berpikir Positif" juga tampak kejam diucapkan kepada orang-orang yang sedang mengalami masalah keuangan, kehilangan orang yang dicintai, orang sakit.
Menyangkal emosi negatif yang terus menerus dalam jangka panjang bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan mental, seperti stres, cemas, sedih yang berlebihan, gangguan tidur, penyalahgunaan obat terlarang, depresi.
Ciri Orang Terjebak Toxic Positivity
Toxic positivity muncul melalui ucapan, biasanya melalui nasihat yang terkesan positif. Ucapan-ucapan tersebut seperti:
"Jangan menyerah, begitu saja kok tidak bisa."
"Kamu lebih beruntung, masih banyak orang yang lebih menderita di luar sana, kamu harus bersyukur."
"Kamu lebih beruntung, masih banyak orang yang lebih menderita di luar sana, kamu harus bersyukur."
"Coba, deh, lihat sisi positifnya. Lagi pula, ini salahmu juga, kan?"
Orang yang mengatakan kalimat di atas, tujuannya baik memberi semangat. Namun, bagi orang yang sedang tertimpa masalah, kalimat itu ibarat racun.Â
Cara Menghindari Toxic PositivityÂ
Ada beberapa ide supaya kita hidup lebih sehat, terhindar dari toxic pocitivity:
1. Mengelola emosi negatif
Emosi negatif tidak perlu disimpan atau disangkal. Sangat wajar kita merasakan sedih dan bahagia.
Jadi tidak apa-apa kita cerita kepada orang lain yang bisa dipercaya. Jika orang lain tidak bisa menjadi pendengar yang baik, kita tuliskan semua keluh kesah melalui buku diary.
2. Bersikap realistis
Saat menghadapi masalah, wajar kita nangis, kecewa, khawatir, takut, sedih bahkan stres. Semua perasaan negatif ada pencetusnya. Oleh karena itu fokus pada langkah-langkah yang dapat memperbaiki situasi.
Ketika kita menjadi teman curhat, seseorang jangan menutupnya dengan kata-kata yang menghakimi atau menyalahkan.Â
Biarkan dia meluapkan emosi negatifnya selama masih batas wajar. Kita bisa menempatkan diri kita berada di posisinya.
3. Fokus pada masalah sendiri
Setiap orang memiliki masalah dengan tingkat kerumitan yang berbeda. Ketika kita menghadapi masalah, tidak bisa membandingkan masalah kita dengan masalah orang lain, walaupun inti masalah sama.
Contohnya, mungkin bagi Ratih kehilangan pekerjaan sesuatu yang berat, tetapi bagi orang lain belum tentu.Â
Daripada membandingkan masalah diri kita dengan masalah orang lain, mendingan fokus terhadap masalah diri sendiri dan berusaha supaya lebih baik.
4. Perhatikan perasaan kita
Media sosial banyak menyajikan konten positif bahkan menginspirasi, tetapi bagaimana perasaan kita setelah melihat konten tersebut? Sedih, merasa bersalah, atau senang?
Jika merasa bersalah setelah melihat postingan yang "menyemangati" itu mungkin kita sudah terjebak toxic positivity.Â
Untuk mengamankan perasaan kita, baiknya membatasi konsumsi media sosial dan kelola juga akun media sosial kita dengan baik.
Kesimpulannya, kita hidup penuh warna, banyak cerita, menuliskan semua cerita akan mengurangi emosi negatif.Â
Jangan pura-pura bahagia kalau memang lagi sedih, nangis saja dipelukan pasangan tapi jaga jarak ya, kan lagi pandemi. UpsÂ
Salam baik-baik saja
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI